Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Cinta Terlarang Di Rumah Kakak Ku
Cinta Terlarang Di Rumah Kakak Ku

Cinta Terlarang Di Rumah Kakak Ku

5.0
33 Bab
908 Penayangan
Baca Sekarang

Kinan, desainer fesyen sukses yang baru kembali dari Milan, pulang ke rumah kakaknya di Jakarta setelah lima tahun. Apa yang dimaksudkan sebagai kunjungan singkat untuk bersilaturahmi justru berubah menjadi pertemuan yang penuh ketegangan? Di rumah hangat yang dipenuhi tawa dan keceriaan Luna, putri kecil kakaknya, Kinan harus menghadapi sosok pria tampan dan maskulin yang belum pernah ia kenal secara langsung: Liam, suami Airin. Bagaimana mungkin sebuah pertemuan yang sederhana antara tante dan keponakan bisa berubah menjadi momen yang begitu mendebarkan dan... berbahaya? Ketika Kinan hampir jatuh, Liam menahannya dengan gerakan cepat dan... sebuah ciuman singkat namun membara terjadi. Apakah ini sekadar kecelakaan atau awal dari perasaan yang tak seharusnya muncul? Bagaimana mereka akan menghadapi garis tipis antara ketertarikan, godaan, dan loyalitas keluarga yang kini telah teruji?

Konten

Bab 1 sebagian karena pilihan

Kinan menarik napas dalam-dalam. Udara Jakarta, yang bercampur aroma knalpot dan bunga kamboja, terasa asing namun akrab di paru-parunya. Setelah lima tahun tenggelam dalam gemerlap dan kesibukan dunia fesyen di Milan, kembalinya ia ke sini, ke depan rumah sederhana namun asri milik kakak perempuannya, terasa seperti melangkah kembali ke masa lalu yang ia tinggalkan-sebagian karena pilihan, sebagian karena pelarian.

Kinan menyesuaikan gaun mini berwarna merah marun yang memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Belahan dada rendah dan bahan silk yang berkilauan menjeritkan label "mahal" dan "berani," ciri khas gaya hidup yang baru ia tekuni. Rambut cokelat gelapnya yang bergelombang ditata acak, dan sepasang kacamata hitam berbingkai besar menutupi separuh wajahnya, menyembunyikan kelelahan setelah penerbangan panjang dan juga ekspresi campur aduk yang ia rasakan.

Di belakangnya, taksi online yang membawanya baru saja melesat pergi, meninggalkan koper-koper mewah berlabel internasional di tepi jalan setapak berkerikil. Kinan tak peduli dengan tatapan penasaran tetangga sebelah yang sedang menyiram tanaman. Dunia selalu menatapnya, dan ia sudah terbiasa-bahkan menikmatinya.

Ia melepas kacamata hitamnya. Mata cokelatnya yang tajam menatap ke pagar kayu putih di depannya. Sebuah plakat kecil bertuliskan "Keluarga Arsyad" tergantung di gerbang. Ya, inilah rumah Airin, kakak perempuannya, satu-satunya keluarga inti yang tersisa baginya.

Tangan Kinan terangkat untuk menekan bel, namun sebelum jarinya menyentuh tombol, pintu rumah terbuka dari dalam.

"Kinan! Ya Tuhan, kamu sudah sampai!"

Airin muncul di ambang pintu, mengenakan daster rumahan motif bunga-bunga yang lusuh dan sederhana. Kontrasnya dengan Kinan bagaikan langit dan bumi. Airin tampak lebih tenang, lebih matang, dan raut wajahnya memancarkan kebahagiaan seorang istri dan ibu. Ia berlari kecil menghampiri Kinan, mengabaikan gaun Kinan yang nyaris telanjang.

"Ya ampun, Adikku sayang!" Airin langsung memeluk Kinan erat-erat. Pelukan yang hangat, tulus, dan penuh rasa rindu yang melunturkan semua kepalsuan dan ketegasan Kinan seketika.

"Hai, Kakak," Kinan membalas pelukan itu, suaranya sedikit serak. Aroma Airin adalah aroma rumah-aroma sabun cuci, bedak bayi, dan sedikit minyak kayu putih. Jauh berbeda dari aroma parfum mahal eau de toilette yang ia kenakan.

"Kenapa tidak bilang sudah sampai? Mama... maksudku, Kakak khawatir kamu kesulitan mencari alamatnya. Masuk, Sayang, masuk! Kenapa berdiri di sini?" Airin melepaskan pelukan dan menangkup wajah adiknya dengan kedua tangannya. "Astaga, kamu kurusan! Tapi... wow, kamu benar-benar seperti model dari majalah sekarang. Apa kabar, Nak?"

"Aku baik, Kak. Sangat baik," jawab Kinan, tersenyum kecil. Ia tak ingin Airin tahu bahwa di balik kesuksesannya, ia sering merasa hampa. "Aku bawa banyak hadiah untuk kalian."

Airin menyenggol Kinan dengan siku, matanya berbinar nakal. "Tidak perlu repot-repot, Nona Fesyen. Yang penting kamu pulang. Sini, biar Kakak bantu bawa koper."

Airin memanggil seseorang di dalam untuk membantu mengangkat koper Kinan yang super besar itu. Kinan melangkah masuk. Interior rumah itu didominasi warna krem dan cokelat muda, dengan dekorasi yang berkesan cozy dan didominasi foto-foto keluarga. Airin memimpinnya langsung menuju ruang keluarga.

"Ayo, duduklah dulu. Istirahat. Kamu pasti capek sekali, kan?" kata Airin sambil menunjuk sofa kulit berwarna gading.

Saat Kinan mengikuti langkah kakaknya, matanya langsung menangkap sesosok tubuh mungil yang asyik bermain di atas karpet beludru abu-abu. Seorang anak perempuan dengan rambut ikal sebahu dan wajah bulat sedang sibuk menyusun balok-balok kayu warna-warni.

"Itu dia, Luna," bisik Airin, senyumnya melunak penuh kasih sayang. "Putri kesayangan Kakak, empat tahun, dan sangat cerewet."

Kinan berjongkok perlahan di samping sofa, menyingkirkan tas tangan bermereknya. Luna, yang mengenakan gaun tutu merah muda kusam, mendongak. Mata bulatnya yang besar, hitam, dan jernih menatap Kinan dengan rasa ingin tahu murni seorang anak kecil.

"Hai, Cantik," sapa Kinan dengan suara paling lembut yang bisa ia kumpulkan. Ia jarang berinteraksi dengan anak kecil; dunianya penuh dengan orang dewasa yang ambisius. "Nama Tante Kinan. Siapa namamu?"

Luna tersenyum malu-malu, memperlihatkan gigi depannya yang berjarak. "Luna."

"Luna. Nama yang cantik. Kamu sedang buat apa?"

"Istana!" jawab Luna, penuh semangat.

"Wah, istana? Hebat sekali. Boleh Tante duduk di sini dan melihatmu membuat istana?"

Luna mengangguk antusias. Kinan tersenyum lagi. Senyum yang terasa lebih nyata dan tidak dibuat-buat untuk kamera atau kontrak iklan.

"Syukurlah kamu langsung akrab dengannya," sela Airin lega. Ia menepuk bahu Kinan lembut. "Kinan, kamu pasti haus dan lapar. Kakak akan ke dapur sebentar, buatkan kamu es lemon dan makanan ringan. Tolong jaga Luna sebentar, ya? Jangan biarkan dia dekat stop kontak."

"Siap, Kapten!" Kinan memberi hormat setengah hati, tetapi matanya terpaku pada Luna. "Pergilah, Kak. Aku akan menjaganya. Aku sudah sangat rindu dengan masakannmu."

Airin tersenyum lebar, kelegaan terpancar dari matanya. Ia bergegas menuju dapur, yang terletak di ujung lorong sebelah ruang makan.

Kinan kembali mencondongkan tubuh ke arah Luna. "Baiklah, Putri Luna. Ayo kita lihat seberapa tinggi istana ini bisa kita bangun."

Baru saja Kinan hendak membantu menyusun balok, sebuah bayangan tinggi tiba-tiba jatuh di atas karpet.

Sebuah suara berat, dalam, dan hangat terdengar di belakang Kinan, memanggil Luna. "Princess Ayah, sudah jamnya minum susu. Sudah lelah main baloknya, Sayang?"

Kinan terkesiap. Suara itu begitu dekat, begitu maskulin, dan ia benar-benar tidak menyadari ada orang lain di rumah ini selain Airin dan Luna.

Ia berbalik, perlahan, dan pandangannya langsung bertabrakan dengan sosok yang berdiri menjulang di belakangnya.

Waktu seolah melambat.

Pria itu.

Ia mengenakan kaus polo abu-abu gelap dan celana jeans yang pas di tubuh, pakaian yang sangat kasual namun entah mengapa tampak seperti dirancang khusus untuk dirinya. Perawakannya atletis, bahunya lebar, dan tinggi badannya pasti jauh di atas rata-rata orang Indonesia. Wajahnya adalah perpaduan pahatan sempurna. Garis rahang tegas, hidung mancung, dan sepasang mata cokelat keemasan yang kini menatap Kinan dengan ekspresi terkejut yang tertahan. Bibirnya tipis, yang kini sedikit terangkat karena terkejut.

Kinannya menebak, Pasti ini Liam, suami Kakak. Airin tidak pernah mengatakan suaminya setampan ini. Kinan sudah melihat foto Liam di media sosial, tetapi foto-foto itu tidak adil-tidak menangkap aura dan intensitas yang kini terpancar darinya secara langsung. Kinan mendadak merasa panas, dan gaun merah marunnya terasa semakin ketat.

"Ayah!" Luna berteriak riang, melupakan istananya, dan merangkak ke arah pria itu.

Liam membungkuk, dengan gerakan anggun, menggendong Luna. Ia menatap Kinan sekali lagi, kali ini dengan senyum yang lebih ramah dan hangat-namun di bawahnya, ada percikan ketertarikan yang tidak salah lagi.

"Halo. Maaf, saya tidak tahu sudah ada tamu. Anda pasti Kinan, adik ipar Airin," katanya, suaranya yang dalam menggema sedikit di ruang keluarga. Ia mengulurkan tangan kanannya ke Kinan, sambil menopang Luna di pinggul kirinya.

Kinan bangkit berdiri, menyibak rambutnya ke belakang telinga, sebuah gerakan sadar yang dirancang untuk menarik perhatian pada garis lehernya. Ia membalas jabat tangan Liam. Tangan Liam besar, hangat, dan sangat kuat. Sentuhan mereka menciptakan sengatan listrik yang singkat namun jelas di udara.

"Ya, saya Kinan," Kinan menjawab, suaranya kini kembali ke nada yang lebih menggoda dan percaya diri yang ia gunakan di depan kamera. Ia membiarkan kontak mata mereka berlangsung sedikit lebih lama dari seharusnya. "Dan Anda pasti Liam. Kakak tidak pernah bilang suaminya setampan ini. Atau mungkin Kakak sengaja menyembunyikan Anda."

Kinan tahu apa yang ia lakukan. Ia memancarkan pesona, rayuan, dan godaan yang telah ia asah selama bertahun-tahun di panggung dunia. Matanya tersenyum, tetapi bibirnya memancarkan janji yang lebih gelap.

Liam tertawa pelan. Tawa yang membuat Kinan merasa sedikit lemah lutut.

"Airin suka menjaga kejutan, saya rasa," jawab Liam. Matanya menelusuri Kinan dari atas ke bawah, lama, tanpa malu-malu, sebelum kembali menatap mata Kinan. Kinan melihat bayangan dirinya-gaun merah, sepatu hak tinggi, tatapan menggoda-terpantul di mata honey-gold Liam. Ia tertarik. Kinan bisa merasakannya, dan itu memuaskannya.

"Selamat datang kembali. Saya harap penerbangan Anda nyaman, Kinan," tambah Liam, tetapi suaranya terdengar sedikit serak, dan ia berdeham cepat.

Kinan melepaskan jabat tangan itu, yang terasa dingin dan kosong tanpa sentuhan Liam. "Terima kasih, Liam. Cukup nyaman. Saya tidak sabar untuk mengejutkan Kakak lagi. Saya harus melihatnya di dapur sekarang. Saya mau ambil tas, tapi... tunggu, di mana tas saya?"

Kinan menoleh cepat-cepat, mencari tasnya yang ia lempar ke sofa, dan langkahnya terhenti. Ia melihat tasnya ada di atas meja kayu kecil di sebelah sofa. Ia harus memutar sedikit untuk mengambilnya.

Ia mengambil langkah pertama, namun karena terlalu fokus pada tasnya, dan mungkin sedikit terganggu oleh kehadiran Liam, Kinan menginjak karpet yang sedikit terlipat.

Seketika, ia kehilangan keseimbangan.

Kinan menjerit kecil, suaranya berubah menjadi tarikan napas tertahan saat sepatu hak tingginya terpelintir. Ia oleng. Dalam detik-detik mengerikan itu, ia hanya bisa membayangkan dirinya jatuh ke lantai dengan tidak anggun, mempermalukan dirinya di depan pria tampan ini.

Namun, sebelum ia sempat mencium dinginnya lantai, dua lengan yang sangat kuat melingkari pinggangnya.

Liam bergerak secepat kilat.

Ia melepaskan Luna-yang untungnya segera berlari menjauh, terbiasa dengan drama kecil-dan melompat maju, menangkap tubuh Kinan yang sedang jatuh.

Mereka bertabrakan.

Kinan merasakan panas tubuh Liam menembus bahan tipis gaunnya. Kedua tangan Liam mencengkeram Kinan di pinggang dan punggung, menahan tubuhnya. Kinan secara naluriah melingkarkan lengannya di leher Liam untuk menjaga keseimbangan.

Untuk sesaat, mereka berdiam dalam posisi yang sangat intim. Kinan berlutut sedikit, tubuhnya miring, sepenuhnya bersandar pada Liam.

Wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.

Kinan bisa melihat setiap detail kecil di wajah Liam: sedikit bayangan janggut yang baru tumbuh, bintik kecil kecokelatan di dekat sudut mata kanannya, dan napasnya yang hangat menerpa bibir Kinan. Aroma aftershave yang maskulin bercampur dengan aroma keringat yang sehat memabukkan indranya.

Detak jantung Kinan berpacu liar. Ia tidak tahu apakah itu karena syok karena hampir jatuh atau karena kedekatan yang berbahaya ini.

Mata Kinan bertemu mata Liam. Tatapan mereka terkunci, intens, mendalam, dan kini tanpa kepura-puraan. Semua pesona dan godaan Kinan telah runtuh, digantikan oleh kerentanan murni. Di mata Liam, Kinan melihat sesuatu yang gelap dan berapi-api, bukan lagi ketertarikan yang sopan, melainkan hasrat yang membara dan dilarang.

Liam menahan napas. Ia tidak bergerak. Ia tidak melepaskan Kinan.

Wajah mereka semakin berdekatan.

Kinan tidak bisa bernapas. Ia tidak bisa bergerak. Ia tidak bisa berpikir. Semua kehati-hatian, semua batas, semua rasa hormat pada kakaknya, menguap dalam asap tebal gairah yang tiba-tiba.

Liam memiringkan kepalanya sedikit.

Dan kemudian, dengan gerakan yang cepat, percaya diri, dan mendominasi, Liam menempelkan bibirnya ke bibir Kinan.

Ciuman itu lembut pada awalnya, hanya sentuhan, seperti pertanyaan. Tapi itu segera menjadi lebih dalam dan lebih mendesak, saat bibir Liam menuntut Kinan. Kinan, tanpa berpikir, tanpa perlawanan, membalas ciuman itu dengan intensitas yang sama. Rasa mint dingin dan maskulin dari napas Liam memenuhi mulutnya.

Ini bukan ciuman yang sopan. Ini adalah ciuman rahasia, ciuman gairah yang dilarang, sebuah pengakuan tanpa kata bahwa apa yang terjadi di antara mereka dalam waktu kurang dari lima menit ini adalah nyata, berbahaya, dan tidak dapat ditarik kembali.

Ciuman itu berlangsung hanya selama beberapa detik, tetapi terasa seperti satu jam, atau seumur hidup.

Tiba-tiba, Liam menarik diri, terengah-engah, matanya gelap karena hasrat yang kini tercermin di mata Kinan. Ia masih memegang Kinan, menahan tubuhnya yang lemah.

"Kinan..." Suara Liam adalah bisikan serak, sebuah peringatan.

Kinan hanya bisa menatapnya. Bibirnya perih, jantungnya berdenyut.

Dan kemudian, sebuah suara terdengar dari ambang pintu dapur, mengakhiri momen berbahaya itu.

"Kinan? Liam? Kenapa kalian diam di situ? Kinan, ini, Kakak buatkan es lemon yang paling enak!"

Airin berjalan mendekat, ceria, tak menyadari apa pun.

Liam tersentak. Ia dengan cepat melepaskan Kinan, menarik tangannya seolah-olah kulit Kinan membakar. Kinan berdiri tegak dengan terhuyung, mengatupkan bibirnya yang basah.

"Oh, ini! Kami... eh, Kinan hampir jatuh, Sayang. Untung aku di sini," kata Liam, berhasil mengendalikan suaranya, tampak tenang, seolah tidak ada yang terjadi. Ia mengambil langkah mundur, menjauhkan dirinya dari Kinan.

Airin terkesiap. "Ya Tuhan, Kinan! Kamu tidak apa-apa? Kamu pakai sepatu hak setinggi itu di rumahku! Kakak sudah bilang hati-hati!"

Kinan tersenyum paksa, jantungnya masih berdebar kencang. Ia mengusap bibirnya dengan ibu jari, merasakan bekas bibir Liam yang masih hangat.

"Aku baik-baik saja, Kak," kata Kinan, suaranya sedikit bergetar. Ia menatap Liam, yang kini menghindari tatapannya, berpura-pura sibuk memeluk Luna yang baru datang kembali.

Namun, di antara keramaian itu, Kinan dan Liam tahu. Sebuah garis telah terlampaui. Kinan tahu kunjungannya ke Jakarta tidak akan pernah sama lagi.

Anda dapat melanjutkan bab ini hingga 3.000 kata dengan menambahkan hal-hal berikut:

Monolog Batin Kinan: Pergulatan batin Kinan tentang mengapa ia membiarkan ciuman itu terjadi, perasaannya terhadap Liam, dan rasa bersalahnya pada Airin.

Deskripsi Eksterior dan Interior: Deskripsi detail tentang kamar Kinan, dapur Airin, dan suasana lingkungan.

Dialog Airin dan Kinan yang Lebih Panjang: Mengenai kehidupan Kinan di Milan, masa lalu mereka, dan topik safe lainnya, sementara ketegangan antara Kinan dan Liam tetap terasa.

Monolog Batin Liam: Bagaimana ia menahan hasratnya, mengapa ia mencium Kinan, dan bagaimana ia akan menghadapi kehadiran Kinan selanjutnya.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY