Aura wajah dan warna kulitnya pucat pasi. Penyakit mematikan yang kian hari menggerogoti tubuhnya, membuatnya kian terpuruk dan kehilangan jati diri.
Sahabat mana, yang tidak iba. Melihat kondisi buruk sahabatnya kini. Tampaknya Albar begitu tertekan. Rayyen terhenyak mendengar keinginan sahabat karibnya itu. Lama tidak bertemu, sekalinya berjumpa Albar malah mengutarakan keinginan sakral pada dirinya. Bukan tanpa alasan, Rayyen menjadi berpikiran aneh pada Albar. Seperti yang ia kenal Albar kerap mempermainkan hati wanita.
Jangan - jangan Albar melakukan hal buruk pada wanita itu. Hingga ia melimpahkan kesalahannya padaku.
"Apa katamu Al, ucapanmu tidak masuk akal. Kamu sedang tidak bercanda kan?" sahut Rayyen tergugu.
"Tidak Ray, dia wanita yang baik. Aku tak ingin kehilangannya. Namun aku juga tidak rela dia di miliki orang lain. Aku ingin kamu yang menggantikan posisiku. Aku percaya padamu Ray, aku sudah sangat mengenalmu," jelas Albar yakin dan mulai tersedu. Pria ini tak dapat lagi menyembunyikan rasa pilunya. Rasanya takdir begitu pahit. Tidak bisa memiliki meski sudah bisa menggapainya.
"Tapi kenapa Al, kenapa harus aku, apa yang membuatmu tidak bisa mendampinginya?" tanya Rayyen berat juga meragukan.
"Aku, aku, ak - ku ..." terisak. Air mata luruh membanjiri wajah lelaki itu. Ia tidak dapat lagi menahannya. Sedangkan hati Rayyen pun ikut hancur menyaksikan Albar yang sesenggukan. Seolah - olah ia tidak mengenal lagi sahabatnya. Entah kemana Albar yang dulu. Albar sekarang sangatlah berbeda. Tadinya ia bimbang dengan permintaan sahabatnya itu. Tapi ia bisa melihat dengan jelas. Sesakit dan seserius itukah perasaan sahabatnya. Sedalam itukah luka hatinya. Dan secinta itukah Albar pada wanita yang tak pernah di kenalkan padanya. Dan kini Albar memintanya untuk menikahinya.
"Kenapa Al, ada apa denganmu, apa yang terjadi padamu?" desak Rayyen sembari menahan salivanya.
'"Aku sakit Ray, aku tidak bisa mendampinginya. Dan umurku hanya tinggal beberapa bulan lagi", sahut Albar dengan tangis yang semakin menjadi. Mendengar pengakuan sahabatnya, hati Rayyen rasanya luluh lantak. Ia tidak percaya kalau Albar sebentar lagi di takdirkan harus, pergi meninggalkan dunia ini. "Bagaimana bisa Al, bagaimana bisa ini terjadi padamu? Tidak! Aku tidak percaya dengan semua ini. Kamu adalah lelaki yang kuat, sahabatku Albar adalah lelaki yang tangguh," Rayyen berusaha mengelak. "Kamu bohong Al ..." tuding Rayyen lagi.
"Ti - tid - tidak! Aku tidak berbohong Ray, percayalah ..." Albar menggenggam kedua tangan Rayyen terisak. "Selama ini aku terus menjalani pengobatan. Aku berusaha untuk sembuh. Demi keluargaku, dan demi wanita yang ku cintai. Tapi ..." jelas Albar terputus sembari menunduk. "Tapi dokter mengatakan tidak ada harapan", sambungnya masih dengan tangis yang menggebu.
Rayyen sebisanya menenangkan sahabatnya. Menepuk dan mengusap - usap pundak Albar. Ia memilih bungkam seribu bahasa. Rayyen tahu ada banyak hal lagi, yang ingin Albar sampaikan padanya.
"Sudah lebih dari setengah tahun yang lalu. Aku menjalin hubungan dengan seorang wanita. Namanya Aliffa. Aliffa adalah adik kelas di kampusku. Aku merasa benar - benar jatuh hati padanya. Dia wanita yang anggun. Wanita shalihah, wanita mahal yang pernah ku kenal dalam hidup ku.Berulangkali aku menyatakan cinta padanya. Namun Aliffa terus menolakku. Katanya tidak ada yang namanya pacaran dalam hidupnya. Aliffa sangat menaati orang tuanya. Ia berbeda dengan wanita lain, yang pernah ku kenal sebelumnya." Mengingat Aliffa membuat Albar sedikit merasa lebih lega, dengan kondisi hatinya yang kini tengah sangat berkecamuk.
"Aku berusaha keras menaklukkan hatinya. Hingga aku lulus kuliah, Aliffa masih tetap pada pendiriannya. Dan pada akhirnya, Aliffa mengajakku ke pesantren milik pamannya," cerita Rayyen mengenangnya. Wajahnya bisa sedikit sumringah mengingat kala - kala itu.
"Lalu apa yang terjadi?" tanya Rayyen menatap Albar penuh perhatian. Ia terus mendengarkan cerita sahabatnya dengan seksama.
Albar menarik bibirnya lebar, "di sana aku menemukan kedamaian. Dan ketentraman jiwa, yang selama ini tidak pernah ku dapatkan di keluargaku. Aku banyak belajar. Sungguh sangat indah. Aku pun semakin takjub, dengan wanita itu. Dia mampu merubah hidupku ke arah yang lebih baik. Seiring berjalannya waktu, aku mau belajar dan menimba ilmu agama di sana. Hingga aku bertekad mau berubah. Dan aku pun akhirnya merubah diriku menjadi lebih baik. Dan sampai pada akhirnya, kedua orang tua Aliffa menyuruh ku untuk melamar putri mereka."
Albar menyeka air matanya.
"Aku bahagia tiada tara. Angan - anganku untuk bisa memiliki seorang Aliffa bukan hanya khayalan semata. Aku pun bertanya pada Aliffa apakah dia mau menjadi istriku. Dan Aliffa menjawab 'iya'. Aku sangat gembira pada saat itu. Bahkan kedua orang tua ku pun sudah merestui hubunganku kami. Dan sedikit lagi perjuangan cintaku hampir saja selesai. Kami akan melenggang ke jenjang pernikahan. Tapi ..." Albar memotong ceritanya dan tangisnya kembali pecah.
"Tiga bulan setelah lamaranku pada Aliffa. Aku merasa kondisiku kurang sehat. Bahkan sakitku, kian hari semakin parah. Awalnya aku mengira aku hanya keletihan. Tapi setelah aku memeriksakan diriku lebih dalam. Dokter memvonis ku menderita kanker paru stadium akhir. Mau tidak mau aku harus terima. Memang dulu pola hidupku sangat tidak sehat. Dan, aku rasa ini hukuman Tuhan untukku," aku Albar pasrah dengan mata yang masih berkaca - kaca
Rayyen masih memilih diam. Ia mencermati dan memahami cerita demi cerita yang di jabarkan Albar padanya. Meski mereka berjauhan berada di negara yang berbeda. Rayyen hafal betul sifat dan tabiat asli sahabatnya itu. Dan kali ini Albar memang sedang tidak bergurau padanya. Tentang permintaan sakralnya. Dan ini menyangkut masa depannya dan wanita itu. Rayyen dan Albar memanglah sangat jauh berbeda. Albar terkenal dengan sifat playboy nya. Hidupnya kerap di kelilingi oleh beberapa wanita. Di penuhi dengan dunia hiburan gemerlap malam. Karena kesibukan sang ayah, dalam mengelola bisnis kerjanya. Albar tumbuh menjadi pribadi yang nakal dan urakan. Albar merasa kurang di perhatikan oleh sang ayah. Hingga ia memutuskan untuk mencari pelampiasan egonya dengan memilih jalan hidup yang salah. Dan ia adalah pemuda blasteran. Lahir dari keturunan Indonesia - Belanda. Namun ibunya memilih menetap di Indonesia. Sedangkan Rayyen berdarah asli Indonesia. Tetapi karena bisnis ayahnya yang begitu maju dan berkembang pesat di luar negara, keluarganya memutuskan untuk tinggal menetap di Swiss. Tak jauh berbeda Rayyen tumbuh dengan keluarga yang lengkap. Namun orang tuanya selalu berusaha memberikan kasih sayang yang pantas pada, putra semata wayangnya di sela - sela kesibukan mereka. Bertolak belakang dengan Albar, Rayyen adalah pemuda cerdas di penuhi dengan segudang prestasi. Ia mampu mengelola bisnis ayahnya di usianya yang sangat muda. Dan kini Rayyen pemegang saham seutuhnya, di perusahaan yang telah lama di kelola sang ayah. Sejak ayahnya tutup usia. Maka dari itulah, Albar mempercayakan Aliffa pada Rayyen. Yang ia yakini, mampu membahagiakan Aliffa dan memberikan hidup layak pada kekasihnya itu. Selain itu juga Rayyen memiliki kepribadian yang santun. Rayyen memiliki hati yang lembut. Bagi Albar, Rayyen sangat cocok di sandingkan dengan Aliffa. Albar telah meyakini, semua takdir yang terjadi padanya. Adalah jalan untuk mempersatukan Rayyen dan Aliffa. Dan ia hanyalah perantara.
"Bagaimana Rayy, apa kamu bersedia menikahi Aliffa untukku?" pertanyaan itu membuat Rayyen terbelenggu.