Mayang adalah anak dari seorang pelayan rumah tangga yang sudah lama mengabdi dalam keluarga Paramudya. Keluarga yang cukup terpandang di Indonesia. Bisa dibilang mereka adalah keluarga terkaya di negara ini akan usaha tekstilnya. Sejak kecil Mayang sudah tinggal dengan mereka, tinggal di rumah yang begitu megah dengan fasilitas yang serba ada dan membuat Mayang nyaman bisa bekerja di sini. Setelah lulus sekolah menengah atas Mayang memilih untuk bekerja melanjutkan peran ibunya sebagai pelayan di dalam rumah ini.
Sudah dua tahun Ibu dan ayahnya lebih dulu meninggalkan Mayang ke surga. Ayah Mayang juga pernah bekerja dalam rumah ini mengabdi sebagai supir pribadi Pak Arya Paramudya suami Bu Sinta. Selain diizinkan tinggal di dalam rumah ini. Sejak kecil Mayang juga dapat berkesempatan untuk bersekolah di salah satu sekolah ternama di Jakarta, tentu dengan semua biaya yang ditanggung oleh Bu Sinta. Tidak akan terhitung berapa jumlah uang yang sudah Bu Sinta keluarkan untuk keluarga Mayang, bahkan jika Mayang ingin mengganti semua itu nanti, Mayang rasa gajinya pun tidak akan cukup bisa mengganti semua kebaikan Bu Sinta.
Mayang harus banyak bersyukur mendapatkan majikan baik hati seperti Bu Sinta, selalu menyayangi Mayang layaknya anak sendiri, ia berjanji untuk selalu bekerja dengan baik dalam keluarga ini. Walaupun memang kadang Mayang merasa kerepotan karena perintah yang tidak ada habisnya, namun daripada itu Mayang harus lebih ikhlas dan siap untuk bisa melakukan apa saja. Semua tentu sebagai bentuk rasa terima kasih Mayang kepada keluarga Bu Sinta. Mayang berjanji tidak akan pernah mengecewakan bu Sinta apapun yang terjadi.
Mayang menghela nafas panjang setelah selesai menaruh barang terakhir bu Sinta ke dalam mobil berwarna putih di depannya. Tepat di jam sepuluh malam, setelah membantu Bu Sinta menyiapkan segala keperluan untuk besok akhirnya pekerjaan Mayang selesai sudah.
"Sekarang waktunya untuk tidur" gumamnya pada diri sendiri. Malam ini Mayang harus cepat tidur.
Besok pagi ia harus bangun lebih awal untuk bisa menyiapkan dirinya sendiri. Maya tidak boleh terlambat di hari terpenting dalam keluarga ini. Walaupun jauh dalam lubuk hati Mayang, sebenarnya ia tidak ingin menghadiri acara besok. Tapi, siapalah Mayang ? kehadiran nya juga tidak terlalu penting sedari dulu. Apalagi untuk lelaki itu. Lelaki yang akan melangsungkan pernikahan nya besok. Ya .. besok adalah acara pernikahan Genta, anak pertama bu Sinta. Anak lelaki yang besar bersama Mayang sejak kecil. Si tuan muda yang dingin dan tidak tersentuh. Mayang sudah membeli tunik yang cukup bagus untuk digunakan besok, walaupun harganya tidak terlalu mahal dan bukan dari brand merek terkenal, namun setidaknya Mayang tidak akan terlihat memalukan untuk hadir di acaranya.
Mayang hanya ingin melihat momen bahagia dari sang Tuan yang selama ini Mayang cintai ...
Saat akan menutup pintu pagar, Mayang dikejutkan oleh suara klakson mobil dari arah depannya. Terlihat sebuah mobil hitam sudah mengedipkan lampu berkali kali. Segera Mayang dorong kembali pagar tersebut sampai mobil hitam itu pun masuk sepenuhnya.
"Selamat malam Tuan" sapa Mayang pada sosok gagah yang baru saja keluar dari dalam mobil. Lelaki itu hanya melirik Mayang dengan wajah datar tanpa membalas sapaan Mayang sama sekali. Ia sudah biasa dengan itu, Genta Pramudya anak tertua bu Sinta, lelaki yang besar bersama Mayang pasti akan selalu menunjukkan sikap tidak sukanya pada Mayang, sorot mata yang begitu tajam berhasil membuat Mayang seakan akan ia adalah sesuatu yang menjijikan.
Karena hal itu ia lebih banyak menunduk dan menyembunyikan wajahnya, Mayang tidak nyaman dengan semua tatapannya apalagi untuk menatapnya.
"Siapkan air hangat untuk saya" suara berat nan dingin itu berhasil mengurungkan langkah Mayang menuju kamar.
"Maa-"
"Jangan buat saya mengulang dua kali Mayang!" Tegas Genta saat melihat Mayang lambat. Mayang terhentak seketika.
"Ba-ik tuan" buru buru Mayang menuju dapur untuk menyiapkan air hangat yang di pinta.
Dalam diam Genta mendesah kelud kepalanya pusing, beberapa jam yang lalu ia baru saja bertengkar dengan Clara, calon istri Genta.
Clara merajuk hanya karena Genta tidak bisa mewujudkan wedding dream nya. Clara meminta Genta untuk mengundur acara pernikahan mereka menjadi minggu depan dan meminta acara pernikahannya diselenggarakan di Paris. Bagaimana bisa Genta mewujudkan semua itu, sedangkan segala sesuatu untuk pernikahannya besok sudah hampir 95 persen siap. Genta tidak habis pikir dengan jalan pikiran Clara, kenapa wanita itu selalu saja bersikap kekanakan seperti ini.
"Tuan air hangatnya sudah siap" Genta hanya mengangguk dengan raut wajah lelah tanpa mengucapkan sepatah kata pun kemudian beranjak dari tempatnya.
Mayang tatap punggung pria dengan nanar. Kenapa raut wajah tuannya terlihat sangat lesu? Bukankah besok adalah hari bahagianya? seharusnya dia terlihat senang. Tapi kenapa seperti ada beban berat yang seakan akan sedang ia sembunyikan.
"Oh ya" Genta tiba -tiba berhenti berbalik menatap Mayang lagi. "Besok saya mau kamu datang lebih awal bersama Ibu" katanya menatap Mayang dalam jarak yang hanya menyisakan sejengkal jari.
ini terlalu dekat. Bahkan Mayang dapat merasakan hembusan nafas hangat dari lelaki ini.
"Kamu dengar saya kan?" Mayang anggukan kepalanya cepat
"Baik Tuan, besok saya akan datang bersama nyonya lebih dulu" ucap Mayang mendudukan kepalanya gugup.
Genta mendengus melihat kegugupan Mayang yang begitu nampak setiap kali berhadapan dengan nya. Genta perhatikan penampilan Mayang dari atas hingga bawah. Seulas senyum tipis muncul bersama dengan tawa renyah.
"Kamu tidak pernah berubah ya," ucapnya membuat Mayang spontan menatap lelaki itu lagi,
"Maaf-"
"Tetap menyedihkan seperti dulu" Genta menyela membuat suara Mayang tercekak.
Sejenak pandangan mereka bertemu. Keduanya terpukau untuk beberapa detik. Genta palingkan wajahnya lebih dulu. Begitupun dengan Mayang yang kembali menunduk pilu.
"Kembalilah ke kamarmu" ucap Genta yang kemudian dia pun melangkah lebih dulu.
Rassanya jantung Mayang seperti diremas kencang. Mayang kira Genta akan mengatakan sesuatu hal yang beda. Namun, ternyata masih tetap sama. Lelaki itu masih selalu memberikan tatapan rendah, Mayang sudah biasa. Tapi, Bukan hal itu yang membuat sekujur tubuhnya memanas. Melainkan karena untuk pertama kalinya Mayang melihat lelaki itu mau menatapnya dari dekat seperti tadi.
Mayang gelengkan kepalanya cepat ia tidak boleh lagi merasakan hal ini, ia tidak boleh menyimpan rasa pada lelaki yang akan menjadi milik seseorang besok. Sekali lagi Mayang harus menyadari kalau dia sudah kalah. Kalau Mayang sudah kalah dari perasaan cinta yang terpendam nya ini, kalau Mayang harus menerima kenyataan jika besok sang tuan yang dicintainya itu sudah tidak bisa Mayang dambakan lagi.