Mitos dan menurut orang zaman dulu di desa, ada gadis muda yang baru saja menikah enam bulan, diketahui kalau mertuanya selalu menuntut untuknya hamil.
Lantaran dia belum juga hamil, ada kata-kata dari mertuanya yang menyakiti hati si Gadis. Sehingga Gadis itu nekat keluar dari rumah, dan berlari menuju gunung. Lantaran suaminya juga tidak ada sedikitpun membelanya, meski tahu kata-kata ibunya sangat menyakiti dia yang sebagai istri.
Katanya, ketika disusul dan dicari oleh orang tua si gadis dengan bantuan warga. Sampai lebih dari seminggu pencarian, mereka sama sekali tidak pernah menemukan si Gadis.
Hingga keputusan terakhir adalah diikhlaskan, dan dipercaya telah meninggal di sana karena tersesat, lalu kelaparan dan kehausan, sebab lama tidak ditemukan.
Beberapa tahun, gunung tersebut dijadikan sebagai gunung sarana pendakian. Karena keindahan alam, juga sumur yang ditemukan di dekat curug. Di sepanjang jalur Pos Ipar menuju pos terakhir, yaitu Pos Buyut dikelilingi bunga Primula/bunga kunci dan bunga kantung semar, yang menjadi salah satu pemandangan indah untuk para pendaki.
Berita menyebar, dan memperkuat asal-usul gunung Pengantin, karena banyak para pendaki yang mengaku, melihat sosok gadis, memakai baju putih seperti pengantin.
Cukup banyak juga para pendaki mengaku, sosok perempuan itu mendatangi salah satu dari mereka, lalu bertanya.
"Bisa carikan saya anak?"
Sang pendaki yang ditanya setelahnya, hampir kebanyakan menjadi linglung, dan merasakan kesedihan, apalagi jika sang pendaki adalah perempuan, mereka akan menangis histeris, merasakan sedih yang begitu mendalam tanpa tahu sebabnya apa.
Sejak saat itu, para penduduk meyakini sosok hantu gadis itu adalah Gadis Pengantin yang melarikan diri ke gunung dan menghilang.
Para penduduk menghimbau, anak-anak tidak boleh bermain di dekat Gunung Pengantin ketika menjelang petang.
Dikarenakan, tidak mau ada sesuatu yang buruk terjadi.
****
Namaku, Bima. Umurku, 11 tahun.
Aku terlahir dari keluarga yang kurang mampu, sehingga untuk jajan saja orang tuaku tidak bisa memberikanku uang walau hanya dua ribu rupiah.
Bisa makan saja sangat beruntung.
Suatu hari, sekitar jam satu siang.
Aku tengah mencari kayu bakar di Gunung Pengantin.
Kata Bapak, dan Ibu aku tidak boleh ke sana. Tetapi, jiwa penasaranku membantah larangan itu. Sehingga aku tetap pergi, dan nyatanya tidak pernah terjadi apapun sampai saat ini.
Kuceritakan pada Ibu dan Bapak, bahwa aku mencari kayu bakar di gunung tersebut.
"Kamu! Kok yo dibilangin ngeyel banget, to, Le!"
Awalnya, mereka memarahiku. Namun, karena setiap hari aku membuktikan kalau siang hari itu tidak ada apa-apa di sana.
Mereka pun pasrah, dan mengizinkanku.
Dengan syarat, jam empat sore, harus sudah berada di bawah kaki gunung.
Seperti biasa, saat sedang mencari kayu bakar. Aku melihat dan tak jarang menemui rombongan orang mendaki.
Setelah kuperhatikan, aku memiliki ide untuk menjual air minum pada mereka.
Di gunung itu, ada sebuah sumur. Yang airnya sangat sangat jernih dan bahkan orang-orang yang ke sana bisa mengambil dan meminum langsung. Airnya dingin, dan segar. Seperti air yang disimpan dalam botol kendi.
Akan tetapi, karena letak sumur itu lumayan jauh dari jalur pendakian. Sehingga banyak juga orang yang malas ke sana.
Beberapa hari kemudian, aku mencoba menjual lima botol air yang kuambil dari sumur itu. Menggunakan botol bekas yang sudah kucuci bersih dengan sabun, lalu kubersihkan lagi dengan air panas. Entahlah, kutiru saja cara membersihkan botol seperti Bibi yang mencuci dot milik Tika-bayi tiga bulan, keponakanku.
Tak kusangka, semuanya laku terjual. Satu botol berukuran sedang, aku jual 2 ribu saja.
Pada hari itu, untuk pertama kalinya. Aku bisa memegang uang 10 ribu hasil jualan sendiri. Langsung kupakai untuk jajan separuh, dan sisanya kuberikan pada Ibu.
Sampai saat ini, aku melakukan kebiasaan itu. Sembari mencari kayu bakar, sambil berjualan.
****
Aku tidak akan naik sampai puncak, tapi akan berhenti dan mangkal di pos keempat yaitu Pos Mantu Lanang.
Kebiasaanku di sana, sampai dihapal oleh para pendaki yang lewat. Mereka merasa terbantu, dengan adanya aku yang berjualan air, karena tak akan susah untuk berjalan ke lokasi sumur yang jaraknya cukup jauh dari jalur pendakian.
Seperti biasa siangnya aku bersiap naik ke Gunung Pengantin untuk berjualan dan sekalian mencari kayu untuk Ibu.
Tiba-tiba teman mainku yang bernama Alif datang menghampiri.
"Mau ke mana, Bim?"
"Biasa, jualan air sama sekalian nyari kayu bakar buat Ibu," jawabku.
Alif ini, adalah anak korban perceraian. Kedua orang tuanya pergi entah ke mana setelah berpisah, yang jelas aku tahu Alif sekarang tinggal dengan paman dan bibinya.
Paman dan bibinya juga memiliki dua anak yang masih kecil, keenomian membuatnya tak jauh berbeda denganku.
Jarang jajan, atau bisa dikatakan tidak pernah jajan.
Rumah kami berdekatan, hanya bersebrangan di antara jalan setapak yang biasanya dilewati pendaki berjalan kaki, bagi yang tidak mau menyewa jasa ojek untuk menuju pos satu, yaitu Pos Bapak Mertua. Mereka akan lewat jalan itu, dan secara melewati rumahku dan rumah pamannya Alif.
Sering kulihat dia dimarahi dan disuruh-suruh oleh paman dan bibinya. Karena rumah kami dekat Jadi, aku sering melihatnya saat hal itu terjadi.