/0/2299/coverbig.jpg?v=6f20e6d82ac14bc6f2deecd08d0cbf18)
Dalam kehidupan ini ada beberapa hal yang tidak bisa kita hindari. Salah satunya adalah seseorang yang hendak datang atau pun yang ingin pergi. Kita tak pernah bisa memilih siapa yang harus datang dan siapa yang harus pergi. Keduanya tidak dapat dikendalikan sesuka hati. Dan hal yang paling menyakitkan tentang hal ini, adalah datangnya seseorang yang bermaksud untuk pergi. Hal ini pun terjadi pada kehidupan seorang gadis muda bernama Nuri yang kedatangan seseorang untuk mengisi ruang hati, namun akhirnya orang tersebut malah memilih pergi meninggalkan Nuri. Nuri yang saat itu patah hati lebih memilih untuk menutup hati supaya luka yang ia dapati bisa terobati. Akankah di masa depan ia bertemu lagi dengan orang yang membuat hatinya patah? Atau justru ia akan bertemu dengan orang lain yang membuatnya tersenyum cerah?
"Mas, hari ini aku pulang lebih awal. Jadi aku bisa mengantarmu untuk kontrol ke rumah sakit," kata seorang wanita pada seseorang lawan bicaranya di seberang telepon.
"Baguslah jika kamu pulang lebih awal, jadi waktu beristirahat kamu lebih banyak," sahut pria dari seberang telepon.
"Aku nanti langsung berangkat ke rumah kamu ya Mas sepulang kerja. Aku tidak akan pulang ke rumah dulu. Nanti biar aku menelepon saja ke Bunda.
"Kamu pulang saja. Tidak perlu repot-repot mengantarku ke rumah sakit. Aku diantar sama Papa dan Mama kok, jadi kamu tenang saja ya."
"Aku mau ikut Mas. Pokoknya nanti aku langsung ke rumahmu!" kata wanita tersebut dengan tegas lalu menutup sambungan telepon dengan pria yang disebut Mas. Ia kemudian menyimpan ponselnya di meja dan menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi.
Matanya ia pejamkan sejenak untuk melepas penat yang ia rasakan saat itu. Hidungnya menarik nafas panjang-panjang lalu menghembuskan melalui mulut dengan sangat tenang. Aktivitas tersebut ia lakukan berulang kali untuk mengurangi rasa lelah yang ia rasa.
Disaat matanya terpejam dengan baik, tiba-tiba ada seseorang yang diam-diam berjalan mengendap dengan sangat hati-hati di belakang kursi yang sedang diduduki wanita tersebut. Wajah lelaki tersebut nampak tersenyum-senyum usil.
Orang-orang di sekitar mereka hanya menggeleng perlahan melihat tingkah lakunya. Orang-orang tersebut sepertinya sudah tahu apa yang akan dilakukan lelaki bertubuh tinggi itu.
Tangan lelaki tersebut sudah bersiap untuk melakukan keusilan. Kedua tangannya melayang di udara dan kakinya terus melangkah. Tapi baru saja dirinya menggerakkan tangan untuk menyentuh wanita tersebut, kepala mungil yang sedang menyandar pada sandaran kursi tiba-tiba bergerak ke arah samping kiri.
Seketika wanita tersebut membuka matanya karena merasa kaget saat kepalanya bergerak seperti mau jatuh. Ia kemudian melirik ke arah kanan kiri untuk memastikan tidak ada yang melihat dirinya tertidur di waktu bekerja.
Namun saat dirinya melirik ke arah belakang ada seseorang pria bertubuh tinggi yang sedang menatap ke arahnya. Tatapan matanya begitu lekat sepeeti elang yang mau menyantap.
"Apa kau tertidur di saat jam bekerja?" tanya lelaki tersebut dengan nada datar. Mendengar pertanyaan seperti itu membuat wanita tersebut membelakakan mata. Ia takut jika atasannya mendengar perkataan temannya itu. Bisa-bisa nantinya ia kenapa omel bos.
"Sut! Jangan banyak bicara!" ucap wanita tersebut dengan tegas namun suara yang pelan. Matanya melotot memberikan ancaman pada pria yang sedang berdiri tersebut.
"Kopi?" tanya lelaki tersebut.
"Oke," balas wanita itu dengan sedikit terpaksa. Ia tahu jika temannya itu akan menutup mulut jika dituruti kemauannya.
Karena sudah berhasil mendapatkan yang ia mau, lelaki tersebut kemudian pergi ke mejanya dan duduk dengan manis sambil memandang ke arah sang wanita. Senyum usilnya terkembang tanda ia telah menang.
Sang wanita kemudian mengangkat tangannya dan melipat jarinya kemudian menyisakan jari telunjuk dan jari tengah lalu mengarahkannya pada kedua mata indah miliknya dan diarahkan lagi ke mata pria yang berada tak jauh darinya. Setelah itu, tangannya berpindah ke leher, dan menggerakkanya dari kiri ke kanan.
Pergerakan tangannya itu mengisyaratkan bahwa jika lelaki tersebut bernai berbicara pad atasannya tentang kejadian tadi, maka ia tidak akan lepas dari pandangannya dan akan berisiko untuk keamanan hidupnya.
Isyarat tersebut hanya ditanggapi senyuman kecil yang tersungging di bibir pria tersebut. Tampaknya pria itu sudah kebal dengan ancamannya. Mungkin hal tersebut sudah terjadi beruang kali hingga dirinya bisa tersenyum dengan penuh percaya diri saat ancaman datang padanya dengan pasti.
"Nuri, sedang apa kau? Apakah tugasmu sudah selesai?" suara seroang pria membuat wanita tersebut mengalihkan tatapannya pada sumber suara.
"Heheh. Bos. Apa kabar Bos? Apa hari ini suasana hati Bos sedang baik?" tanya wanita yang dipanggi Nuri tersebut. Ia mengeluarkan sapaan basa-basi supaya tidak kenal omel oleh atasannya tersebut.
"Tampaknya kurang baik. Apa kau tahu penyebab suasana hatiku kurang baik ini kenapa?" tanyanya seraya mendekatkan wajah pada Nuri.
Nuri hanya memundurkan posisi wajahnya hingga sampai di sandaran kursi. Ia kemudian menoleh ke kanan dan ke kiri karena takut dengan tatapan atasannya yang sangat seram tersebut apalagi dengan jarak yang sangat dekat.
"Bos, Nuri tadi sedang memberikan jawaban atas pertanyaan saya dengan menggunakan sebuah isyarat," celetuk seorang pria.
Tentu saja wajah at asannya itu menoleh pada sumber suara saat perkataan itu terdengar jelas di telinganya. Kini, mata atasannya itu terlihat begitu menyeramkan. Matanya yang emmang lebar dan bulat ditambah lagi dengan mode melotot, siapapun pasti takut melihatnya. Rasanya seperti mau copot itu mata.
"Apa yang sedang kalian bahas? Apa hal penting? Atau masalah pekerjaan?" tanya atasan tersebut dengan nada yang terdegar mengintimidasi.
"Pekerjaan Bos."
"Saya harap tidak ada pembahasan lain di tempat ini selain mengenai pekerjaan. Apa kalian mengerti?" tanya pria paruh baya terhadap Nuri dan temannya itu. Mereka berdua hanya mengangguk menjawab penuturan dari sang atasan.
Setelah dirasa kedua pekerjanya kembali fokus pada tugas masing-masing, pria yang dipanggil bos tersebut melangkahkan kaki ke arah sebuah ruangan yang diyakini sebagai ruangan pribadinya di kantor itu.
Nuri dan teman prianya hanya curi-curi pandang. Bukan karena sedang jatuh cinta mereka berdua melakukan hal tersebut, tapi karena Nuri mencoba memberikan ancaman sekaligus ungkapan yang tak disampaikan lewat perkataan dan hanya sebuah gerakan.
Saat jam sudah menunjukkan pukul 12 siang, Nuri segera membereskan meja kerjanya. Kertas-kertas yang berserakan di mejanya itu ia susun dengan rapi dan ditempatkan di sebelah kanan meja dengan dokumen lain supaya lebih rapi.
Berhubung hari tersebut Nuri diberikan waktu pulang lebih awal sesuai dengan pekerjaan yang diberikan padanya, ia jadi bergerak cepat dalam membereskan semua tugasnya. Karena semakin cepat ia bekerja, maka semakin cepat pula semuanya selesai, dan semakin cepat Nuri pulang.
"Hei. Kau mau kemana? Kita akan pergi minum kopi 'kan?" tanya pria bertubuh tinggi yang berdiri di depan Nuri saat dirinya bangkit dari kursi kerja.
"Aku ada janji hari ini. Traktir kopinya nanti saja saat aku sedang senggang," kata Nuri kemudian berjalan melewati pria tersebut. Tapi sayang, belum juga Nuri berjalan jauh, sebuah tangan menarik tasnya yang sedang diselempangkan di bahu.
"Apa kau akan pergi dengan lelaki itu lagi?" tanya pria tersebut dengan tatapan mata yang seakan mengisyaratkan sebuah kebencian. Entah benci itu dilayangkan pada siapa, tapi yang jelas ekspresi tersebut terpancar begitu kuat
"Rendi! Plis! Aku mohon padamu, tolong jangan campuri urusanku untuk yang satu ini karena kau tidak punya hak untuk itu!" tandas Nuri pada pria yang diketahui bernama Rendi.
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Bianca tumbuh bersama seorang ketua mafia besar dan kejam bernama Emanuel Carlos! Bianca bisa hidup atas belas kasihan Emanuel pada saat itu, padahal seluruh anggota keluarganya dihabisi oleh Emanuel beserta Ayahnya. Akan tetapi Bianca ternyata tumbuh dengan baik dia menjelma menjadi sosok gadis yang sangat cantik dan menggemaskan. Semakin dewasa Bianca justru selalu protes pada Emanuel yang sangat acuh dan tidak pernah mengurusnya, padahal yang Bianca tau Emanuel adalah Papa kandungnya, tapi sikap keras Emanuel tidak pernah berubah walaupun Bianca terus protes dan berusaha merebut perhatian Emanuel. Seiring berjalannya waktu, Bianca justru merasakan perasaan yang tak biasa terhadap Emanuel, apalagi ketika Bianca mengetahui kenyataan pahit jika ternyata dirinya hanyalah seorang putri angkat, perasaan Bianca terhadap Emanuel semakin tidak dapat lagi ditahan. Meskipun Emanuel masih bersikap masa bodo terhadapnya namun Bianca kekeh menginginkan laki-laki bertubuh kekar, berwajah tampan yang biasa dia panggil Papa itu, untuk menjadi miliknya.
Warning!!!!! 21++ Aku datang ke rumah mereka dengan niat yang tersembunyi. Dengan identitas yang kupalsukan, aku menjadi seorang pembantu, hanyalah bayang-bayang di antara kemewahan keluarga Hartanta. Mereka tidak pernah tahu siapa aku sebenarnya, dan itulah kekuatanku. Aku tak peduli dengan hinaan, tak peduli dengan tatapan merendahkan. Yang aku inginkan hanya satu: merebut kembali tahta yang seharusnya menjadi milikku. Devan, suami Talitha, melihatku dengan mata penuh hasrat, tak menyadari bahwa aku adalah ancaman bagi dunianya. Talitha, istri yang begitu anggun, justru menyimpan ketertarikan yang tak pernah kubayangkan. Dan Gavin, adik Devan yang kembali dari luar negeri, menyeretku lebih jauh ke dalam pusaran ini dengan cinta dan gairah yang akhirnya membuatku mengandung anaknya. Tapi semua ini bukan karena cinta, bukan karena nafsu. Ini tentang kekuasaan. Tentang balas dendam. Aku relakan tubuhku untuk mendapatkan kembali apa yang telah diambil dariku. Mereka mengira aku lemah, mengira aku hanya bagian dari permainan mereka, tapi mereka salah. Akulah yang mengendalikan permainan ini. Namun, semakin aku terjebak dalam tipu daya ini, satu pertanyaan terus menghantui: Setelah semua ini-setelah aku mencapai tahta-apakah aku masih memiliki diriku sendiri? Atau semuanya akan hancur bersama rahasia yang kubawa?
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
"Tanda tangani surat cerai dan keluar!" Leanna menikah untuk membayar utang, tetapi dia dikhianati oleh suaminya dan dikucilkan oleh mertuanya. Melihat usahanya sia-sia, dia setuju untuk bercerai dan mengklaim harta gono-gini yang menjadi haknya. Dengan banyak uang dari penyelesaian perceraian, Leanna menikmati kebebasan barunya. Gangguan terus-menerus dari simpanan mantan suaminya tidak pernah membuatnya takut. Dia mengambil kembali identitasnya sebagai peretas top, pembalap juara, profesor medis, dan desainer perhiasan terkenal. Kemudian seseorang menemukan rahasianya. Matthew tersenyum. "Maukah kamu memilikiku sebagai suamimu berikutnya?"
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.