Aurora bukan tipe perempuan yang mudah menyerah. Sejak lulus dari universitas bergengsi, ia sudah bertekad mengukir namanya sendiri tanpa bergantung pada siapa pun. Dunia korporat adalah medan perangnya, dan ia adalah prajurit yang tak kenal lelah.
Namun, di balik ketegaran itu, ada tekanan yang tak terlihat. Ia sering mendengar komentar pedas dari rekan kerja dan keluarganya, yang menganggap dirinya "perawan tua" karena belum juga menikah di usia yang dianggap "terlambat" oleh banyak orang.
"Aurora, kapan kamu mau serius cari pasangan? Biar nggak sendirian terus," ujar ibunya saat mereka berbicara lewat telepon beberapa hari lalu, dengan nada yang mengandung harap dan sedikit kekecewaan.
Aurora hanya bisa tersenyum kecut dan menjawab, "Ibu, aku masih fokus karier dulu. Kalau memang jodoh, pasti datang."
Namun malam ini, pikirannya tak sepenuhnya tertuju pada pekerjaan atau komentar orang lain. Hujan dan angin kencang di luar membuat perjalanan pulangnya menjadi lebih menegangkan. Ia sadar bahwa jalanan macet parah, tapi ia harus segera pulang, merindukan kehangatan rumah yang terasa begitu jauh dari hiruk-pikuk kota.
Dengan sigap, Aurora menyalakan wiper mobilnya dan memerhatikan setiap kendaraan di depannya yang bergerak lambat. Sesekali ia melirik ke kaca spion, melihat kilatan lampu dari truk besar yang mengikuti di belakang.
Hatinya mulai cemas.
Beberapa detik kemudian, suara sirene ambulans terdengar dari kejauhan, membuat lalu lintas semakin kacau. Aurora mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa takut, "Ini cuma perjalanan biasa. Aku sudah sering melewati jalan ini."
Namun takdir berkata lain.
Tanpa peringatan, truk kontainer yang melaju di belakang kehilangan kendali. Truk itu meluncur dengan kecepatan tinggi, menabrak deretan mobil yang terjebak macet. Tubuh Aurora tersentak hebat ketika mobilnya dihantam dari belakang dengan suara dentuman yang mengerikan.
Aurora merasakan tubuhnya terangkat dan terpental ke depan. Semua terasa gelap dan hampa. Suara sirine, teriakan, dan suara kaca pecah terdengar samar, seperti mimpi buruk yang tak berujung.
Ketika membuka mata, Aurora terkejut bukan main. Dia tidak berada di rumah sakit seperti yang dibayangkan, melainkan di sebuah kamar mewah yang tak dikenalnya. Cahaya lampu kristal berkilauan di atas, dinding berlapis kain sutra warna krem, dan udara hangat yang membuatnya semakin bingung.
Tubuhnya terasa berbeda. Tidak ada rasa sakit yang seharusnya muncul setelah kecelakaan berat.
Dan yang lebih membuatnya terkejut-di sampingnya, ada seorang pria dengan wajah maskulin dan mata tajam yang menatapnya tanpa berkedip.
"Apa... ini?" suara Aurora bergetar, hampir tak percaya.
Pria itu tersenyum tipis, suaranya dalam dan penuh kewibawaan.
"Aurora, kau sudah resmi menjadi istri kedua saya. Malam ini adalah malam pertama kita."
Aurora membeku.
Kata-kata itu seperti petir yang menyambar, merobek seluruh pikirannya.
"Maaf? Istri kedua? Aku... aku tidak mengerti," katanya sambil mencoba bangkit, tapi tubuhnya terasa lemas.
Pria itu dengan lembut menahan tangannya.
"Tenang, aku akan jelaskan. Aku Damian Aldridge, pewaris keluarga konglomerat Aldridge. Kau sudah menandatangani kontrak pernikahan dengan keluarga kami."
Aurora menatapnya dengan mata membelalak. Kontrak pernikahan?
"Apa maksudmu, kontrak? Aku tidak pernah setuju..."
Damian mengangkat alis dan mengeluarkan sebuah berkas dari meja di sampingnya. Berkas itu berisi tanda tangan Aurora.
"Kau sudah menandatangani ini. Sebuah perjanjian untuk menjadi istri kedua dan menggantikan posisi istri pertama yang sudah meninggal. Tugasmu adalah menjaga keluarga ini dan melahirkan penerus kami."
Aurora merasakan dunia berputar dengan cepat. Ia mencoba mengingat, tapi ingatannya kabur. Apakah kecelakaan itu membuatnya pingsan dan mengalami halusinasi? Ataukah ada sesuatu yang lebih gelap di balik ini semua?
Ia ingin menolak, ingin lari, namun tubuhnya terasa terikat oleh kenyataan yang dingin dan menyakitkan.
Damian menatapnya dalam-dalam, seolah menunggu respons yang lebih jelas.
"Aku tidak akan membiarkanmu lepas begitu saja. Kau adalah bagian dari permainan ini sekarang. Dan kau harus bertahan, Aurora," katanya dingin.
Kamar itu terasa semakin sesak bagi Aurora. Ia merasakan campuran takut, marah, dan bingung yang berkecamuk dalam dirinya. Bagaimana mungkin hidupnya berubah drastis dalam sekejap? Dari wanita karier bebas menjadi istri kedua seorang pria yang bahkan baru ia kenal?
Namun di balik semua itu, ada sesuatu yang bersemayam-rasa penasaran dan tekad untuk tidak menyerah pada nasib.
"Aku tidak akan menjadi boneka kalian," bisiknya pelan, penuh semangat.
Damian tersenyum sinis.
"Kau boleh menolak, tapi kontrak ini mengikatmu. Dan aku akan pastikan kau mematuhinya."
Malam itu, Aurora sadar bahwa hidupnya sudah terperangkap dalam labirin yang tak bisa ia hindari.
Sebuah pernikahan kontrak yang bukan hanya soal cinta, tapi tentang kekuasaan, rahasia keluarga, dan pertaruhan nyawa.
Dan ini baru permulaan.
Ketika Aurora mencoba bangkit dan mencari jalan keluar dari kamar mewah itu, sebuah suara dari balik pintu berbisik lembut, namun penuh ancaman:
"Aurora, kau pikir kau bebas? Di sini, kau hanyalah pion di tangan kami."