Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Obsesi : Ibu Susu Keponakan Tuan Muda
Obsesi : Ibu Susu Keponakan Tuan Muda

Obsesi : Ibu Susu Keponakan Tuan Muda

5.0
1 Bab
68 Penayangan
Baca Sekarang

Charlotte Hawnski adalah seorang wanita yang menghadapi tantangan unik akibat galaktorea, sebuah kondisi yang membuatnya mengeluarkan ASI meskipun tidak dalam keadaan hamil atau menyusui. Meskipun menghadapi kesulitan, Charlotte memutuskan untuk menggunakan kelebihan ini dengan menyumbangkan ASI-nya ke bank ASI, membantu ibu-ibu yang membutuhkan. Namun, rutinitasnya yang harus memompa ASI di waktu-waktu yang tidak menentu mulai mengganggu aktivitas sehari-harinya. Dalam perjalanan ini, Charlotte berjuang untuk menemukan keseimbangan antara dedikasinya untuk membantu orang lain dan kebutuhan untuk menjaga kehidupan pribadinya, sambil menghadapi dilema moral tentang bagaimana memanfaatkan kondisi yang dianggapnya sebagai berkah dan beban sekaligus.

Konten

Bab 1 Chapter 01

Lampu disko berkedip-kedip, irama musik menghentak, dan aroma alkohol memenuhi udara klub malam mewah itu. Charlotte, biasanya pusat perhatian dengan gaunnya yang selalu menawan, malam ini terlihat lesu. Rambutnya tergerai tak beraturan, riasannya tampak luntur. Dia meneguk minumannya tanpa semangat, tatapannya kosong.

"Sepertinya... ini kali terakhir aku menghabiskan waktu di tempat seperti ini," ucap Charlotte lirih, suaranya hampir tak terdengar di antara dentuman musik. Helena dan Diana, dua sahabatnya yang tengah asyik bergosip sambil menyesap champagne, langsung terdiam. Helena, dengan gaun merah menyala dan tawa yang selalu meriah, mengerutkan kening.

"Ada apa? Apa Papa mu bangkrut?," tanya Helena, tawanya kali ini terdengar sedikit terpaksa. Diana, yang dikenal dengan kecerdasannya dan penampilannya yang selalu elegan, ikut menatap Charlotte dengan penuh pertanyaan.

Charlotte mendelik, air matanya berkaca-kaca. "Kartu kreditku, mobil sportku, bahkan apartemen mewahku di sita. Aku... aku harus bekerja," ujarnya, suara tertahan. Kepalanya ia sandarkan ke atas meja, tubuhnya gemetar menahan isak. Gelas champagnenya terjatuh, pecah berantakan di atas lantai, tak seorang pun memperhatikan.

Helena dan Diana saling bertukar pandang. Mereka tertawa, namun tawanya terdengar hampa dan getir. "Sudah kubilang, turuti saja apa yang Papa mu minta untuk mengambil alih perusahaan. Kau yang menolak, dan ini resiko yang harus kau tanggung," kata Diana, suaranya terdengar sedikit menyesal.

Charlotte hanya menghela nafas panjang, lelah luar biasa. Bayangan kemewahan yang dulu di nikmatinya kini berganti dengan kegelapan masa depan yang tak menentu. "Andai saja aku tahu akan berakhir seperti ini, aku akan langsung menuruti perkataannya," bisiknya, suaranya penuh penyesalan. Malam itu, gemerlap klub malam tak lagi mampu menyembunyikan kesedihan yang mendalam di hati Charlotte.

Helena dan Diana terdiam sejenak, tatapan mereka bertemu. Musik yang tadinya menggema di telinga mereka kini terasa jauh, tergantikan oleh keheningan yang berat. Helena mengaduk-aduk minumannya, berpikir keras. Kemudian, sebuah ide muncul, sebuah percikan harapan di tengah keputusasaan.

"Bagaimana jika kau bekerja di perusahaan Papaku?" Helena bersuara, suaranya penuh semangat, mencoba membangkitkan semangat Charlotte.

Mata Charlotte langsung berbinar, seolah sebuah cahaya menerobos kegelapan. Namun, binar itu cepat meredup, digantikan oleh ekspresi lesu yang lebih dalam.

"Tidak semudah itu, Hel. Papa pasti sudah meminta Paman Ed, untuk menolakku bahkan sebelum aku melamar. Dia tidak akan pernah membiarkan aku bekerja di sana," Charlotte menghela nafas panjang, kecewa tergambar jelas di wajahnya.

Diana mengangguk setuju, raut wajahnya turut menunjukkan kebingungan. Mereka sama-sama tak tahu harus bagaimana lagi membantu sahabat mereka.

"Kenapa kau tidak bekerja di perusahaan Papa-mu sendiri? Bukankah dia akan mengizinkanmu?" Diana bertanya, suaranya lembut, penuh perhatian.

Charlotte berdecak kesal, menggerakkan tangannya dengan frustrasi. "Pria tua itu punya harga diri yang tinggi, Dia tidak akan membiarkan putrinya yang 'cantik' ini bekerja di perusahaannya, apalagi harus memulai dari bawah. Dia tidak mau aku jadi bahan olok-olok karyawannya. Dia selalu menginginkan yang terbaik bagiku, tapi caranya... sungguh menyebalkan!"

Helena mengerutkan kening, mencoba memahami situasi yang rumit ini. "Jadi, sebenarnya apa yang Papa-mu inginkan?" tanyanya, suaranya penuh penasaran.

Charlotte menoleh, tatapannya kosong, memandang ke arah lampu disko yang berkedip-kedip. Dia menggeleng pelan, suaranya hampir tak terdengar. "Entahlah..."

Ketiganya menghela nafas panjang, kebingungan memenuhi ruangan. Udara terasa berat, dipenuhi oleh keheningan yang sunyi dan hampa. Tiba-tiba, Helena memperhatikan sesuatu. Di bagian depan gaun Charlotte, sebuah bercak basah mulai menyebar. Warnanya semakin jelas, menunjukkan sesuatu yang tidak semestinya ada di sana.

"Charlotte," bisik Helena, suaranya hampir tak terdengar di tengah musik yang masih mengalun, "Bocor... ASI-mu bocor. Cepat pergi dan pompa ASI-mu." Ia menunjuk ke arah baju Charlotte dengan halus, mencoba menjaga agar tidak terlalu mencolok.

Charlotte mendengus kesal, wajahnya memerah menahan malu dan frustrasi. "Sampai kapan aku harus merasakan ini?!" suaranya meninggi sedikit, meliputi kekecewaan dan penderitaan yang terpendam. Ia bangkit dari kursinya, mengambil tas kecil yang berisi alat pompa ASI, langkahnya gontai.

Charlotte, seorang wanita muda yang cantik dan sukses, belum pernah menikah, belum pernah hamil, dan tentu saja belum pernah melahirkan. Namun, ia terlahir dengan kelebihan hormon yang membuat tubuhnya terus menerus memproduksi ASI. Kejadian ini, baginya, adalah sebuah beban yang menyakitkan-sebuah penanda dari sebuah kondisi yang tak pernah ia inginkan. Ia harus memompa ASI secara rutin, kalau tidak, maka kejadian memalukan seperti ini yang akan selalu menyertainya.

Setelah Charlotte bergegas menuju kamar mandi, Helena beralih menatap Diana. "Diana," suara Helena lebih cerah, sebuah ide baru muncul, "Bukankah perusahaan tempatmu bekerja sedang membuka lowongan pekerjaan?"

Diana tersentak, matanya sedikit melebar. Ia menepuk dahinya pelan. "Ah, benar juga! Kenapa aku tidak terpikirkan sebelumnya?" Seutas senyum tipis muncul di wajahnya-sebuah harapan baru di tengah keputusasaan.

Charlotte melangkah cepat, langkahnya sedikit menghentak, menunjukkan kegelisahan yang ia pendam. Hari itu terasa begitu berat, seakan beban dunia dipikulnya sendirian. Pikirannya dipenuhi oleh masalah keuangan dan juga kondisi fisiknya yang tak biasa.

Terlalu larut dalam pikirannya sendiri, ia sama sekali tak menyadari ada dua orang yang mengikutinya dari belakang. Bayangan mereka membuntuti, langkah kaki mereka pelan namun pasti, menghasilkan bunyi gedebuk kecil yang tertelan oleh hiruk-pikuk klub malam.

Saat ia hendak memasuki kamar mandi, sesuatu yang dingin dan tiba-tiba menyentuh hidungnya. Sebuah tangan menutup mulut dan hidungnya kuat-kuat, menghalangi teriakan yang hendak keluar. Tubuhnya tersentak, diraih oleh dua tangan kuat yang menyeretnya paksa ke arah yang tak ia ketahui.

Panik dan rasa takut menguasai diri Charlotte. Ia meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman kedua pria itu, namun kekuatan mereka jauh lebih besar. Cengkeraman mereka terasa seperti besi, menahan setiap gerakannya. Ia ingin berteriak minta tolong, namun udara tak mampu masuk ke paru-parunya.

Kedua pria itu menyeretnya melewati lorong-lorong remang-remang klub malam, suara musik dan obrolan riuh terdengar samar, seperti dari dunia lain. Bau alkohol dan parfum menyengat hidungnya, campur aduk dengan aroma keringat dan ketakutan.

Akhirnya, mereka menyeretnya masuk ke sebuah kamar kecil yang tersembunyi di sudut klub. Tubuhnya dihempaskan kasar ke lantai, menimbulkan suara benturan yang nyaring. Pintu dibanting keras, dan kunci berderit saat pintu terkunci dari luar. Kegelapan dan kesunyian langsung menyelimuti Charlotte, hanya debaran jantungnya yang terdengar nyaring di telinganya. Ketakutan yang mencekam mencengkeram seluruh jiwanya.

"Sialan! Bukan pintunya!" teriak Charlotte, suaranya bergetar, campuran antara amarah dan kepanikan. Ia mencoba memutar kenop pintu, mendorongnya dengan sekuat tenaga, namun sia-sia. Pintu terkunci rapat. Kegelapan dan kesunyian di dalam kamar itu terasa semakin mencekam.

Ketakutan membuncah di dadanya. Ruangan kecil dan sempit itu terasa seperti penjara. Lebih mengerikan lagi, ia merasa ada seseorang yang sedang memperhatikannya dari kegelapan. Sebuah bayangan samar di sudut ruangan, menciptakan rasa ngeri yang menusuk tulang.

Charlotte menoleh perlahan, merasakan bulu kuduknya merinding. Di tengah cahaya remang-remang yang merembes dari celah pintu, ia melihat siluet seorang pria yang cukup tegap. Tubuhnya tegak, menciptakan kesan yang mengancam. Bayangan itu bagai sosok hantu yang muncul dari kegelapan.

Tubuhnya bergetar hebat, ketakutan menggeletar hingga ke ujung tulang. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri. Namun, ketakutan itu sulit diredam. Ia hanya bisa berdoa dalam hati, suaranya lirih, hampir tak terdengar: "Ku harap, Helena dan Diana menyadari kepergianku..." Doa itu menjadi satu-satunya penyelamat di tengah keputusasaan yang sangat mencekam.

Namun, kenyataan jauh lebih kejam daripada harapannya. Kedua sahabat yang ia andalkan, Helena dan Diana, terbaring tak sadarkan diri di sebuah sofa di sudut klub malam. Gaun-gaun mereka kusut, riasan luntur, dan aroma alkohol menyengat tercium dari tubuh mereka. Mereka terkapar di tengah tumpukan gelas kosong dan sisa-sisa makanan ringan, korban dari pesta minuman keras yang terlalu berlebihan. Wajah mereka pucat pasi, napas mereka tersengal-sengal-tanda-tanda mabuk berat yang cukup parah. Mereka sama sekali tak menyadari kepergian Charlotte, terlelap dalam dunia mimpi yang dipenuhi oleh alkohol.

"Pindahkan mereka ke kamar yang sudah disiapkan," perintah seorang pria berbadan tegap, suaranya dingin dan tanpa emosi. Ia berdiri di dekat mereka, memandangi kedua wanita yang tak berdaya itu dengan tatapan menilai. Dua orang anak buahnya, yang terlihat seperti preman dengan raut wajah sangar, mendekati Helena dan Diana. Mereka mengangkat tubuh kedua wanita itu dengan kasar, tanpa sedikit pun rasa hormat. Helena dan Diana yang tak sadarkan diri hanya bisa terombang-ambing, seperti boneka tanpa nyawa.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 1 Chapter 01   05-04 02:50
img
1 Bab 1 Chapter 01
04/05/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY