Unduh Aplikasi panas
Beranda / Adventure / LENDIR TERLARANG MAMA MUDA
LENDIR TERLARANG MAMA MUDA

LENDIR TERLARANG MAMA MUDA

5.0
2 Bab
114 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

I'in, dengan kecantikan yang memancar dari balik hijabnya, selalu menarik perhatian. Usaha salonnya ramai, namun hatinya seringkali sepi, merindukan kehangatan suami yang jauh di perantauan. Zidan, putranya, beranjak remaja, kebutuhan hidup semakin mendesak, menuntutnya untuk mencari tambahan penghasilan. Berbagai usaha sampingan dicoba, namun bukannya untung, I'in malah terjerat hutang. Saat tagihan menumpuk, Pak Nung, seorang pria paruh baya yang dikenal baik, datang menagih. Tatapannya yang tajam dan penuh minat membuat I'in bergidik ngeri. "Jatuh tempo semakin dekat, Neng I'in," ucapnya dengan suara berat, namun terdengar lembut di telinga I'in.

Bab 1 Awal dari Segalanya

I'in, dengan kecantikan yang memancar dari balik hijabnya, selalu menarik perhatian. Usaha salonnya ramai, namun hatinya seringkali sepi, merindukan kehangatan suami yang jauh di perantauan. Zidan, putranya, beranjak remaja, kebutuhan hidup semakin mendesak, menuntutnya untuk mencari tambahan penghasilan.

Berbagai usaha sampingan dicoba, namun bukannya untung, I'in malah terjerat hutang. Saat tagihan menumpuk, Pak Nung, seorang pria paruh baya yang dikenal baik, datang menagih. Tatapannya yang tajam dan penuh minat membuat I'in bergidik ngeri. "Jatuh tempo semakin dekat, Neng I'in," ucapnya dengan suara berat, namun terdengar lembut di telinga I'in.

I'in bimbang, dari mana ia mendapatkan uang untuk melunasi hutang? Pikiran kotor mulai merayap di benaknya. "Transaksi" dengan Pak Nung, ide gila yang membuatnya mual sekaligus tergiur. Tubuhnya meremang membayangkan sentuhan pria itu, namun bayangan rumah tangganya yang hancur seketika menyadarkannya.

"Tidak, ini gila!" bisiknya dalam hati. Ia tak akan mengorbankan kehormatannya demi uang. Ia akan mencari jalan keluar lain, meski sulit, demi harga dirinya dan masa depan Zidan.

Malam itu, I'in termenung di kamarnya. Bayangan Pak Nung dan hutang yang menumpuk membuatnya tak bisa tidur. Ia harus menemukan cara untuk melunasi hutang itu, tanpa mengorbankan dirinya.

Keesokan harinya, I'in memutuskan untuk menemui Pak Nung. Ia akan memohon keringanan, berjanji akan mencicil hutang itu sedikit demi sedikit. Ia tak akan menyerah pada keadaan.

Dengan langkah mantap, I'in menuju rumah Pak Nung. Ia akan menghadapi pria itu dengan kepala tegak, demi dirinya dan Zidan.

"Assalamu'alaikum, Pak Nung," sapa I'in dengan suara bergetar.

"Wa'alaikumsalam, Neng I'in. Silakan masuk," jawab Pak Nung, mempersilakan I'in duduk.

I'in menjelaskan situasinya, memohon keringanan dan berjanji akan mencicil hutang itu. Pak Nung mendengarkan dengan seksama, tatapannya tak lepas dari wajah I'in.

"Saya mengerti kesulitan Neng I'in. Tapi, seperti yang Neng tahu, saya juga punya tanggungan," ucap Pak Nung dengan suara lembut, namun ada nada tersirat yang membuat I'in merinding.

"Saya janji akan mencicilnya, Pak. Saya akan bekerja lebih keras lagi," kata I'in, memohon.

"Saya percaya Neng I'in. Tapi, bagaimana jika kita membuat kesepakatan?" tanya Pak Nung, tersenyum tipis.

I'in menatap Pak Nung, bingung. "Kesepakatan apa, Pak?"

"Kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak," jawab Pak Nung, matanya menatap I'in dengan penuh minat.

I'in mulai merasa tidak nyaman. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. "Maksud Bapak?"

"Saya akan melupakan hutang Neng I'in, jika Neng bersedia menemani saya," ucap Pak Nung, tanpa basa-basi.

Jantung I'in berdegup kencang. Ia merasa seperti disambar petir. "Maksud Bapak...?"

"Saya tahu Neng I'in sedang kesepian. Saya bisa memberikan kehangatan yang Neng butuhkan," kata Pak Nung, mendekati I'in.

I'in berdiri, merasa ngeri dengan tawaran itu. "Tidak, Pak! Saya tidak akan melakukan itu!"

"Pikirkan lagi, Neng I'in. Ini kesempatan emas. Neng bisa melunasi hutang dan mendapatkan kebahagiaan," kata Pak Nung, mencoba membujuk.

"Kebahagiaan seperti apa yang Bapak maksud? Kebahagiaan di atas penderitaan saya?" bentak I'in, air matanya mulai menetes.

"Neng I'in terlalu naif. Dunia ini keras, Neng. Kita harus pintar-pintar memanfaatkan kesempatan," kata Pak Nung, mencoba merasionalisasi tindakannya.

"Kesempatan seperti ini? Bapak pikir saya perempuan murahan yang bisa dibeli dengan uang?" teriak I'in, emosinya memuncak.

"Saya tidak mengatakan itu, Neng. Tapi, saya tahu Neng membutuhkan uang," kata Pak Nung, mencoba meredakan emosi I'in.

"Saya memang membutuhkan uang, tapi saya tidak akan menjual diri saya! Saya lebih baik mati daripada melakukan itu!" kata I'in, berbalik dan pergi.

I'in keluar dari rumah Pak Nung dengan hati hancur. Ia merasa kotor dan jijik. Ia tak menyangka Pak Nung, orang yang selama ini ia hormati, ternyata memiliki niat sekeji itu.

Namun, di tengah kesedihannya, I'in merasa lega. Ia telah membuat keputusan yang benar. Ia telah memilih untuk mempertahankan harga dirinya, meski harus menghadapi kesulitan.

I'in pulang dengan langkah gontai. Ia harus mencari cara lain untuk melunasi hutangnya. Ia harus bekerja lebih keras lagi, demi dirinya dan Zidan.

Malam itu, I'in berdoa dengan khusyuk. Ia memohon kekuatan dan petunjuk dari Tuhan. Ia percaya, Tuhan tidak akan meninggalkannya dalam kesulitan.

Keesokan harinya, I'in bangkit dengan semangat baru. Ia akan menghadapi dunia dengan kepala tegak. Ia akan membuktikan bahwa ia bisa sukses tanpa mengorbankan harga dirinya.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 2 Mengalah demi Uang   03-28 18:12
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY