Memang enak kalau dia menuruti kemauannya tanpa menahan diri, tetapi Rose sendiri yang menanggung konsekuensinya.
Pada usia dua puluh delapan, Yosan berada di puncak hidupnya-sukses dalam bisnis dan memiliki kebutuhan biologis yang kuat.
Selama tiga tahun pernikahan mereka, dia selalu berhati-hati dalam menggunakan alat kontrasepsi.
Awalnya, Rose tidak pernah berpikir untuk hamil dan memiliki anak, tetapi selama enam bulan terakhir, ada sesuatu yang berubah. Dia mendapati dirinya sangat mendambakan kelahiran bayi bersama Yosan.
Yosan tidak hanya memiliki paras yang tampan dan tiada duanya, dia juga tahu persis apa yang harus dilakukan di ranjang. Dan sesekali, dia membisikkan kata-kata yang lembut dan manis, cukup untuk meluluhkannya.
Setahun yang lalu, Rose menyadari perasaannya terhadap Yosan telah berubah. Dari ketidakpedulian dan tidak merasakan apa pun menjadi rasa suka.
Lebih tepatnya, dia telah jatuh cinta padanya.
Namun, Yosan hanya memperlakukannya dengan hangat di ranjang. Ketika mereka tidak melakukan hal yang intim, pria itu bersikap dingin dan menjaga jarak seperti biasanya.
"Jangan lupa minum pil kontrasepsi," ucap Yosan dengan suara datar, menyadarkannya dari lamunannya. "Akan merepotkan jika kamu sampai hamil."
Rose hanya mengiakan dengan singkat, merasa patah semangat.
Dia tahu bahwa dirinya sedang datang bulan akhir-akhir ini, tetapi karena dia telah meminum alkohol, bahkan jika dia hamil, dia tidak akan bisa mempertahankan bayinya.
Namun, kata-kata Yosan masih menyakiti hatinya.
Yosan mengenakan piamanya dan berjalan ke kamar mandi.
Rose tidak mengalihkan tatapan sampai sosok tinggi pria itu benar-benar hilang dari pandangannya.
Tepat pada saat ini, dering ponsel tiba-tiba memecah kesunyian di ruangan itu.
Rose mengambil ponsel Yosan dan melihatnya. Nama "Rina" muncul di layar.
Rina Antoso, sekretaris Yosan, adalah seorang wanita yang tutur katanya lembut dan anggun dalam gerak-geriknya. Jangankan pria, bahkan wanita pun suka mendengarnya berbicara.
Kabarnya, Rina telah meninggalkan pekerjaan bergaji tinggi di Kota Kuno enam tahun lalu hanya untuk bekerja di dekat Yosan. Di depan umum, mereka berdua adalah atasan dan bawahan, tetapi sebenarnya mereka adalah sepasang kekasih.
Tiba-tiba, tangan Yosan terulur dan merampas ponsel dari tangan Rose.
"Rina," sapanya dengan hangat di telepon, suaranya penuh kasih sayang dan kegembiraan.
Rose lagi-lagi merasa ada beberapa tusukan, tepat ke jantungnya.
Ketika Yosan berbicara dengannya di telepon, pria itu hanya membicarakan hal-hal yang penting saja, nada bicaranya kaku dan tanpa kehangatan, tidak pernah selembut ini.
"Yosan, ada yang seseorang yang menindasku. Cepat datang dan tolong aku. Aku ada di Zero Club ...." Yosan tidak menjauh darinya saat dia menjawab panggilan, dan teriakan minta tolong Rina sampai ke telinga Rose dengan jelas.
"Aku akan segera tiba di sana," ucap Yosan dengan cepat. "Aku akan meminta seorang teman yang berlokasi dekat Zero Club untuk pergi dan membantumu terlebih dahulu. Temukan tempat yang aman dan kunci pintu. Apakah kamu sudah menelepon polisi ...?" Wajahnya berubah serius saat dia melangkah ke ruang ganti.
Rose duduk di sana, gemetar karena marah. Dia bahkan tidak repot-repot memakai sepatu sebelum mengikutinya masuk.
Hanya sebulan yang lalu, saat melakukan syuting di luar ruangan di pinggiran utara bersama kru TV-nya, mobil van yang mereka tumpangi keluar jalur dan terbalik ke dalam parit untuk menghindari truk sampah.
Meski tak ada seorang pun yang meninggal, tetapi semuanya terluka.
Kakinya terluka dan berdarah parah. Panik dan kesakitan, dia menelepon Yosan.
Namun, Yosan sedang menghadiri acara makan malam saat itu. Meski mendengar isak tangisnya, dia berkata dengan dingin, "Kalau kamu masih bisa menelepon, berarti kecelakaanmu tidak seserius itu." Dia lalu menutup telepon tanpa berpikir dua kali.
Namun sekarang, dia ada di sini-siap untuk bergegas menghampiri Rina saat dia masih mabuk, tanpa ragu-ragu. Apa lagi itu kalau bukan cinta sejati namanya?
Yosan segera berpakaian dan berjalan keluar dari ruang ganti, masih menggumamkan kata-kata menghibur di telepon dengan lembut. Rose tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Rina dengan jelas, tetapi dia bisa mendengar isak tangisnya yang terputus-putus.
Berdiri di depan pintu untuk menghentikan Yosan pergi, Rose menggigit bibir dan berkata, "Kamu terlalu banyak minum. Kamu tidak bisa mengemudi seperti ini."
"Apakah kamu cemburu, atau kamu khawatir padaku, hmm?" tanya Yosan sambil mengangkat dagunya dengan tatapan tajam.
Sorot mata Rose melembut dan dia berkata dengan tegas, "Aku khawatir padamu."
"Aku tidak membutuhkan kekhawatiran palsu itu," ucap Yosan sambil melepaskan wajahnya, suaranya tidak hangat.
Sebelum Rose sempat merespons, dia mendorongnya ke samping, membuatnya terhuyung dan jatuh ke lantai.
Lalu, tanpa ragu-ragu, dia berjalan melewatinya dan pergi.
Rose ditinggalkan sendirian di kamar besar itu, yang terasa kosong. Sama seperti tiga tahun pernikahannya.
Perasaan pahit dan sedih menyebar di hatinya, begitu kuatnya hingga seakan-akan memelintir organ di dalam tubuhnya. Sakitnya terasa di mana-mana, tetapi dia bahkan tidak bisa menangis.
Wajahnya pucat sepenuhnya dan matanya memerah karena dia berusaha keras menahan air matanya yang hampir keluar.
Dia tetap di sana, duduk di lantai dalam posisi yang sama untuk waktu yang lama, sampai kakinya mati rasa. Kemudian, dia akhirnya memaksakan diri untuk berdiri.
Dia tidak ingin kembali ke kamar tidur, jadi dia meringkuk di sofa, memejamkan mata, pikirannya kacau balau.
Tiba-tiba suara ponselnya berdering memecah kesunyian.
Nada tajam itu menariknya kembali ke kenyataan. Karena mengira Yosan-lah yang meneleponnya, dia segera bangkit dan bergegas dari ruang tamu ke kamar tidur, menjawab panggilan itu tanpa berpikir dua kali.
"Rose! Suamimu yang brengsek itu baru saja membuat keributan besar di Zero Club demi Rina! Dia memecahkan botol bir di atas kepala seorang pria, darah berceceran di mana-mana. Itu gila!"
Sahabat Rose, Putri Haryanto, sedang menelepon, suaranya penuh desakan.
Rose sedikit kesulitan bernapas, tetapi mencoba berpura-pura tenang dan bergumam, "Oh."
Dia tidak terkejut. Mengingat betapa pedulinya Yosan terhadap Rina, dia tidak akan terkejut bahkan jika pria itu membunuh seseorang.
Zero Club bukan sembarang klub, klub itu adalah klub swasta paling elit di Kota Jingga. Tempat itu merupakan tempat di mana Yosan dan beberapa temannya sering pergi untuk mencari hiburan.
Putri melanjutkan, "Seorang pria mabuk memojokkan Rina di dekat kamar mandi dan mencoba melecehkannya. Salah satu saksi mengatakan ada bekas ciuman di dadanya dan celana dalamnya telah diturunkan. Syukurlah Rina punya akal untuk mengunci diri di kamar kecil wanita sebelum keadaan menjadi lebih buruk ...."
Rose tidak mendengar sisa perkataan Putri, pikirannya melayang ke tempat lain. Akhirnya, Putri mengakhiri panggilan.
Panggilan telepon Putri telah menghapus seluruh rasa kantuknya, membuatnya menggenggam ponsel erat-erat hingga buku-buku jarinya memucat.
Bagaimana mungkin dia tidak marah mengenai hal ini?
Dia memaksakan diri untuk tetap tenang selama panggilan itu, berpegang teguh pada harga diri terakhir yang dimilikinya.
Dia mencoba mengalihkan perhatiannya dengan menggulir ponselnya, tetapi berita tentang perkelahian Yosan di Zero Club sudah menyebar di Internet.
Cerita-cerita tersebut menggambarkan Yosan sebagai seorang kekasih yang penuh gairah, seorang pria yang bersedia mempertaruhkan nyawanya demi wanita yang dicintainya, menggambarkannya sebagai sosok romantis yang berani dan mendominasi.
Semakin banyak Rose membaca, semakin marah dia jadinya. Dia tidak tahan lagi, jadi dia menyimpan ponselnya dan mematikan lampu tidur.
Dikelilingi oleh kegelapan, dia merasakan pikirannya menjadi lebih tajam.
Selama tiga tahun pernikahan mereka, Yosan belum pernah sekali pun mengumumkan hubungan mereka ke publik. Sebaliknya, dia menjalin hubungan asmara dengan beberapa wanita di klub tersebut. Rina, yang yakin akan sikap pilih kasihnya, selalu menggunakannya untuk memprovokasinya.
Pada saat ini, dia mendapati dirinya mempertanyakan pernikahannya dengan Yosan, pernikahan yang sudah membusuk dari dalam ke luar.
Suara pintu terbuka membuyarkan lamunannya. Dia melihat ponselnya sekilas, waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi.
Yosan kembali, tetapi dia tidak kembali ke kamar tidur mereka. Dia langsung masuk ke ruang kerja.
Rose turun dari tempat tidur, mengambil napas dalam-dalam sebelum berjalan menuju ruang kerja dan mengetuk pintu.
Tidak ada Jawaban.
Dia mengetuk lagi, kali ini memutar gagang pintu untuk membuka dan masuk.
"Siapa yang mengizinkanmu masuk?" Suara Yosan tajam, ekspresinya langsung menjadi gelap karena interupsi yang tiba-tiba itu.
Rose ragu sejenak. Kemudian, dia mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk menatapnya. "Mari kita bercerai."