Ibu tirinya, Marcella, berdiri di belakangnya, tangannya yang dingin menyentuh bahu Vivienne. "Tidak ada kata 'tapi'. Kamu sudah tahu kenapa pernikahan ini harus terjadi. Jangan sia-siakan kesempatanmu." Suaranya keras dan penuh tekanan, seakan setiap kata yang diucapkan adalah hukum yang tak bisa diganggu gugat.
Saudarinya yang palsu, Selina, berdiri di sampingnya, dengan senyum tipis yang tak pernah bisa Vivienne pahami. Selina adalah segalanya yang diinginkan oleh ibu tiri Vivienne: cantik, cerdas, dan tanpa cacat. Semua perhatian ibu Marcella tertuju pada Selina, sementara Vivienne, meski tidak pernah mengeluh, selalu menjadi bayang-bayang di belakangnya.
"Sudahlah, Vivienne," ujar Selina dengan nada lembut yang terasa menyakitkan. "Ini adalah jalan yang sudah dipilih untukmu. Jangan membuat ibu marah."
Vivienne mengangguk, meski hatinya menjerit. Ia tidak punya pilihan. Selina, dengan semua pesonanya, selalu menjadi yang pertama di segala hal, dan Vivienne hanya dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan mereka. Semua rencana besar ibunya untuk masa depan mereka tak bisa diganggu gugat, dan Vivienne hanya bisa tunduk pada kehendak itu.
Pernikahan ini bukanlah tentang cinta-itu sudah jelas. Ia tidak pernah diberi kesempatan untuk memilih siapa yang ingin ia nikahi. Tidak, pernikahan ini hanyalah langkah strategis untuk menjaga kekuasaan keluarga mereka. Di sinilah Vivienne berdiri, mengenakan gaun pengantin yang berat, di hadapan seorang pria yang hampir tidak ia kenal.
Arthur, pria yang ditentukan untuk menjadi suaminya, tidak lebih dari seorang gelandangan dengan status yang samar. Vivienne masih ingat pertemuan pertama mereka-dia tampak seperti orang biasa, bahkan kurang dari itu. Rambutnya kusut, pakaiannya lusuh, dan tatapannya kosong. Namun, ibu tiri dan Selina menyuruhnya untuk menikah dengannya, menyebutnya sebagai "langkah yang diperlukan" untuk memperkuat status mereka. Tidak ada ruang untuk penolakan. Vivienne hanyalah pion dalam permainan mereka.
Tapi hari ini, di hari pernikahannya, Vivienne merasa ada sesuatu yang berbeda. Arthur, yang sebelumnya tampak seperti pria tak berdaya, sekarang berdiri di hadapan altar dengan aura yang mengesankan. Ia mengenakan setelan hitam yang sempurna, matanya penuh tekad, dan posturnya tegap. Tak ada lagi tanda-tanda kerapuhan yang dulu ia tunjukkan. Vivienne merasa bingung, bahkan takut.
Setelah upacara yang berlangsung cepat dan tanpa emosi, mereka berdiri di depan keluarga dan tamu yang hadir. Semua mata tertuju pada mereka. Arthur, yang dulu dianggap sebagai sosok yang tak berarti, kini menatap Vivienne dengan cara yang berbeda-seperti ada sesuatu yang disembunyikan di balik tatapannya. Ada sesuatu yang tak ia pahami, tapi juga tak bisa ia hindari.
"Selamat, Vivienne," Arthur berkata, suaranya datar, namun ada sebuah ketegangan yang tidak dapat ia sembunyikan. Vivienne hanya mengangguk, meski di dalam hatinya muncul pertanyaan yang tak terjawab: Siapa dia sebenarnya?
Malam itu, ketika mereka berdua tiba di rumah mereka yang besar dan megah, Vivienne merasa cemas. Semua terasa asing. Rumah yang tampak mewah itu seperti penjara yang menunggu untuk menelan hidupnya. Mereka berada dalam ruangan yang luas, namun Vivienne merasa lebih kesepian dari sebelumnya. Arthur duduk di kursi besar di depan perapian, tangannya menggenggam segelas wiski.
"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," kata Arthur, suaranya tenang namun sarat dengan sesuatu yang lebih gelap. Vivienne hanya menatapnya, mencoba memahami setiap kata yang ia ucapkan.
"Kenapa kamu berubah?" Vivienne akhirnya bertanya, suaranya sedikit gemetar. "Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan, Arthur? Mengapa kamu... seperti ini?"
Arthur hanya tersenyum, tapi itu bukan senyuman yang ia kenal. Ada sesuatu yang tajam di balik tatapan itu. "Kamu baru akan tahu," jawabnya pelan, seolah-olah kalimat itu membawa beban yang jauh lebih berat dari yang bisa dijelaskan.
Vivienne merasa gemetar. Semua pertanyaan yang menggantung di benaknya tiba-tiba menjadi semakin kuat. Siapa sebenarnya suaminya? Apa yang ia sembunyikan darinya? Dan yang lebih penting lagi-berapa banyak dari semua ini yang sudah direncanakan?
Sekarang, Vivienne menyadari bahwa pernikahan ini bukan hanya awal dari sebuah hubungan, tetapi juga pintu gerbang menuju sebuah permainan yang lebih besar dan lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan.
Di luar sana, malam semakin larut. Tapi di dalam hatinya, Vivienne merasa ada sesuatu yang akan segera berubah-dan dia tidak tahu apakah itu akan mengarah pada kebahagiaan atau kehancuran.
"Vivienne..." Arthur berkata lagi, kali ini suaranya lebih dalam dan penuh dengan misteri. "Aku akan menunjukkan siapa aku sebenarnya. Tapi kau harus siap dengan kenyataannya."