/0/22720/coverbig.jpg?v=577f3c30b5c194d3127a7068a5bf8a09)
Hanum selalu mengira jika hidupnya adalah kesalahan dan tak seharusnya ada di dunia. Hidup berdua dengan sang nenek dan menjalani semua dengan sederhana bahkan tanpa orangtua membuatnya tumbuh menjadi gadis arogan dan introvert meski begitu, Hanum tak pernah bisa diam melihat kesewenangan. Hidup Hanum berubah saat Dipta, laki-laki kota yang melarikan diri dari masa lalunya, mulai tertarik pada Hanum dan ingin memilikinya. Meski berbeda prinsip dan latar belakang, tak membuat mereka menyerah dengan hubungan rumit yang mereka miliki. Masalah muncul ketika orangtua Dipta ternyata orangtua kandung Hanum. Mampukah mereka menyelesaikan kesalahpahaman di antara mereka? Masihkah berlanjut kisah cinta Hanum dan Dipta dengan kondisi mereka?
Hanum baru saja menyandarkan motornya di sisi rumah saat dia mendengar rintihan suara asing di balik semak tinggi. Hanum memandang sekeliling. Hujan sedari siang membuat suasana semakin gelap dan mencekam. Berkali-kali Hanum menyentuh tengkuknya yang mulai terasa dingin.
"Tolong!" Hanum yang hendak melangkah meninggalkan sisi halaman kembali berhenti.
"Hanum!" Hanum terlonjak kaget saat nenek menyusul membawakan payung.
"Ah, mak! Bikin Hanum kaget aja!" Hanum tersenyum hangat. Hanum begitu dekat dengan nenek karena hanya neneklah sosok yang ada sejak Hanum mengenal dunia.
"Kalau cuaca begini, mending kamu nginep aja, Num. Emak malah sport jantung nungguin kamu pulang!" Nenek menyerahkan payungnya.
"Gak usah, Hanum toh sudah basah. Mau sekalian mandi!" Hanum menolak payung yang disodorkan neneknya.
"Tolong!" Suara itu masih terdengar meskipun lebih lemah.
"Mak, dengar gak?" Hanum kembali memasang mata dan telinganya. Gadis berlesung pipit itu, menatap neneknya tajam.
"dengar apa? Emak gak dengar apa-apa selain geledek sama hujan!" Hanum mencelos.
"giliran beginian aja gak denger, tapi kalau lagi diomongin denger!"
"Besok suruh Mang soleh benerin pager depan ya, mak!" Lanjut Hanum
"Kenapa? Nabrak lagi? Astaga Hanum! Seneng bener bikin emak kere! Kalau udah deket tuh mbok dikurangin gasnya!"
"Gak asyik gak nabrak, mak!" Hanum tertawa diikuti jeweran neneknya.
"Tolong!" Suara itu semakin lemah. Hanum bergegas ke ujung sisi halaman yang masih tinggi semak belukar.
"Num, jangan cari masalah!" Nenek Hanum berteriak khawatir saat Hanum melangkah. Rumah mereka di ujung jalan dan jauh dari keramaian. Di sisi belakang, ada sungai besar yang dulu menjadi tempat Hanum menyendiri sehari-hari.
"Astaga!" Hanum kembali terlonjak kaget. Laki-laki yang penuh dengan luka dan darah yang bercampur air hujan.
"Kenapa, Num!" Wanita tua itu kembali khawatir saat mendengar suara Hanum yang terdengar kaget.
Hanum tak lagi menjawab. Tangannya segera meraih pundak laki-laki yang kini terbaring lemah. Pakaiannya lusuh oleh lumpur.
"Kenapa kau penuh luka. Macam keluar dari neraka saja!"
"Aku mungkin berasal dari sana!" Laki-laki itu menjawab dengan seringai.
"Baguslah kau masih hidup. Ayo ikut aku!" Hanum tertawa pelan. Lalu memapah laki-laki asing itu, memasuki rumah.
"Hanum, siapa dia?" Nenek Hanum tergopoh-gopoh mengikuti langkah Hanum yang tampak susah memapah laki-laki asing penuh darah.
"Setan, mak!" Jawab Hanum sekenanya.
"Setan?" Wanita tua itu mengulang kata-kata Hanum dengan wajah bingung.
"Masak air, mak. Biar Hanum bersihkan dia!" Nenek Hanum mengangguk lalu berjalan melewati Hanum menuju dapur.
"Aku akan membantumu membersihkan luka-lukamu. Tapi setelahnya, kau harus segera pergi meninggalkan rumah ini. Kami hanya dua orang perempuan, bisa bahaya kalau penduduk melihatmu lama-lama di sini!" Hanum segera bertindak. Mengambil kotak obat dan gunting setelah membaringkan di ranjang yang biasa digunakan neneknya.
Dengan penuh hati-hati merobek pakaian laki-laki itu, lalu mulai membersihkan dan memberikan perawatan.
"Maling apa, sampai ancur begini?" Hanum geleng-geleng kepala. Antara ngeri dan ingin tahu, meski tangannya cekatan membalut lengan dengan perban. Luka menganga di lengan seperti sabetan pedang atau semacamnya belum bekas tusukan. Seumur hidup baru kali ini, Hanum merawat luka yang mengerikan.
"Kau cekatan juga. Terbiasa merawat laki-laki sepertiku?" Mata laki-laki itu menatapnya tajam. Entah kenapa, sejak melihat Hanum, ada sesuatu yang dirasakannya.
"Ya, aku biasa merawat luka, tapi bukan luka perang seperti ini! Aku biasa membantu nenek merawat luka ibu-ibu pasca melahirkan. Nenek suka bantu perempuan miskin melahirkan!" Laki-laki itu kembali terdiam.
"Akan kucarikan pakaian untukmu, kecuali kalau kamu tak mau!" Hanum berdiri.
"Kau bersihkan badan dulu, Hanum!" Nenek membantu Hanum membereskan kotak obat lalu menyerahkan segelas minuman hangat. Hanum baru sadar jika tubuhnya masih basah.
"Terima kasih nek, minumannya segar sekali!" Laki-laki itu tersenyum pada nenek.
"Ya, minuman untuk ibu yang baru melahirkan. Biar lukanya cepat kering!" Hanum tergelak melihat laki-laki itu melongo sedang nenek hanya tersenyum kecil dan menepuk lengannya perlahan.
"Maaf, kita di desa terpencil. Tak biasa menjamu tamu kecuali yang memang datang untuk meminta bantuan!" Laki-laki itu mengangguk dan kembali tersenyum. Hanum menggelengkan kepalanya heran. Laki -laki itu begitu manis saat menatap neneknya, kenapa malah terlihat garang saat menatap dirinya.
Tanpa permisi, Hanum segera ke kamar. Mandi dengan cepat lalu berganti pakaian casual. Gadis bertubuh semampai itu, kembali keluar dengan membawa pakaian. Celana kolor dengan kaos oblong juga sebuah tongkat penyangga kaki.
"Pakailah. Kamar mandi di sana!" Hanum menunjuk kamar mandi.
"Kau bisa kan jalan sendiri?" Laki-laki itu mengangguk lalu berjalan pelan meninggalkan Hanum.
"Makan dulu, Num!" Hanum menoleh ketika wanita tua itu membawakan makanan yang di letakkannya di sisi meja dekat ranjang perawatan.
"Hem!" Jawab Hanum singkat.
"Besok, biar Hanum ke Pak Danu, Mak!" Nenek Hanum mengangguk sambil tersenyum. Sejak nenek terjatuh beberapa waktu lalu, Hanum selalu melarang neneknya bepergian sendiri.
"Tidurlah, Mak! Sudah malam!" Hanum menuntun neneknya menuju kamar. Bagi Hanum, neneknya adalah harta tak ternilai yang harus dia jaga. Dua perempuan berlainan generasi itu, melangkah menuju kamar nenek.
"Maaf buat mak khawatir malam ini. Ada kelas tambahan jadi aku terpaksa pulang agak sore!"
"Ya, mak tahu. Kamu pasti punya alasan sendiri jika pulang kemalaman. Mak percaya, kamu bisa jaga diri!" Hanum mengangguk. Mencium neneknya sesaat sebelum neneknya menutup pintu.
"Kau tak punya baju lain?" Hanum menoleh. Menahan tawa dengan membekap bibirnya. Laki-laki yang gagah dan penuh luka tadi, kini tampil seperti Shelly, banci di ujung jalan besar yang selalu digodanya tiap pagi.
"Kau mau baju nenekku?" Laki-laki itu tak menjawab tapi menatapnya dengan tajam.
"Makanlah lalu istirahatlah. Besok aku akan minta Mang Soleh mengantarmu ke kota!"
"Siapa Mang Soleh?" Laki-laki itu bertanya sambil kembali duduk di sisi ranjang dan menyantap makanan di piring dengan semangat.
"Pacarku!" Hanum tertawa lalu masuk kamar tanpa Hanum perhatikan jika pandangan laki-laki itu, menunjukkan wajah tak suka melihatnya.
"Akhirnya, aku bisa melihatmu!" Hanum merebahkan tubuhnya dan segera terpejam.
Di luar, hujan masih setia mengguyur bumi. Meluapkan rasa rindu yang tak penduduk bumi pahami. Sesekali terdengar petir yang menyapa, menyampaikan pesan dari Sang Pencipta.
Agnesia Danupratama, putri kedua Danupratama, mulai lelah menjadi gadis baik-baik. Segala hal tentangnya hanyah tentang anak pelakor yang tersemat. Seberapa baik dia mencoba tetap saja dipandang sebelah mata. Kebencian yang mulai menumpuk, membuatnya ingin membalas dendam. Aksa, laki-laki yang juga diam-diam mencintainya, terpaksa menerima pernikahan bisnis dengan Carla Danupratama, anak pertama sekaligus kaksk tiri Agnesia. Balas dendam Agnesia perlahan berjalan sempurna bahkan mendapat dukungan dari Aksa. Seiring waktu, Agnesia mulai jatuh cinta pada Aksa. Sanggupkah gadis cantik itu melupakan dendamnya atau terus menghabiskan balas dendamnya?
Aruna Hardiyanti sudah lama berdamai dengan nasib. Gadis yatim piatu orang tua yang bersahabat dengan kesepian semakin menyerah dengan vonis penyakit mematikan. Ia menerima dengan pasrah, tanpa berharap keajaiban. Namun, manusia hanyalah manusia yang tak pernah kuasa dalam mengatur hidup dan matinya. Restu Wijaya, laki-laki dari masa lalunya yang selalu ingin deka dengannya, membuatnya lebih semangat dalam menjalani sisa usia, pikirnya. Siapa sangka keajaiban itu benar-benar datang. Di luar dugaan, penyakit yang selama ini mengintai Aruna mulai menghilang. Kesembuhan yang mustahil berubah menjadi kenyataan. Takdir kembali menunjukkan wajahnya yang tak terduga. Kali ini, bukan dirinya yang harus berhadapan dengan ajal, melainkan Nadya-sahabat terbaiknya, yang selama ini selalu ada di sisinya juga nenek yang selalu menjadi penyemangatnya. Aruna tersadar, manusia bisa berencana, bisa pasrah, bahkan bisa berusaha keras melawan takdir. Namun, tetap saja, segalanya berada dalam genggaman Sang Maha Kuasa. Ajal bukan sesuatu yang bisa diprediksi, seperti cinta yang juga datang di saat yang tak terduga. Karena hidup adalah misteri, dan takdir selalu punya caranya sendiri untuk mengajarkan arti kehilangan, keajaiban, dan cinta sejati.
Angin malam berembus lembut, membawa aroma tanah basah selepas hujan. Di tengah gelapnya langit, seorang wanita berdiri di tepi balkon tinggi, matanya menatap kosong ke kota yang gemerlap. Heidy. Di balik sorot matanya yang sendu, bergelora badai luka dan perlawanan. Ia memeluk perutnya yang mulai membuncit, menyadari bahwa hidupnya tak lagi sama. Suara langkah berat mendekat, menghentikan aliran pikirannya. Restu Wijaya. Pria yang menjebaknya dalam permainan kelam. "Lari sejauh apa pun, kau tetap milikku," ucap Restu dengan suara dalam, mematri kenyataan pahit di dada Heidy. Mata Heidy membalas tatapan itu-penuh perlawanan. "Jika ini permainanmu, Restu, aku akan bertahan. Tapi jangan lupa... setiap permainan bisa berbalik arah." Di bawah kilatan petir, dua takdir yang saling bertentangan bertaut. Cinta, benci, dan rahasia kelam menanti di ujung jalan. Dan semuanya bermula saat Heidy dipaksa menjadi simpanan kakak iparnya.
"Tolong hisap ASI saya pak, saya tidak kuat lagi!" Pinta Jenara Atmisly kala seragamnya basah karena air susunya keluar. •••• Jenara Atmisly, siswi dengan prestasi tinggi yang memiliki sedikit gangguan karena kelebihan hormon galaktorea. Ia bisa mengeluarkan ASI meski belum menikah apalagi memiliki seorang bayi. Namun dengan ketidaksengajaan yang terjadi di ruang guru, menimbulkan cinta rumit antara dirinya dengan gurunya.
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."
Haris dan Lidya sedang berada di ranjang tempat mereka akan menghabiskan sisa malam ini. Tubuh mereka sudah telanjang, tak berbalut apapun. Lidya berbaring pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar. Kepala Haris berada disana, sedang dengan rakusnya menciumi dan menjilati selangkangan Lidya, yang bibir vaginanya kini sudah sangat becek. Lidah Haris terus menyapu bibir itu, dan sesekali menyentil biji kecil yang membuat Lidya menggelinjang tak karuan. “Sayaaang, aku keluar laghiiii…” Tubuh Lidya mengejang hebat, orgasme kedua yang dia dapatkan dari mulut Haris malam ini. Tubuhnya langsung melemas, tapi bibirnya tersenyum, tanda senang dan puas dengan apa yang dilakukan Haris. Harispun tersenyum, berhasil memuaskan teman tapi mesumnya itu. “Lanjut yank?”
Sejak kecil Naura tinggal bersama dengan asisten Ayahnya bernama Gilbert Louise Tom, membuat Naura sedari balita sudah memanggilnya "Dady". Naura terus menempel pada laki-laki yang menyandang gelar duda tampan dan kekar berusia 40 tahun. Diusianya yang semakin matang laki-laki itu justru terlihat begitu menggoda bagi Naura.
Setelah dua tahun menikah, Sophia akhirnya hamil. Dipenuhi harapan dan kegembiraan, dia terkejut ketika Nathan meminta cerai. Selama upaya pembunuhan yang gagal, Sophia mendapati dirinya terbaring di genangan darah, dengan putus asa menelepon Nathan untuk meminta suaminya itu menyelamatkannya dan bayinya. Namun, panggilannya tidak dijawab. Hancur oleh pengkhianatan Nathan, dia pergi ke luar negeri. Waktu berlalu, dan Sophia akan menikah untuk kedua kalinya. Nathan muncul dengan panik dan berlutut. "Beraninya kamu menikah dengan orang lain setelah melahirkan anakku?"