Dia sudah memberikan kursi jet pribadiku yang kubayar kepada wanita itu. Tiket baruku? Penerbangan komersial dengan transit di zona perang. "Dahlia itu rapuh," jelasnya. "Kamu kan kuat."
Keluarganya setuju, memuja-muja Dahlia sementara aku berdiri di sana, tak terlihat. Adik iparku bahkan berbisik pada Dahlia, "Aku harap kamu kakak iparku yang sebenarnya."
Malam itu, aku menemukan Dahlia di tempat tidurku, mengenakan gaun tidur sutra milikku. Saat aku menyerangnya, suamiku merentangkan tangan melindungi Dahlia dariku.
Keesokan paginya, sebagai hukuman atas "perilakuku", dia memerintahkanku untuk memasukkan tumpukan koper mereka ke dalam iring-iringan mobil. Aku tersenyum. "Tentu saja." Lalu aku masuk ke ruang kerjaku dan menelepon. "Ya, saya punya sejumlah besar bahan terkontaminasi," kataku pada layanan pembuangan limbah berbahaya. "Saya mau semuanya dibakar habis."
Bab 1
Suamiku, Kapten Bayu Hartono, mendapatkan cuti langka selama dua minggu, sebuah jeda singkat dalam karier militernya yang padat. Aku memutuskan kami butuh liburan keluarga yang sesungguhnya. Bukan hanya liburan akhir pekan, tapi sesuatu yang tak terlupakan.
Aku merencanakan semuanya.
Aku Dr. Kirana Adiwijaya, seorang ahli bedah saraf yang penghasilan bulanannya mencapai lima miliar Rupiah. Gaji suamiku lima puluh juta. Perhitungannya sederhana. Akulah yang membuat hidup kami menjadi mungkin.
Aku menghabiskan waktu berminggu-minggu mengatur detailnya. Jet pribadi ke Monako, kapal pesiar sewaan untuk mengarungi Mediterania, reservasi di restoran dengan daftar tunggu bertahun-tahun. Jenis perjalanan yang dirasa pantas didapatkan oleh keluarga Hartono tetapi tidak akan pernah bisa mereka bayar.
Monako adalah benteng orang kaya lama yang penuh curiga terhadap orang luar. Mendapatkan izin yang tepat untuk rombongan kami adalah mimpi buruk birokrasi yang aku tangani sendiri.
Keluarga suamiku tidak membantu sama sekali. Mereka hanya berharap semuanya terjadi begitu saja.
Orang tuanya, Jenderal (Purn.) Budi Hartono dan istrinya, Ratna, tinggal di sayap tamu rumah mewahku di Pondok Indah. Aku menanggung hidup mereka sepenuhnya.
Adiknya, Karin, adalah seorang mahasiswi berusia sembilan belas tahun di sebuah universitas ternama di Jakarta. Aku yang membayar biaya kuliahnya yang selangit dan mendanai gaya hidupnya yang mewah sejak dia remaja. Aku praktis membesarkannya.
Aku berkata pada diriku sendiri ini semua sepadan. Bahwa inilah harga untuk kehidupan keluarga yang bahagia dan ramai yang selalu aku inginkan. Praktikku berkembang pesat, dengan klien terbang dari seluruh dunia untuk menemuiku. Aku mampu membiayainya.
Lalu, beberapa hari yang lalu, Karin melontarkan komentar santai. "Aku belum pernah naik iring-iringan mobil lapis baja yang benar-benar mewah. Kata Dahlia, itu keren banget."
Dahlia. Nama itu adalah hantu dari masa lalu Bayu.
Untuk memastikan keamanan dan kenyamanan mutlak mereka-dan untuk memuaskan keinginan kekanak-kanakan Karin-aku telah menggunakan tabungan pribadiku. Aku meningkatkan seluruh paket perjalanan, mengatur iring-iringan mobil lapis baja dengan beberapa kendaraan untuk semua transportasi darat kami di Eropa. Biaya lebih dari satu setengah miliar Rupiah yang bahkan tidak aku sebutkan pada Bayu.
Kami seharusnya berangkat besok pagi. Semua tas sudah dikemas, berjejer di lobi utama yang megah. Tasku. Tas Bayu. Tas orang tuanya. Tas Karin.
Lalu, suamiku masuk.
"Kirana, kabar baik. Dahlia ikut dengan kita."
Aku menghentikan apa yang sedang kulakukan. Aku menatapnya, mencoba memproses cara santainya menjatuhkan bom itu.
"Apa?"
"Dahlia Lestari. Dia ikut liburan. Aku sudah bilang iya padanya."
Perasaan dingin mulai merayap di perutku. Jet pribadi itu hanya memiliki jumlah kursi tertentu. Aku sudah memesannya untuk kami berlima.
"Bayu, tidak ada cukup tempat di jet."
Dia bahkan tidak menatapku. Dia sedang menggulir ponselnya.
"Aku tahu. Aku sudah mengurusnya."
Sebuah notifikasi berbunyi di ponselku. Itu adalah jadwal penerbangan.
Penerbangan komersial.
Untuk satu penumpang. Aku.
Rutenya memiliki tiga kali transit. Yang terakhir adalah di sebuah kota yang saat ini berada di bawah peringatan "Jangan Bepergian" Waspada IV dari Kementerian Luar Negeri karena kerusuhan sipil dan kejahatan dengan kekerasan.
Aku melihat jadwal penerbangan itu, lalu kembali menatap suamiku.
"Kamu membatalkan kursiku di jet pribadi yang aku bayar?"
Dia akhirnya mengangkat kepala dari ponselnya, ekspresinya tidak sabar.
"Dahlia ingin ikut. Kita tidak bisa begitu saja menolaknya. Dia sudah seperti keluarga."
Perasaan jijik yang buas melingkar di dalam diriku. Rasanya panas dan tajam.
"Dia bukan keluarga, Bayu. Aku istrimu. Kamu mau aku terbang komersial, sendirian, melewati zona perang, agar mantan pacarmu bisa mengambil tempatku di jet yang aku sewa?"
Aku menoleh ke ibu mertuaku, Ratna, yang mendengarkan dengan senyum kecil yang angkuh.
"Bu Ratna, waktu ibuku sendiri mau berkunjung Natal lalu, Ibu dan Bayu bilang itu 'waktu keluarga' dan tidak ada tempat untuknya di rumah dengan sepuluh kamar tidur ini. Tapi ada tempat untuk Dahlia di liburan keluarga kita?"