Di luar jendela kantin, terlihat keramaian mahasiswa yang sedang menikmati istirahat sejenak. Mereka tertawa, berbicara tentang ujian, tentang tugas-tugas yang tidak pernah selesai. Namun bagi Alina, semua itu terasa jauh, seperti dunia lain yang tidak pernah bisa dia jangkau. Hidupnya penuh dengan perasaan kesepian yang dalam, sebuah keheningan yang menghimpit dada.
Tiba-tiba, sebuah suara baritone yang tajam dan penuh kuasa menginterupsi pikirannya. "Hei, kamu di sana. Itu kue apa yang kamu jual?" Alina menoleh, matanya terfokus pada sosok pria yang baru saja menghampirinya. Rayan Syahmir. Dia tidak asing di kampus ini-pria tampan dengan wajah yang sering muncul di media sosial dan acara-acara kampus. Namun ada sesuatu yang tajam dalam pandangannya, seolah-olah ia datang bukan hanya untuk membeli kue, melainkan untuk mencari sesuatu yang lebih.
Alina tersenyum kecil, berusaha untuk tidak menunjukkan kecemasannya. "Kue cubir," jawabnya pelan, "kue tradisional buatan nenek saya."
Rayan mengangguk, tetapi ekspresinya tetap dingin, seolah-olah dia sedang menilai lebih dari sekadar kue itu. "Tidak pernah dengar. Tapi apapun, aku akan coba."
Dia mengambil kue itu tanpa bertanya lebih lanjut, seperti mengambil sesuatu yang tidak berarti. Tidak ada senyuman, tidak ada rasa ingin tahu. Hanya perasaan angkuh yang memancar dari dirinya. Alina merasa sedikit terganggu, tapi dia mencoba menahannya. Sambil menunggu, dia kembali menatap langit-langit kantin, berharap Rayan segera pergi.
Namun, tak lama kemudian, pria itu kembali mendekat dengan ekspresi yang lebih serius. "Kue ini... payah," katanya dengan suara datar yang tidak mengandung belas kasihan. "Bisa dibilang ini salah satu kue terburuk yang pernah aku coba. Bagaimana bisa kau menjual ini di sini?"
Alina terkejut. Kata-katanya menusuk jauh, jauh lebih dalam daripada yang bisa dia bayangkan. Mata Rayan tajam, penuh perhitungan, seolah ia sedang memandang sesuatu yang tidak layak untuk dihargai.
"Maaf," Alina berkata dengan suara pelan, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. "Saya hanya mencoba yang terbaik."
"Tebakanmu salah," ujar Rayan, menyeringai sedikit, seolah menikmati penderitaan kecil yang ia sebabkan. "Cobalah sesuatu yang lebih baik. Jangan berharap orang akan membeli barang murahan seperti ini."
Alina tidak bisa berkata apa-apa lagi. Hatinya hancur, seperti ditabrak batu besar. Apa yang sebenarnya dia harapkan? Perlakuan baik? Simpati? Semua itu seolah menjadi ilusi, tergilas oleh kata-kata tajam dari seorang pria yang tidak peduli sedikit pun.
Rayan berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Alina yang masih terdiam di tempatnya, merasa sangat kecil. Namun, saat langkahnya semakin menjauh, ia mendengar suara tawa kecil di belakangnya. Tidak jelas apakah itu ditujukan pada dirinya atau bukan, tapi Alina merasa dihina lebih dari sebelumnya.
Di tengah kekosongan hatinya, sebuah perasaan baru muncul-sesuatu yang jauh lebih gelap dan lebih kuat dari sebelumnya. Kegagalan yang memalukan. Kehidupan yang seakan tidak pernah memberi kesempatan untuk sukses. Semua hal itu menghimpitnya dalam keputusasaan yang tidak terhingga.
Di luar, hari semakin gelap. Kejadian ini adalah bagian kecil dari sebuah hari yang buruk, namun Alina merasakannya seperti kehancuran. Kekuatan dan harapan dalam dirinya perlahan terkikis, hingga yang tersisa hanya kekosongan.
Namun, apa yang Alina tidak tahu adalah bahwa ini bukanlah akhir dari segalanya. Kejadian ini akan mengubah hidupnya dengan cara yang lebih dalam lagi, mengarah pada pertemuan tak terduga yang akan menghancurkan hidupnya lebih jauh, namun juga memberi kesempatan untuk mengubah takdir yang kelam menjadi kebahagiaan yang mungkin tidak pernah ia duga.
Rayan Syahmir, dengan segala egonya, baru saja memulai rencananya. Sebuah pernikahan terpaksa akan menjadi harga yang harus dibayar, dan Alina tidak tahu bahwa hidupnya sudah diputuskan tanpa izin darinya.