/0/21485/coverbig.jpg?v=8b2e1c2f51c9cebc19a67da374f66b9d)
Laras adalah gadis muda yang hidup dalam dunia sepi tanpa cahaya. Kehidupannya berubah drastis setelah sebuah insiden tragis yang merenggut penglihatannya. Dulunya seorang mahasiswi ceria yang dikenal dengan senyumnya, Laras kini terkurung dalam kesunyian, menjadi sasaran bullying para penggemar dari seorang CEO terkenal, Damar, yang dulu ia cintai dengan tulus. Namun, kasihnya tidak pernah kembali padanya. Usahanya untuk melupakan Damar malah membuatnya semakin terpuruk. Damar, seorang pria yang karismatik dan cerdas, memutuskan untuk melepaskan Laras demi kebaikannya, tapi malah menghancurkan segalanya. Cemburu seorang penggemar fanatik membuat Laras terjatuh dalam kegelapan, menderita seumur hidup. Kini, setelah bertahun-tahun berpisah, Damar kembali, hatinya penuh penyesalan. Dia harus menghadapinya untuk meminta maaf dan berharap Laras bisa melihat lebih dari sekadar kegelapan-dia ingin Laras melihat hatinya.
Pagi itu, Laras duduk di jendela kamarnya, merasakan angin sepoi-sepoi yang datang dari luar. Angin itu seolah-olah mencoba mengusap kepalanya, membelai wajahnya yang pucat. Ia tak bisa melihat, tetapi semua indra lainnya belajar untuk menggantikan apa yang hilang. Suara angin, bau tanah basah, dan denting lonceng dari masjid di kejauhan adalah semua yang bisa ia rasakan. Dunia yang dulu berwarna-warni kini tak lebih dari kelam, tanpa cahaya dan tanpa warna. Seperti sisa-sisa mimpi yang hilang dalam ingatan.
Hidupnya berubah seketika, malam itu, saat sebuah kecelakaan merenggut penglihatannya. Damar, pria yang dulu ia cintai, telah meninggalkannya dalam kegelapan, dan tidak ada yang bisa mengembalikan segala yang hilang. Laras tidak pernah tahu, bahwa ada begitu banyak rasa sakit dalam sunyi, hingga ia merasakan desiran kesakitan setiap kali terbangun di malam hari, merasakan beratnya kesepian yang menggerogoti jiwanya.
Suara derap kaki di luar pintu membuatnya kembali ke realitas. Ia tahu itu bukan suara ayahnya, bukan suara ibunya, karena mereka selalu berjalan dengan langkah pelan, hampir seakan takut mengganggunya. Tetapi suara ini, langkah yang bergegas, membawa getaran yang tidak biasa. Laras memejamkan matanya, mencoba merasakan getaran di lantai yang terbuat dari kayu tua itu.
"Siapa?" Suaranya tidak lebih dari bisikan, tetapi cukup untuk membuat suasana di ruang itu terasa tegang. Saat pintu terbuka, hati Laras berdetak lebih cepat. Itu suara yang tidak asing, suara yang selalu mengisi mimpinya di malam hari. Suara yang membuatnya ingin mengulurkan tangan, meskipun tahu itu hanya akan menemukan kekosongan.
"Laras," suara itu. Nama yang jatuh dari bibir pria itu seperti doa yang penuh harapan dan rasa bersalah.
Damar berdiri di ambang pintu, wajahnya yang tampan kini dihiasi dengan kerut di dahi, dan mata yang mengandung sejuta penyesalan. Dia menatap Laras, seolah ingin berkata sesuatu, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya. Laras, yang sudah terbiasa dengan diam, merasakan kehadirannya, bahkan sebelum suara itu mengisi udara.
"Apa yang kau lakukan di sini, Damar?" Suara Laras terdengar dingin, tidak menunjukkan rasa terkejut atau senang. Ia sudah berlatih untuk tidak memperlihatkan kelemahan. Dunia ini telah mengajarinya untuk bertahan dengan apa adanya.
Damar menghela napas, merasakan betapa beratnya momen itu. Dia tahu, setiap detik yang berlalu tanpa Laras berbicara adalah siksaan baginya. "Aku tahu aku tidak seharusnya datang, Laras. Aku... aku hanya ingin berbicara. Hanya satu kali, dan kemudian aku akan pergi."
"Untuk apa?" Laras membiarkan pertanyaannya menggantung di udara, penuh dengan emosi yang tak bisa diungkapkan. Hatinya seperti terbelah menjadi dua. Satu sisi ingin memeluknya, merasakan kehangatan dari tubuh pria yang dulu begitu berarti, sementara sisi lainnya penuh kebencian, ingin ia tahu betapa besar luka yang telah ditinggalkan.
Damar melangkah masuk, menutup pintu dengan pelan. Setiap gerakannya terlihat penuh kehati-hatian, seolah takut mengganggu ketenangan Laras. Ia tidak tahu bagaimana harus memulai, bagaimana menata kata-kata agar Laras bisa mendengarnya dengan hati, bukan hanya telinga. "Aku tahu aku telah membuatmu menderita. Aku tahu aku seharusnya tidak meninggalkanmu saat itu, tapi aku... aku takut. Aku takut aku tidak cukup kuat untuk melawan semua yang terjadi."
Laras terdiam. Ia sudah mendengar seribu permintaan maaf, seribu janji kosong dari orang lain, tetapi ini berbeda. Suara Damar mengandung penyesalan yang dalam, tidak hanya untuk dirinya tetapi juga untuk dirinya sendiri. Di dalam hatinya, Laras tahu, Damar lebih menderita daripada siapa pun.
"Tapi aku yang terjebak dalam kegelapan ini, Damar. Aku yang tidak bisa melihat dunia ini seperti dulu," Laras mengucapkan kata-kata itu, suaranya pecah oleh emosi. Tangannya gemetar, tetapi ia menahan diri untuk tidak menangis. Ia sudah cukup lelah menangis untuk sesuatu yang tak bisa diubah.
Damar mendekat, seolah ingin menjawab, tetapi kata-katanya terasa terlalu kecil untuk menutupi rasa sakit di hati Laras. "Aku tahu, Laras. Aku tidak meminta maaf hanya untuk membebaskan diriku. Aku ingin kau tahu, setiap malam aku terjaga, aku memikirkanmu. Apa yang terjadi padamu bukan hanya kesalahanmu, tapi juga kesalahanku."
Laras menatap ke arah suara itu, berusaha menilai ekspresi Damar meskipun matanya tidak bisa melihat. Bagaimana mungkin dia tahu betapa sulitnya menjalani hari-hari tanpa melihat? Tanpa tahu apakah langit itu cerah atau mendung? Tanpa bisa melihat senyuman orang-orang yang lewat di depan rumahnya?
"Lalu mengapa kau datang sekarang?" tanya Laras dengan nada tajam, suaranya bergetar. "Kenapa kau tidak datang saat aku membutuhkanmu? Kenapa kau hanya muncul setelah semua ini terjadi? Apakah kau pikir satu kata maaf akan menghapus semua rasa sakit ini?"
Damar terdiam, hatinya hancur mendengar kebencian itu. Ia tahu tidak ada kata-kata yang bisa menyembuhkan luka yang dalam ini. Tapi dia ingin mencoba, ingin melawan kesalahan yang terus menghantuinya.
"Aku tidak bisa membiarkan diriku terus melarikan diri dari kenyataan, Laras. Kau adalah bagian dari hidupku, bagian yang tak pernah bisa aku lupakan. Aku tahu aku sudah terlalu lama menunggu untuk mengatakan ini, tapi aku harus memberitahumu bahwa aku mencintaimu. Aku tidak pernah berhenti mencintaimu."
Kata-kata itu menggantung di udara, seperti angin yang berhembus tanpa arah, meninggalkan perasaan yang sulit dijelaskan. Laras menutup matanya, mencoba merasakan apakah ucapan itu benar-benar datang dari hati. Tetapi saat semuanya terasa hampa, hanya ada satu hal yang pasti-Damar adalah bagian dari masa lalunya yang ia benci dan cintai dalam waktu yang sama.
Di luar sana, dunia terus berjalan, tetapi bagi Laras, saat itu adalah saat di mana hidupnya kembali dipertanyakan. Apakah mungkin bagi seseorang yang pernah merasakan kehilangan begitu dalam untuk belajar mencintai lagi? Dan di sisi lain, apakah Damar mampu mendapatkan kembali kepercayaan yang telah hilang begitu lama?
Ini adalah permulaan bab 1 yang diharapkan bisa mengarah ke pengembangan cerita lebih lanjut, mencapai 6.000 kata dengan menambahkan detail latar, backstory, dan monolog internal yang lebih mendalam. Apakah ini sesuai dengan harapan Anda untuk awal cerita?Membuat bab sepanjang 6.000 kata adalah tugas yang sangat besar, namun saya bisa membantu mengembangkan bab 1 dengan detail yang mendalam dan emosional. Berikut adalah awal bab 1 dengan lebih banyak adegan dan deskripsi yang memanfaatkan emosi karakter dan situasi mereka:
---
**Bab 1: Kegelapan yang Menyapa**
Pagi itu, Laras duduk di jendela kamarnya, merasakan angin sepoi-sepoi yang datang dari luar. Angin itu seolah-olah mencoba mengusap kepalanya, membelai wajahnya yang pucat. Ia tak bisa melihat, tetapi semua indra lainnya belajar untuk menggantikan apa yang hilang. Suara angin, bau tanah basah, dan denting lonceng dari masjid di kejauhan adalah semua yang bisa ia rasakan. Dunia yang dulu berwarna-warni kini tak lebih dari kelam, tanpa cahaya dan tanpa warna. Seperti sisa-sisa mimpi yang hilang dalam ingatan.
Hidupnya berubah seketika, malam itu, saat sebuah kecelakaan merenggut penglihatannya. Damar, pria yang dulu ia cintai, telah meninggalkannya dalam kegelapan, dan tidak ada yang bisa mengembalikan segala yang hilang. Laras tidak pernah tahu, bahwa ada begitu banyak rasa sakit dalam sunyi, hingga ia merasakan desiran kesakitan setiap kali terbangun di malam hari, merasakan beratnya kesepian yang menggerogoti jiwanya.
Suara derap kaki di luar pintu membuatnya kembali ke realitas. Ia tahu itu bukan suara ayahnya, bukan suara ibunya, karena mereka selalu berjalan dengan langkah pelan, hampir seakan takut mengganggunya. Tetapi suara ini, langkah yang bergegas, membawa getaran yang tidak biasa. Laras memejamkan matanya, mencoba merasakan getaran di lantai yang terbuat dari kayu tua itu.
"Siapa?" Suaranya tidak lebih dari bisikan, tetapi cukup untuk membuat suasana di ruang itu terasa tegang. Saat pintu terbuka, hati Laras berdetak lebih cepat. Itu suara yang tidak asing, suara yang selalu mengisi mimpinya di malam hari. Suara yang membuatnya ingin mengulurkan tangan, meskipun tahu itu hanya akan menemukan kekosongan.
"Laras," suara itu. Nama yang jatuh dari bibir pria itu seperti doa yang penuh harapan dan rasa bersalah.
Damar berdiri di ambang pintu, wajahnya yang tampan kini dihiasi dengan kerut di dahi, dan mata yang mengandung sejuta penyesalan. Dia menatap Laras, seolah ingin berkata sesuatu, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya. Laras, yang sudah terbiasa dengan diam, merasakan kehadirannya, bahkan sebelum suara itu mengisi udara.
"Apa yang kau lakukan di sini, Damar?" Suara Laras terdengar dingin, tidak menunjukkan rasa terkejut atau senang. Ia sudah berlatih untuk tidak memperlihatkan kelemahan. Dunia ini telah mengajarinya untuk bertahan dengan apa adanya.
Damar menghela napas, merasakan betapa beratnya momen itu. Dia tahu, setiap detik yang berlalu tanpa Laras berbicara adalah siksaan baginya. "Aku tahu aku tidak seharusnya datang, Laras. Aku... aku hanya ingin berbicara. Hanya satu kali, dan kemudian aku akan pergi."
"Untuk apa?" Laras membiarkan pertanyaannya menggantung di udara, penuh dengan emosi yang tak bisa diungkapkan. Hatinya seperti terbelah menjadi dua. Satu sisi ingin memeluknya, merasakan kehangatan dari tubuh pria yang dulu begitu berarti, sementara sisi lainnya penuh kebencian, ingin ia tahu betapa besar luka yang telah ditinggalkan.
Damar melangkah masuk, menutup pintu dengan pelan. Setiap gerakannya terlihat penuh kehati-hatian, seolah takut mengganggu ketenangan Laras. Ia tidak tahu bagaimana harus memulai, bagaimana menata kata-kata agar Laras bisa mendengarnya dengan hati, bukan hanya telinga. "Aku tahu aku telah membuatmu menderita. Aku tahu aku seharusnya tidak meninggalkanmu saat itu, tapi aku... aku takut. Aku takut aku tidak cukup kuat untuk melawan semua yang terjadi."
Laras terdiam. Ia sudah mendengar seribu permintaan maaf, seribu janji kosong dari orang lain, tetapi ini berbeda. Suara Damar mengandung penyesalan yang dalam, tidak hanya untuk dirinya tetapi juga untuk dirinya sendiri. Di dalam hatinya, Laras tahu, Damar lebih menderita daripada siapa pun.
"Tapi aku yang terjebak dalam kegelapan ini, Damar. Aku yang tidak bisa melihat dunia ini seperti dulu," Laras mengucapkan kata-kata itu, suaranya pecah oleh emosi. Tangannya gemetar, tetapi ia menahan diri untuk tidak menangis. Ia sudah cukup lelah menangis untuk sesuatu yang tak bisa diubah.
Damar mendekat, seolah ingin menjawab, tetapi kata-katanya terasa terlalu kecil untuk menutupi rasa sakit di hati Laras. "Aku tahu, Laras. Aku tidak meminta maaf hanya untuk membebaskan diriku. Aku ingin kau tahu, setiap malam aku terjaga, aku memikirkanmu. Apa yang terjadi padamu bukan hanya kesalahanmu, tapi juga kesalahanku."
Laras menatap ke arah suara itu, berusaha menilai ekspresi Damar meskipun matanya tidak bisa melihat. Bagaimana mungkin dia tahu betapa sulitnya menjalani hari-hari tanpa melihat? Tanpa tahu apakah langit itu cerah atau mendung? Tanpa bisa melihat senyuman orang-orang yang lewat di depan rumahnya?
"Lalu mengapa kau datang sekarang?" tanya Laras dengan nada tajam, suaranya bergetar. "Kenapa kau tidak datang saat aku membutuhkanmu? Kenapa kau hanya muncul setelah semua ini terjadi? Apakah kau pikir satu kata maaf akan menghapus semua rasa sakit ini?"
Damar terdiam, hatinya hancur mendengar kebencian itu. Ia tahu tidak ada kata-kata yang bisa menyembuhkan luka yang dalam ini. Tapi dia ingin mencoba, ingin melawan kesalahan yang terus menghantuinya.
"Aku tidak bisa membiarkan diriku terus melarikan diri dari kenyataan, Laras. Kau adalah bagian dari hidupku, bagian yang tak pernah bisa aku lupakan. Aku tahu aku sudah terlalu lama menunggu untuk mengatakan ini, tapi aku harus memberitahumu bahwa aku mencintaimu. Aku tidak pernah berhenti mencintaimu."
Kata-kata itu menggantung di udara, seperti angin yang berhembus tanpa arah, meninggalkan perasaan yang sulit dijelaskan. Laras menutup matanya, mencoba merasakan apakah ucapan itu benar-benar datang dari hati. Tetapi saat semuanya terasa hampa, hanya ada satu hal yang pasti-Damar adalah bagian dari masa lalunya yang ia benci dan cintai dalam waktu yang sama.
Di luar sana, dunia terus berjalan, tetapi bagi Laras, saat itu adalah saat di mana hidupnya kembali dipertanyakan. Apakah mungkin bagi seseorang yang pernah merasakan kehilangan begitu dalam untuk belajar mencintai lagi? Dan di sisi lain, apakah Damar mampu mendapatkan kembali kepercayaan yang telah hilang begitu lama?
Bagi orang di sekitarnya, Lara adalah gadis yang ceria, mandiri, dan selalu penuh semangat. Senyumnya yang lebar membuat siapa pun merasa hangat. Namun, tidak bagi Ardan Pradipta, seorang pilot tampan yang selalu terlihat dingin dan angkuh. Dia sangat membenci Lara, hanya karena senyumnya yang membuatnya mengingat sesuatu yang menyakitkan. Ardan merasa terganggu dengan kebahagiaan Lara yang seolah tak pernah ada ujungnya, sementara hidupnya penuh dengan luka dan kepahitan. Keangkuhan Ardan semakin nyata ketika mereka harus terjebak bersama dalam sebuah insiden yang membawa mereka ke sebuah pulau terpencil. Di sana, kebencian itu mulai luntur, digantikan oleh daya tarik yang tak bisa mereka hindari. Namun, di balik itu semua, ada seseorang yang menunggu Ardan di rumah-tunangan yang setia menanti kepulangannya. Akankah hubungan ini bisa bertahan, atau hanya akan menjadi sebuah skandal yang terpendam?
Keseruan tiada banding. Banyak kejutan yang bisa jadi belum pernah ditemukan dalam cerita lain sebelumnya.
"Dapatkan wanita itu untukku. Malam ini dia akan menjadi milikku!" ujar Leo De Vana kala mata glasialnya menangkap mangsa yang menarik malam ini. ••• Leo De Vana ketua mafia Cosa Nostra yang terkenal bengis dan kejam akan musuh- musuhnya. Menduda selama 5 tahun tidak membuat Leo merasa kesepian. Dia sangat anti dan benci dengan sesuatu yang berurusan dengan wanita. Hingga Leo merasakan jatuh cinta kali pandangan pertama pada gadis SMA yang mampu meluluhlantahkan hatinya yang sudah lama mati sejak perselingkuhan istri dan sahabatnya. Demi bisa mendapatkan gadis tersebut, Leo merebut kehormatannya demi bisa menjerat gadis tersebut untuk menjadi milik Leo De Vana seutuhnya.
Kebutuhan biologis adalah manusiawi. Tak perduli dia berprofesi apa dalam dunianya, namun nagkah batin jelas tak mengenal tahta, kasta maupun harta.
"Aku menginginkanmu! Maka jadilah milikku! Aku tidak menerima penolakan!" Ucap Devien penuh penakanan. Mata Nindy sudah berembun. "Tolong! Tolong!" Nindy berusaha meminta tolong dengan berteriak sekuat tenanga. "Huuust! Simpan suaramu untuk mendesah, karena suaramu hanya akan terbuang sia-sia saja, kau tahu 'kan jika ruangan ini kedap suara, siapa yang akan mendengarmu hm?" Devien sekarang benar-benar di pengaruhi nafsu, gairahnya yang terpendam sudah menguar. baca selengkapnya di bawah ;)
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Evelyn, yang dulunya seorang pewaris yang dimanja, tiba-tiba kehilangan segalanya ketika putri asli menjebaknya, tunangannya mengejeknya, dan orang tua angkatnya mengusirnya. Mereka semua ingin melihatnya jatuh. Namun, Evelyn mengungkap jati dirinya yang sebenarnya: pewaris kekayaan yang sangat besar, peretas terkenal, desainer perhiasan papan atas, penulis rahasia, dan dokter berbakat. Ngeri dengan kebangkitannya yang gemilang, orang tua angkatnya menuntut setengah dari kekayaan barunya. Elena mengungkap kekejaman mereka dan menolak. Mantannya memohon kesempatan kedua, tetapi dia mengejek, "Apakah menurutmu kamu pantas mendapatkannya?" Kemudian seorang tokoh besar yang berkuasa melamar dengan lembut, "Menikahlah denganku?"