Ia benci dengan kata itu. Setelah pertemuan dengan keluarga besar ayahnya, ia tak pernah bisa benar-benar tidur dengan tenang.
Ia yang hidup sebagai anak tunggal kini berubah status menjadi sebatang kara di usianya yang seperempat abad.
Tak masalah.
Begitulah kira-kira ia berusaha menguatkan dirinya sendiri. Ia bercermin pada banyaknya kisah anak-anak korban perang yang ditinggal kedua orangtuanya bahkan sejak masih bayi.
Aku beruntung setidaknya punya 24 tahun yang hebat dengan kedua orangtuaku.
Begitulah lagi kira-kira cara Naima mengusir rasa sedih dari kehilangan orangtua dalam waktu yang cukup berdekatan.
Ia menatap teman kerjanya yang sibuk dengan sosial media, tertawa cekikikan sambil sesekali menutup mulutnya.
"Apa kau sudah selesai?" Tanya Naima sambil mengangkat kedua tangannya , meregangkan tubuhnya.
"Tentu saja belum," Dian menjawabnya dengan kedipan sebelah mata dan nada santai.
Naima tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. "Seharusnya kau juga mengerjakan, Di. Biar sama-sama selesai lusa,"
Kawannya itu menggelengkan kepala. "Aku mual membayangkan apakah mereka bisa mengerjakan soal yang ku buat. Anak-anak itu terlalu pemalas dan dimanjakan oleh kedua orangtuanya, Naima. Lihat saja bagaimana mereka sering sekali membawa-bawa orangtua mereka,"
Dian yang merupakan seorang wali kelas berkali-kali mengeluhkan bagaimana muridnya kerap kali memprotes tata tertib sebagai hal yang merepotkan.
"Kamu juga pasti pas remaja kayak gitu, Di." Naima tertawa sambil merapikan mejanya.
"Oh salah besar. Aku anak yang penurut dan siswa teladan," ujarnya membanggakan diri , meskipun Naima tau itu sebuah kebohongan.
Ia tak pernah berpikir akan berada di sini. Kedua orangtuanya membuat sebuah yayasan pendidikan yang saat ini menaungi lebih dari 300 siswa.
Memang bukan yayasan yang besar dan ternama, namun niat awal ibunya membangun yayasan ini adalah untuk mengelola sebagian zakat keluarganya agar lebih tepat sasaran. Untuk anak-anak yatim dan atau piatu , ibunya membuat kebijakan sekolah gratis.
"Kamu mau ke mana?" Tanya Dian ketika mendengar suara resleting tas gendong milik Naima terbuka.
"Mau ke Mbak Raina. Kamu lupa?"
Dian menepuk dahinya.
"Astaga! Tunggu-tunggu, aku ke toilet dulu!"
Setelah berlari, Dian meninggalkan Naima yang sedang membereskan perlengkapannya.
Ia bukan guru kelas seperti Dian, bisa dibilang lebih seperti guru konselling di sini.
Baru dua bulan.
Ia harus mempertahankan yayasan ini untuk ibunya.
Tidak!
Untuk kedua orangtuanya!
Butuh lebih dari sejam sampai keduanya tiba di lobi rumah sakit tempat pasien yang merupakan sesama teman sejawatnya.
"Apa ada suaminya? Aku males banget lihat monster itu, Nai..!" Bisik Dian dengan suara yang benar-benar dipelankannya.
"Mbak Raina sih bilang dia sendirian. Terus daritadi juga telponku gak diangkat,"
Aroma antiseptic tak terlalu kuat di lantai satu, tapi begitu meluncur naik ke ruang perawatan, Naima mulai merasa pusing dengan aroma antiseptic yang membawa memori buruk.
"Ke sini, ya?" Tanya Dian sambil menunjuk lorong di sebelah kanan mereka. Naima menyapa dengan sebuah anggukan kepada seorang satpam wanita yang sedang menuliskan sesuatu di tangannya.
"Heh, ke sini, ya?" Tanya Dian lagi merasa pertanyaannya tak dihiraukan.
"Iyaya, sabar dong! Sapa dulu yang lagi kerja," tegur Naima yang kini memimpin jalan menuju kamar teman mereka.
Saat mereka berdua hendak membuka pintu, terdengar sebuah pertengkaran dari dalam ruangan. Naima bisa mendengar sayup-sayup suara tangisan.
"Sudah saya bilang berkali-kali harusnya kamu jangan bepergian! Diam saja di rumah! Kamu nangis kayak gini gak akan buat anak kita balik lagi!!"
Naima menyentuh dadanya. Beristigfar dalam hati.
"Kita harus masuk, monster itu ada di dalam. Gila ya dia??!! Gimana kalau dia jahat ke Mbak Raina?"
Naima bisa mendengar kekhawatiran dari nada Dian. Tapi masuk ke dalam ruangan ketika sepasang suami istri sedang bertengkar bukanlah hal yang membantu.
Kehadiran mereka berdua mungkin akan memperkeruh suasana.
"Sebentar lagi. Aku yakin sebentar lagi dia pasti keluar," Naima menahan tangan Dian yang benar-benar sudah membuka pintu.
"Jangan sekarang, Di. Sabar sebentar. Dia gak akan melakukan hal-hal buruk di sini,"
Dian akhirnya menutup lagi pintu perlahan dan berdiri di sebelah Naima.
"Aku benci monster itu, Nai. Dia buat Mbak Raina sehancur
Naima mengangguk.
Satu hal yang Naima pahami, bahwa pernikahan terkadang membuat kehidupan orang berubah seratus delapan puluh derajat. Itu pula yang membuatnya menolak orang-orang yang berniat menikahinya saat kedua orangtuanya masih hidup.
Aku mau punya pasangan seperti bapakku, dan yang seperti itu sudah tak ada lagi di muka bumi.
Begitulah mindset Naima hingga saat ini, terlebih setelah melihat bagaimana pernikahan terkadang membuat orang-orang terdekatnya tak sebersinar sebelumnya.
Perhitungan Naima tepat, kurang dari tiga menit, laki-laki yang merupakan seorang perwira TNI AD itu keluar dengan emosi yang masih tersisa.
Ia berjalan terburu-buru seperti sudah memiliki janji penting lain dan tak melihat dua orang yang berada di dekat pintu ruangan itu sama sekali.
"Kalau aku berharap tiba-tiba dia terjebak di lift selama 4 jam, dan kehabisan napas di sana, boleh gak?"
Naima menoleh, ia menyengir namun mengucap istigfar lagi mendengar ucapan temannya itu.
"Heh gak boleh gitu. Nanti teman kita malah semakin sedih," tutur Naima sambil membuka pintu.
"Biarin aja, seenggaknya kesedihannya gak akan berlarut. Penyebab rasa sedihnya sudah musnah dari dunia," Dian mengatakannya dengan sangat puas dan berakhir dengan cubitan Naima.
"Sttt udah ah.."
Setelah mengucap salam, kedua orang itu langsung menghampiri sang pasien yang sedang terduduk lesu di atas ranjang rumah sakitnya.
"Makasih ya udah datang, pasti macet banget ya jam segini,"
Naima mengangguk, ia menaruh paperbag yang dibawanya dan memeluk Raina yang saat ini masih basah oleh airmata. Sebisa mungkin melupakan apa yang didengarkannya.
"The traffic was crazy..!" Ujar Naima sambil melepaskan pelukan. "Maaf baru jenguk sekarang," tambahnya lagi.
Giliran Dian yang memeluk Raina saat ini. "Kamu sendirian terus, Mbak? Kita nginep di sini, ya? Gimana?" Tanya Dian karena melihat tak ada tanda-tanda orang hidup lainnya di ruangan ini selain Raina.
"Ah, gak perlu. Nanti ada yang nemenin kok kalau malam. Jam segini kan yang lain masih kerja," ucap Raina dengan nada ceria yang berusaha sekuat tenaga dikembalikannya.