"Nayara, kau benar-benar membuatku bangga," ujar Sinta, asistennya, sambil merapikan map presentasi. "Klien tadi bahkan kelihatan terpesona dengan konsep desainmu."
Nayara tersenyum kecil. "Bukan cuma terpesona, Sin. Mereka terjebak. Kalau mereka menolak, mereka akan kehilangan kesempatan untuk berbeda. Dan aku tahu persis, di dunia bisnis, semua orang takut terlihat biasa-biasa saja."
Ia berjalan anggun menuju mobilnya. Gaun formal berwarna krem lembut yang dikenakannya membuat dirinya tampak profesional sekaligus berkelas. Rambut hitam panjangnya dibiarkan tergerai, sedikit bergelombang di ujung, memberi kesan natural namun tetap menawan.
Namun, di balik kepercayaan diri itu, ada sesuatu yang tak diketahui banyak orang. Nayara menyembunyikan kegelisahan yang selama beberapa bulan terakhir semakin mendesak.
Teleponnya bergetar di dalam tas. Nama yang muncul di layar membuat senyumnya seketika pudar. "Papa."
Ia menghela napas panjang sebelum menjawab.
"Halo, Pa..." suaranya berusaha tenang.
"Nayara, kau di mana sekarang?" suara berat itu terdengar tegas, tapi juga penuh tekanan.
"Baru selesai presentasi. Ada apa, Pa?"
"Kau pulang sekarang. Kita harus bicara serius. Ada sesuatu yang... tidak bisa ditunda lagi."
Nada ayahnya, Damar Elvard, membuat dada Nayara mengeras. Ia sudah bisa menebak. Masalah ini, yang selama beberapa bulan terakhir coba ia abaikan, kini benar-benar dihadapkan padanya.
Sore itu, di ruang kerja rumah keluarga Elvard, Nayara duduk berhadapan dengan ayahnya. Damar Elvard, seorang pengusaha besar yang sempat berjaya di bidang tekstil, kini tampak menua dengan wajah yang sarat kekhawatiran.
"Apa benar kabar yang kudengar, Pa?" Nayara memecah keheningan. "Perusahaan kita hampir bangkrut?"
Damar menghela napas berat. "Bukan hampir lagi, Nay. Kita... sudah di ambang. Kalau tak ada suntikan dana, dalam tiga bulan ke depan, semua yang kubangun bisa hancur."
Nayara terdiam, jemarinya meremas gaun yang ia kenakan. Ia tahu kondisi keuangan keluarga tidak sebaik dulu, tapi ia tak menyangka separah ini.
"Aku sudah mencoba segala cara," lanjut Damar. "Pinjaman, investor, menjual sebagian aset... tapi tidak cukup. Dan... ada satu-satunya jalan keluar."
Tatapan Nayara langsung menegang. Ia tahu, ayahnya sedang menuju ke arah yang tidak ia sukai.
"Arshen Daveraux." Nama itu akhirnya keluar dari mulut sang ayah.
Dada Nayara berdegup kencang. Tentu ia tahu siapa pria itu. Semua orang tahu. Seorang CEO muda berusia 29 tahun, pemilik Daveraux Corp yang menguasai berbagai sektor bisnis, mulai dari properti, teknologi, hingga media. Pria itu terkenal dingin, penuh perhitungan, dan nyaris mustahil didekati.
"Pa..." suara Nayara bergetar. "Jangan bilang..."
Damar menunduk, suaranya berat. "Ia menawarkan bantuan. Tapi dengan syarat... kau harus menikah dengannya."
Nayara membeku. Kata-kata itu menusuk telinganya seperti pisau tajam.
"Kontrak pernikahan," tambah Damar. "Hanya formalitas, katanya. Tapi dengan itu, perusahaan kita selamat."
Malam itu, Nayara tak bisa tidur. Ia duduk di depan cermin besar di kamarnya, menatap pantulan wajahnya sendiri.
"Menikah kontrak? Dengan pria yang bahkan tak aku kenal dekat?" gumamnya lirih.
Ia tahu Arshen Daveraux hanya dari berita, wawancara, dan gosip media. Pria itu digambarkan sebagai sosok tanpa hati, lebih memilih angka dan strategi ketimbang hubungan manusia. Beberapa kali ia terlihat bersama perempuan cantik, tapi tak pernah bertahan lama. Baginya, hubungan hanyalah transaksi.
"Lalu aku?" Nayara mendengus kecil. "Aku akan jadi apa di matanya? Sebuah kesepakatan bisnis?"
Pikirannya berputar. Ia memang berambisi, ia memang suka tantangan, tapi ini... terlalu jauh. Namun, di sisi lain, ia tak sanggup melihat ayahnya kehilangan segalanya. Perusahaan itu adalah hidup ayahnya.
Keesokan harinya, Nayara menghadiri pertemuan dengan Arshen Daveraux. Pertemuan itu berlangsung di sebuah restoran mewah, ruangan VIP tertutup.
Saat ia masuk, sosok pria itu sudah duduk menunggunya. Arshen memakai setelan jas hitam rapi, dasi abu-abu, dan jam tangan mewah yang menegaskan statusnya. Wajahnya tampan, garis rahangnya tegas, sorot matanya tajam-namun juga dingin, seolah tak pernah mengenal senyum.
"Nayara Elvard," ucapnya datar ketika ia berdiri menyambut. "Silakan duduk."
Nayara menarik kursi dan duduk, berusaha menahan kegugupan.
"Jadi, kau sudah tahu tujuannya," kata Arshen langsung, tanpa basa-basi. "Aku bisa menyelamatkan perusahaan keluargamu. Dengan satu syarat: kau menikah denganku. Kontrak, jangka waktu tiga tahun. Setelah itu, bebas."
Nada bicaranya seakan sedang menawarkan kerja sama bisnis, bukan pernikahan.
Nayara menatapnya dalam, mencoba membaca sosok di hadapannya. "Kenapa aku?" tanyanya akhirnya.
Alis Arshen terangkat sedikit, tapi ekspresinya tetap dingin. "Karena kau cukup menarik untuk dijadikan istri di mata publik, namun tidak cukup penting untuk mengganggu urusanku."
Ucapan itu membuat hati Nayara perih, tapi ia tak menunjukkan kelemahannya.
"Kalau aku menolak?" Nayara menguji.
Arshen bersandar di kursi, menatapnya tajam. "Maka perusahaan keluargamu akan runtuh. Dan aku tidak akan mengulurkan tangan lagi."
Hening. Hanya suara jam dinding yang terdengar.
Nayara meremas tangannya di bawah meja. Ia benci merasa terpojok. Namun pada saat yang sama, ia tahu inilah satu-satunya cara menyelamatkan ayahnya.
Ia menarik napas panjang, lalu menatap lurus ke mata Arshen.
"Baiklah," katanya tegas. "Aku terima."
Sudut bibir Arshen sedikit terangkat, tapi bukan senyum hangat-lebih seperti senyum kemenangan. "Bagus. Mulai sekarang, kita terikat kontrak. Jangan pernah berpikir ini lebih dari sekadar kesepakatan, Nayara."
Beberapa hari kemudian, pesta pernikahan sederhana tapi mewah digelar. Media meliput, publik bersorak, dan rumor beredar cepat. Banyak yang terkejut-seorang desainer muda menikah dengan CEO muda paling berkuasa? Itu terdengar seperti kisah dongeng, tapi Nayara tahu betul, kenyataannya jauh berbeda.
Di altar, ketika janji pernikahan diucapkan, Arshen hanya memandanginya sekilas, matanya dingin tanpa emosi.
Sementara itu, Nayara berusaha tersenyum. Dalam hatinya ia berbisik, Kalau ini permainanmu, Arshen... aku akan ikut bermain. Tapi jangan salah. Aku tidak akan sekadar jadi boneka kontrakmu.
Ia menoleh sebentar pada pria itu, tatapannya penuh tekad.
Aku akan membuatmu jatuh. Entah kau suka atau tidak.
Hari pertama setelah pesta pernikahan, vila mewah di kawasan elit Menteng yang kini resmi menjadi rumah mereka terasa begitu asing bagi Nayara. Bangunan tiga lantai dengan arsitektur modern minimalis itu memang memukau siapa pun yang melihat, tapi bagi Nayara, ia merasa seperti baru saja dipenjara dalam dinding kaca yang berkilau.
Ia melangkah pelan di ruang tengah yang luas, memandangi interior mahal yang ditata rapi. Tidak ada sentuhan hangat di ruangan itu, seolah semuanya hanya pamer kekayaan tanpa jiwa.
"Rumah atau museum?" gumam Nayara lirih.
Suara langkah terdengar dari tangga. Arshen Daveraux muncul dengan kemeja putih lengan panjang dan celana hitam, sederhana tapi aura wibawanya tetap kuat. Rambutnya ditata rapi, wajahnya segar, seakan pesta pernikahan semalam sama sekali tidak melelahkan.
Ia menatap Nayara sekilas. "Kau masih di sini? Kupikir kau akan berangkat ke kantormu lebih awal."
Nada suaranya datar, seperti berbicara pada rekan kerja, bukan istri.
Nayara mengangkat alis. "Kau bahkan tidak bertanya apakah aku tidur nyenyak semalam."
"Aku tidak perlu tahu," jawab Arshen singkat sambil menuruni anak tangga.
Nayara menyilangkan tangan di depan dada. "Kalau semua pernikahanmu dingin begini, aku bisa membeku lebih cepat daripada es batu di kulkas."
Arshen berhenti, menoleh menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. "Aku sudah bilang dari awal, ini hanya kontrak. Jangan berharap lebih."
"Dan aku sudah bilang pada diriku sendiri," Nayara mendekat, menatap mata pria itu berani, "kalau aku akan menjadikanmu nyata, bukan sekadar tanda tangan di atas kertas."
Tatapan mereka bertabrakan, keras dan tak mau kalah. Arshen akhirnya menghela napas, lalu berjalan ke arah pintu tanpa menanggapi lebih jauh. "Aku ada rapat. Jangan tunggu aku makan malam."
Pintu tertutup. Keheningan kembali menguasai ruangan. Nayara mendengus, "Sombong sekali... Kita lihat nanti, Daveraux."
---
Hari-hari berikutnya berjalan dengan ritme yang aneh. Arshen pergi pagi sebelum matahari terbit, pulang larut malam, dan hampir tak pernah makan bersama Nayara. Semua staf rumah tangga bekerja dengan disiplin, seolah sudah terlatih untuk tidak banyak bicara.
Nayara merasa hidupnya berubah drastis. Dulu, setiap pagi ia bisa bangun dengan santai, merancang desain, atau menghadiri pertemuan klien. Sekarang, ia harus menghadapi kenyataan sebagai istri kontrak pria yang bahkan tidak mau menatapnya lebih dari lima detik.
Suatu sore, Nayara duduk di ruang kerja pribadinya di lantai dua, menatap laptop dengan dahi berkerut. Ia sedang merancang konsep interior sebuah hotel butik, tapi pikirannya buyar. Bayangan wajah dingin Arshen terus menghantui.
"Kenapa aku malah memikirkan dia?" gumamnya kesal. Ia menutup laptop dengan keras, lalu berdiri. "Sudah cukup. Kalau dia bisa bersikap acuh, aku bisa bersikap lebih heboh."
Nayara mengambil ponsel, mengenakan gaun merah menyala, lalu keluar rumah tanpa memberitahu siapa pun.
---
Malam itu, Arshen baru kembali dari kantor sekitar pukul sepuluh. Saat masuk ke rumah, ia mendapati ruang tengah kosong. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Nayara.
Ia melepas jas, lalu bertanya pada salah satu staf. "Nyonya di mana?"
"Maaf, Tuan... Nyonya keluar sore tadi dan belum kembali," jawab pelayan ragu.
Alis Arshen berkerut. Ia mengambil ponselnya, mencoba menahan rasa tidak suka yang tiba-tiba menguasai dirinya. Ia bukan pria yang peduli soal hal pribadi, tapi entah kenapa, kabar bahwa Nayara pergi tanpa izin membuat darahnya mendidih.
"Dia pikir ini hotel? Pergi sesuka hati tanpa bilang padaku?" geramnya lirih.
Tak lama kemudian, pintu utama terbuka. Nayara muncul dengan tawa kecil, ponselnya masih menempel di telinga. Ia baru saja pulang dari pesta kecil bersama sahabat-sahabatnya.
Begitu melihat Arshen berdiri di ruang tamu dengan wajah tegang, langkahnya terhenti.
"Oh... ternyata kau di rumah," katanya ringan.
"Jam berapa ini?" suara Arshen dingin, tapi tajam.
Nayara melirik jam tangannya. "Baru lewat sepuluh malam. Masih awal untuk kota sebesar Jakarta."
Arshen mendekat, menatapnya dalam. "Kau pergi tanpa izin. Kau pikir aku tidak peduli?"
Nayara tersenyum miring. "Tentu saja tidak peduli. Bukankah itu yang kau inginkan? Pernikahan kontrak tanpa keterikatan?"
Arshen menatapnya tajam, lalu tiba-tiba menarik ponsel dari tangannya dan meletakkannya di meja. "Kau istriku, Nayara. Kontrak atau tidak, kau tetap terikat padaku. Dan aku tidak suka kau pulang larut malam seperti ini."
Nayara menahan napas sejenak. Ada getaran aneh dalam suaranya-bukan hanya sekadar posesif, tapi seolah benar-benar marah.
Ia melipat tangan di dada. "Kalau kau ingin mengontrolku, kau harus lebih dari sekadar kata-kata dingin, Daveraux."
Ketegangan menggantung di udara. Tatapan mereka kembali terkunci. Untuk sesaat, Nayara melihat sesuatu di mata Arshen-bukan hanya kemarahan, tapi juga... rasa takut kehilangan?
Namun, pria itu segera membalikkan badan. "Aku tidak ingin membicarakan ini. Tidurlah. Kita akan menghadiri jamuan makan malam bisnis besok. Jangan membuatku malu."
---
Keesokan harinya, Nayara mempersiapkan diri dengan serius. Ia mengenakan gaun hitam elegan, rambutnya disanggul rapi, dan riasannya dibuat sempurna. Ia tahu acara malam ini penting-bukan hanya untuk Arshen, tapi juga untuk citra dirinya sebagai 'Nyonya Daveraux' di mata publik.
Di dalam mobil, suasana hening. Arshen duduk di sampingnya, memandang keluar jendela. Nayara menggigit bibir.
"Kau selalu begini? Tidak bicara sama sekali?" tanya Nayara akhirnya.
Arshen menoleh sekilas. "Aku bicara jika perlu."
"Dan kau tidak menganggap aku perlu?" Nayara mengangkat alis.
Arshen menatapnya lebih lama kali ini. "Kau suka mencari masalah."
"Bukan mencari masalah," Nayara menegaskan. "Aku hanya tidak tahan diam. Lagipula, kita pasangan suami istri. Orang-orang akan melihat kita. Apa kau mau mereka mengira kita saling membenci?"
Arshen terdiam. Kalimat itu menohok. Ia tahu Nayara benar.
Saat mobil berhenti di depan hotel bintang lima, ia akhirnya berkata pelan, "Baiklah. Malam ini, kita akan terlihat sempurna. Jangan membuat drama."
Nayara tersenyum kecil. "Itu lebih baik. Setidaknya aku tahu kau bisa berpura-pura."
---
Acara malam itu berjalan penuh gemerlap. Para pengusaha, investor, dan tokoh penting hadir. Kilauan lampu kristal menyinari aula besar, musik lembut mengalun.
Begitu masuk, semua mata tertuju pada mereka. Arshen dengan wibawanya, Nayara dengan pesonanya. Bersama, mereka tampak seperti pasangan glamor yang sempurna.
"Arshen Daveraux, kau benar-benar tahu cara memilih istri," komentar salah satu rekan bisnisnya sambil tersenyum lebar. "Nyonya Daveraux, anda mempesona."
Nayara membalas dengan senyum hangat. "Terima kasih, Pak. Saya hanya berusaha menyesuaikan diri dengan dunia Arshen."
Kalimat itu membuat beberapa orang tertawa kecil, tapi Arshen justru menatap Nayara tajam. Ia tidak menyangka istrinya bisa begitu luwes berinteraksi.
Sepanjang acara, Nayara berhasil mencuri perhatian. Cara bicaranya yang cerdas, senyumnya yang tulus, dan caranya bergaul membuat banyak tamu terpesona. Arshen, yang biasanya paling dominan di ruangan, malam itu justru beberapa kali hanya diam memperhatikan.
Di akhir acara, ketika mereka kembali ke mobil, Arshen akhirnya berkomentar. "Kau... mengejutkanku."
Nayara tersenyum lelah. "Kau kira aku hanya pajangan?"
Arshen menatapnya sekilas, lalu memalingkan wajah. "Kau bukan pajangan. Tapi jangan terlalu percaya diri. Ini masih kontrak."
Nayara menoleh padanya, matanya berkilat. "Kontrak atau tidak, aku akan membuatmu melihatku lebih dari sekadar istri di atas kertas, Arshen."
Hening kembali memenuhi mobil. Namun, jauh di dalam hatinya, Arshen tahu-kata-kata Nayara tadi membuat dinding es yang selama ini ia bangun sedikit retak.
Dan Nayara tahu... retakan itu adalah celah pertama menuju kemenangannya.