"Apa benar?" Suara Arya memecah kesunyian, rendah, nyaris berbisik, tapi tajam seperti pisau yang menusuk hati. "Apa yang aku dengar itu benar, Alina?"
Alina menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gemuruh emosi yang mulai menguasainya. Ia tahu ini akan terjadi. Cepat atau lambat, kebenaran yang telah lama ia kubur akan mencuat ke permukaan. Tapi ia tidak siap. Tidak sekarang. Tidak dengan cara seperti ini.
"Arya..." Alina mencoba berbicara, namun suaranya serak. Matanya yang gelap penuh kegelisahan menatap punggung lelaki itu, berharap Arya akan menoleh dan memberinya sedikit kehangatan, sedikit pengertian. Namun, Arya tetap berdiri kaku seperti patung marmer.
"Jawab aku, Alina!" Arya berbalik, tatapannya tajam, wajahnya memerah menahan amarah. Tangannya terkepal, jemarinya bergetar, seperti seseorang yang tengah berusaha mati-matian menahan ledakan yang hampir pecah. "Apakah kau benar-benar... bukan seperti yang aku kira selama ini?"
Kata-kata itu menggantung di udara, menekan dada Alina seperti beban yang tak tertanggungkan. Ia menundukkan kepala, menatap ujung kakinya yang gemetar. Air matanya menggenang, tapi ia menolak untuk menangis. Ia tahu, tangisannya tidak akan berarti apa-apa sekarang.
"Aku bisa jelaskan, Arya..." suaranya lirih, hampir tidak terdengar.
Arya tertawa kecil, namun bukan tawa yang hangat. Itu tawa yang penuh rasa pahit dan sinis. "Jelaskan? Apa lagi yang harus dijelaskan, Alina? Fakta bahwa aku menikahi seorang wanita yang selama ini menyembunyikan sesuatu sebesar ini dariku? Atau kau ingin menjelaskan bagaimana aku selama ini percaya bahwa kau adalah orang yang berbeda?"
Kata-kata Arya menghujam hati Alina seperti panah beracun. Ia ingin menjawab, ingin membela diri, tapi lidahnya terasa kelu. Ia tahu Arya berhak marah. Ia berhak merasa dikhianati. Tapi apakah Arya juga berhak menilai dirinya hanya dari masa lalu yang sudah lama ia tinggalkan?
"Aku tidak berniat menyembunyikannya..." Alina akhirnya bersuara, meskipun dengan nada bergetar. "Aku hanya takut... Takut kau tidak akan mau menerima aku apa adanya."
"Takut?" Arya mengulangi kata itu dengan nada tajam. Ia berjalan mendekati Alina, menghentikan langkahnya hanya beberapa inci dari sofa tempat Alina duduk. "Jadi kau pikir lebih baik menipuku, ya? Membuatku percaya bahwa aku menikahi seseorang yang suci, padahal kau..."
"Berhenti!" Alina tiba-tiba berdiri, suaranya meninggi untuk pertama kalinya. Ia menatap Arya dengan mata yang berkilat, penuh air mata yang akhirnya jatuh membasahi pipinya. "Aku tahu aku salah! Aku tahu aku seharusnya memberitahumu sejak awal! Tapi aku... aku tidak tahu harus bagaimana! Aku tidak ingin kehilanganmu, Arya!"
Arya terdiam, terpaku oleh ledakan emosi Alina. Namun hanya sejenak. Wajahnya kembali mengeras, dan ia menggelengkan kepala perlahan. "Kehilangan aku? Kau bahkan tidak memberiku kesempatan untuk memilih, Alina. Kau mengambil keputusan itu sendiri, tanpa memikirkan apa yang aku rasakan."
Alina terisak, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Kau tidak tahu apa yang aku lalui, Arya... Kau tidak tahu bagaimana aku berjuang untuk melupakan masa lalu itu! Aku hanya ingin hidup baru, awal baru bersamamu..."
"Tapi aku berhak tahu!" Arya memotongnya dengan nada yang begitu tajam, hingga Alina terdiam. "Aku berhak tahu siapa wanita yang aku nikahi. Aku berhak tahu kebenaran tentangmu, Alina. Bukan hanya separuhnya."
"Dan jika aku memberitahumu... apakah kau akan tetap menikahiku?" Alina bertanya dengan suara kecil, hampir seperti bisikan. Ia menatap Arya dengan mata yang penuh harap, namun di balik itu ada ketakutan yang begitu besar.
Arya tidak menjawab. Ia hanya menatap Alina dengan mata yang penuh kekecewaan dan kebingungan.
Kesunyian menyelimuti mereka berdua, hanya suara hujan yang terus mengguyur di luar jendela. Arya akhirnya menghela napas panjang, membuang pandangannya ke arah lain. "Aku tidak tahu, Alina... Aku benar-benar tidak tahu."
Malam itu, api kecil yang selama ini terpendam di dalam rumah tangga mereka akhirnya menyala, menghanguskan kepercayaan yang selama ini menjadi pondasi hubungan mereka.