Aku menahan sakit melihatnya terang-terangan menggoda Clara dan selfie mesra mereka yang menyakitkan.
Dia menertawakan penderitaanku, dan lebih memprioritaskan keadaan darurat palsu Clara.
Setelah kecelakaan yang ia sebabkan, dia meninggalkanku yang terluka, dan lebih memilih mengirim Clara ke rumah sakit duluan.
Dia bahkan mencoba memutus bantuannya secara finansial.
Bagaimana bisa tunanganku menjadi monster sedingin dan selicik ini?
Pengkhianatannya meracuni setiap kenangan kami.
Aku merasa seperti orang bodoh karena telah memercayai kekejaman tanpa batas itu.
Kelancangannya membuatku limbung.
Tapi aku tidak akan menjadi korbannya.
Bukannya hancur, sebuah rencana dingin mulai terbentuk.
Aku akan membuang identitasku, menjadi Kirana Adelia.
Aku akan menghilang, meninggalkan dia, masa laluku, dan cincin pertunangan kami selamanya, demi merebut kembali kebebasanku.
Bab 1
Alya Maheswari mengambil tiara mungil bertabur mutiara itu.
Seharusnya ini menjadi "sesuatu yang baru" untuknya.
Pernikahannya dengan Bima Aditama hanya tinggal tiga minggu lagi. Tujuh tahun. Mereka telah bersama selama tujuh tahun yang panjang dan bahagia.
Atau begitulah yang selama ini ia kira.
Sekarang, Bima tidak mengingatnya.
Tidak wajahnya, tidak namanya, tidak satu hari pun dari tujuh tahun itu.
Dokter menyebutnya amnesia selektif. Akibat benturan kecil di kepala saat acara bodoh 'lari lumpur amal' yang Bima paksakan untuk kami ikuti. Dia ingat orang tuanya, bisnisnya, bahkan anjingnya, si Bleki.
Hanya Alya yang tidak.
"Maafkan aku," katanya, matanya yang biasanya hangat dan penuh cinta untukku, kini hanya berisi kebingungan yang sopan. "Kamu kelihatannya orang baik, tapi aku... aku benar-benar tidak mengenalmu."
Alya meletakkan tiara itu. Tangannya gemetar.
Dia harus membuat Bima ingat. Seluruh hidup mereka ada di dalam kardus-kardus berlabel "Masa Depan Bima & Alya."
Berhari-hari ia mengubah apartemen mereka menjadi museum cinta mereka.
Album foto ditumpuk di meja kopi. Favorit Bima, perjalanan mereka ke Anyer, dibuka di halaman tempat Bima pura-pura melamarnya dengan cangkang kerang.
Alya memutar lagu mereka, sebuah lagu indie lembut dari sebuah gigs yang mereka datangi di tahun pertama mereka.
Bima hanya tersenyum sopan. "Lagunya asyik."
Sahabatnya, Maya Lestari, seorang asisten hukum dengan detektor kebohongan yang lebih tajam dari pengacara mana pun, tidak percaya begitu saja.
"Alya, sayang, ini... aneh sekali," kata Maya sambil mengaduk es kopinya, matanya menyipit. "Kehilangan ingatan hanya tentang tunangannya beberapa minggu sebelum pernikahan? Ini apa, sinetron?"
"Dia cedera kepala, Maya."
"Cedera kepala 'ringan'," koreksi Maya. "Dengar, aku hanya ingin kamu berhati-hati."
Alya menepisnya. Dia harus percaya. Dia mencari ahli saraf, bergabung dengan forum online untuk pasangan pasien amnesia. Dia akan memperbaiki ini. Dia harus.
Dia berada di ruang kerja Bima, mencari sobekan tiket konser lama. Dr. Matthews bilang benda-benda yang familier bisa menjadi pemicu.
Ruang kerja itu berantakan, kekacauan yang terorganisir khas Bima.
Laptopnya terbuka, panggilan video masih aktif tapi diminimalkan. Dia mendengar suara-suara.
Suara Bima. Tertawa.
"...ide jenius banget, sumpah. Ide terbaik yang pernah aku punya."
Alya membeku.
Suara lain, salah satu teman geng kuliahnya, Rian, terbahak. "Jadi, amnesia bohongan ini beneran berhasil? Dia percaya?"
"Dia percaya mentah-mentah," Bima menyombong. Alya bisa mendengar seringai dalam suaranya. "Sebulan lagi kebebasan, kawan-kawan. Clara Vania, selebgram yang kuceritakan itu? Dia jelas mau diajak senang-senang. Semacam tiket bebas sebelum aku menikah."
Napas Alya tercekat. Clara Vania? Selebgram dengan jutaan pengikut dan pakaian super minim itu?
"Terus gimana?" tanya teman lainnya, Doni. "Ingatanmu tiba-tiba kembali begitu saja?"
"Tepat sekali!" Tawa Bima keras, tanpa beban. "Tepat sebelum pernikahan. Dia pasti akan sangat lega, sangat bersyukur aku 'ingat' dia lagi. Memaafkan dan melupakan semua... kebingungan selama aku 'sakit'. Alya selalu memaafkanku. Dia itu tipe istri idaman."
Sobekan tiket konser terlepas dari jari-jari Alya. Melayang jatuh ke lantai.
Dunia seakan jungkir balik.
Wajah ayahnya yang tersenyum, lalu alasan-alasannya yang dibuat-buat. Air mata ibunya. Pintu yang dibanting. Kata 'cerai' menggantung di udara seperti racun.
Ini terulang lagi. Pengkhianatan yang sama memuakkannya.
Kepercayaan tidak hanya retak; ia menguap.
Alya mundur dari ruang kerja itu, tanpa suara. Jantungnya berdebar kencang menyakiti rusuknya.
Bima pikir Alya akan memaafkannya. Dia mengandalkan itu.
Alya berjalan ke kamar tidur mereka, kamar yang seharusnya mereka bagi sebagai suami dan istri.
Dia menatap gaun pengantin yang tergantung di balik pintu, bersih dan putih.
Sebuah kebohongan. Semuanya bohong.
Dia tidak akan menikahinya. Dia tidak bisa.
Tapi dia tidak bisa membiarkan Bima tahu bahwa dia tahu. Belum.
Sebuah benih rencana yang dingin mulai tumbuh di dalam hatinya yang telah hancur lebur.
Dia akan bermain sandiwara. Untuk saat ini.