/0/2959/coverbig.jpg?v=1c59628c58ddb43b95a08cca56ae5549)
Orang ketiga bisa hadir darimana saja tak terkecuali dari orang yang kita pekerjakan di rumah kita sendiri.
Orang ketiga bisa hadir darimana saja tak terkecuali dari orang yang kita pekerjakan di rumah kita sendiri.
"Bu, hari ini Ibu libur kerja kan? Kalau Ibu libur, rencananya saya mau ke salon sebentar. Boleh kan, Bu?"
Yuni, Asisten Rumah Tangga sekaligus pengasuh Silla, anak perempuan semata wayang kami bertanya saat aku sedang konsentrasi mengupas kentang dan wortel yang rencananya akan dimasak bersama ayam yang sudah dipotong kecil-kecil untuk diolah menjadi sup ayam, kesukaan Silla dan Mas Arman, suamiku.
Di hari Sabtu dan Minggu seperti ini yang merupakan hari libur kerja, aku memang biasanya terjun sendiri ke dapur untuk menyiapkan makanan buat Silla dan Mas Arman yang sekali-kali kadang ingin juga mencicipi masakan istri dan ibunya ini.
Jadilah, pagi ini selepas salat subuh aku bergerak menuju dapur dan berkutat dengan alat dapur sementara Yuni kusuruh bersih-bersih rumah.
Namun, belum selesai ia membersihkan bagian dapur di mana aku sedang beraktivitas saat ini, Yuni sudah minta diizinkan keluar.
"Kamu mau ngapain ke salon? Potong rambut?" tanyaku sembari menoleh padanya.
Kulihat rambut ART-ku itu memang sudah panjang hingga melewati batas bahu. Mungkin itu membuatnya gerah saat melakukan pekerjaan rumah yang menjadi tanggung jawabnya dan membuatnya ingin segera memotong rambut.
Namun, di luar dugaan, gadis itu justru menggelengkan kepalanya.
"Bukan, Bu. Mau perawatan aja. Facial, creambath sama luluran. Mungkin agak lama makanya Yuni izin dulu," ucapnya sembari melempar pandangan ke samping seolah ingin menghindari kontak mata denganku.
Facial? Luluran? Ups, apa mungkin aku saja yang kurang suka pergi ke salon karena berpikir semua itu bisa dilakukan di rumah seperti yang selama ini kulakukan?
Ya. Aku memang lebih suka melakukan treatment sendiri di rumah. Setelah membeli produk kecantikan dan skin care yang diperlukan maka aku akan melakukan perawatan sendiri di kamar ketimbang jauh-jauh pergi ke salon. Lebih efisien soal waktu dan biayanya menurutku. Lumayan bisa menghemat uang juga karena tak perlu membayar jasa si mbak salon. Bukan hanya luluran, facial dan creambath pun semuanya dilakukan sendiri di waktu-waktu senggang, seperti hari libur begini.
Namun, mungkin diriku beda dengan Yuni yang sepertinya rela menguras uang gajinya demi bisa perawatan di salon.
Kulihat pakaian gadis berusia dua puluh dua tahun itu sudah rapi. Kaos ketat dipadu dengan rok pendek selutut membalut tubuhnya yang tinggi, langsing dan semampai, membuat penampilan ART-ku itu terlihat cantik dan seksi. Wajahnya yang lumayan manis juga dipoles make up tipis. Siap pergi.
"Izinin aja Ma. Yuni kan juga butuh refreshing. Capek di rumah terus jagain Silla dan beres-beres rumah. Sekali-kali mungkin pengen keluar," celetuk Mas Arman tiba-tiba dari balik sekat ruang tengah menuju dapur.
Senada dengan Yuni, penampilan Mas Arman pun terlihat rapi. Kaos brand ternama dipadu Jeans dari merek terkenal melekat di tubuhnya. Membuat penampilan lelaki berusia tiga puluh dua tahun itu terlihat modis dan enerjik. Mas Arman memang tampan. Tak salah jika banyak wanita menyukainya meski sudah beristri.
Mendengar celetukan suamiku yang kelihatannya memaklumi keinginan Yuni, aku pun hanya mengangkat bahu dengan pasrah. Ya mungkin sekali-kali gadis itu juga perlu waktu untuk refreshing dari penatnya mengerjakan pekerjaan rumah.
Tak mengapa sekali-sekali kuizinkan gadis itu keluar asal tidak berlama-lama karena aku juga perlu istirahat siang nanti setelah lima hari capek berkutat dengan pekerjaan di kantor. Hari ini harusnya bisa istirahat setelah capek mengolah masakan di dapur, tetapi tak bisa karena Yuni hendak pergi.
"Ya sudah. Pergi aja, Yun. Tapi jangan lama-lama ya, kalau bisa jam 2 udah di rumah. Minta mbaknya jangan lama-lama ngelulurnya biar siang udah bisa pulang. Oke?" sahutku sembari memasukkan potongan kentang dan wortel ke dalam panci, siap untuk direbus bersama potongan daging ayam yang sudah lebih dulu direbus di atas kompor.
"Baik, Bu. Kalau gitu Yuni berangkat dulu ya, Bu. Permisi...." Yuni menyampirkan sling bag di pundaknya lalu berjalan keluar rumah dengan langkah pelan setelah melempar pandang sekilas pada Mas Arman. Entah apa maksudnya, tapi aku hanya menganggap itu ungkapan minta diri.
Sepeninggal Yuni, Mas Arman beranjak menuju kamar dan kembali lagi dengan penampilan rapi dan tubuh tercium bau wangi parfum yang khas, membuatku bertanya-tanya di dalam hati. Mas Arman mau kemana kok jadi ikut-ikutan mau pergi, bukannya memilih me time di rumah mengingat waktu kami berkumpul hanya bisa dilakukan pada saat hari libur kerja seperti ini?
Belum sempat bertanya, Mas Arman sudah duluan membuka mulutnya.
"Mas, juga mau keluar sebentar ya, Nis? Mau cari angin dulu di stadion. Silla juga lagi nonton teve. Jadi kamu bisa nerusin masak tanpa terganggu sama dia. Oke?" ucapnya dengan nada tenang seolah-olah tak tahu perasaanku yang mendadak bertanya-tanya sendiri kenapa saat Yuni baru saja pergi, Mas Arman juga minta izin keluar rumah? Ada apa ini?
Melihat Mas Arman meraih kunci mobil, aku hanya diam sembari menepis prasangka yang menyelusup dalam benak.
Ah, apa mungkin kepergian Mas Arman ada kaitannya dengan kepergian Yuni? Tapi tidak mungkin! Terlalu rendah dan tak dewasa rasanya jika menuduh Mas Arman berbuat yang tidak-tidak dengan pembantu itu. Terlalu paranoid rasanya.
"Ya, sudah. Pergi saja tapi jangan lama-lama ya, Mas. Soalnya aku mau istirahat siang, capek dan ngantuk. Jadi nanti gantian ya awasi Silla," ujarku yang disambut Mas Arman dengan anggukan kepala tanda setuju.
Usai mendapat persetujuan dariku, bergegas lelaki yang sudah mendampingi hidupku selama tujuh tahun itu melenggang menuju garasi dan mengeluarkan mobil sport kesayangannya menuju halaman rumah. Sesaat kemudian deru halus mesin mobil yang dikendarainya meninggalkan rumah menuju jalan raya di depan sana.
***
Jarum jam sudah hampir menunjukkan pukul dua siang, tetapi tanda-tanda Yuni atau pun Mas Arman kembali belum juga kelihatan.
Berkali-kali kuintip halaman dari gorden jendela yang kusibakkan, berharap mobil Mas Arman sudah kembali, tetapi nihil. Hingga lelah kepala ini berkali-kali mengintip ke luar, mobil suamiku belum juga kembali.
Kututup mulut yang sedari tadi menguap menahan kantuk. Hari libur begini selain berkutat di dapur, memasak untuk anak dan suami, siang hari biasanya kugunakan untuk tidur sekedar melepas penat dan letih setelah lima hari bekerja di luar rumah.
Namun, karena Yuni dan Mas Arman yang tadinya kuandalkan untuk bisa bergantian menjaga Silla yang baru saja bangun dari tidur siang, tak juga kembali dari luar, jadilah aku hanya bisa berbaring sembari menemani putri tunggalku itu menonton televisi.
Beberapa saat berlalu tanda-tanda Yuni ataupun Mas Arman pulang tak juga kelihatan. Penasaran kuambil ponsel dan menelpon suamiku. Tersambung tapi tak diangkat.
Akhirnya kukirim pesan wa menanyakan keberadaannya sekaligus meminta ia segera pulang ke rumah, tetapi pesan dariku tak dibaca. Wa nya pun terlihat terakhir aktif pada jam ia berangkat pagi tadi. Ah, kemana gerangan Mas Arman selama itu tidak online? Sudah hampir empat jam sejak ia pergi, ia tak menyentuh ponselnya. Hatiku kembali diganggu prasangka mendapati kenyataan itu.
Penasaran, kuhubungi pula nomor telepon Yuni. ART itu memang kufasilitasi sebuah telepon genggam agar saat aku di kantor, masih bisa berhubungan dengannya untuk menanyakan dan memantau keadaaan Silla, tetapi anehnya nomor telepon Yuni malah dalam keadaan mati. Wa nya pun terakhir aktif beberapa jam yang lalu. Berkali-kali dihubungi berkali-kali pula operator provider menyampaikan informasi bahwa nomor telepon yang dihubungi sedang tak bisa menerima panggilan.
Ah, ada apa sebenarnya ini? Kenapa nomor wa Mas Arman tidak aktif dan nomor telepon Yuni juga tidak bisa dihubungi? Ada apa dibalik semua ini? Tak urung seribu pertanyaan berkecamuk di benak ini.
***
"Assalamualaikum."
Suara salam dari luar menyadarkan aku yang sedang berbaring dengan seribu kecamuk di depan televisi.
Buru-buru aku melangkah menuju pintu dan membukanya dengan tak sabar. Di depan teras kulihat Yuni sedang berdiri menunggu pintu dibuka dengan rambut terlihat basah dan kedua tangannya mencengkram erat Sling bag yang melingkar di dadanya.
Gadis itu menatapku dengan pandangan datar seolah tak merasa bersalah meski sudah mangkir dua jam dari waktu semula yang kuberikan padanya. Benar-benar membuatku hilang kesabaran dibuatnya.
"Kok baru pulang, Yun? Kemana aja dari tadi?" tanyaku tak mampu menahan rasa jengkel dan emosi karena gadis itu terang-terangan melawan perintahku untuk segera pulang setelah selesai dari salon.
"Maaf, Bu. Tadi banyak yang antri di salon, jadi kelamaan," ucapnya sembari ngeloyor masuk tanpa menghiraukan kejengkelanku.
"Kalau sudah tahu rame, kenapa nggak pindah salon aja sih, Yun? Ditungguin sampai sepi kan lama jadinya. Lagipula kamu perawatan apa aja kok nggak ada bau lulur?" tanyaku sembari mengendus aroma tubuh Yuni yang tak mengeluarkan bau lulur melainkan aroma parfum biasa. Wangi tapi beda dengan bau harum lulur biasanya.
"Ng-tadi memang nggak luluran, Bu. Kan sudah Yuni bilang antri jadi batal luluran. Cuma facial sama creambath aja bisanya," ucap gadis itu lagi sembari menjauhkan tubuhnya dari jangkauan penciumanku.
Mendengar perkataanya kembali kuteliti raut wajah Yuni. Kelihatannya make up yang dipakai gadis itu seperti baru dipulaskan di wajahnya. Bedak dan lipstik yang digunakan kelihatan baru dipoles. Apa gadis ini memolesnya setelah facial? Ah, bisa jadi. Tapi tunggu dulu, dia bilang baru saja creambath, betulkah? Wangi yang menguar dari rambut gadis itu bukan seperti wangi krim atau pun masker rambut. Tapi wangi shampoo dan conditioner biasa. Lalu apa maksudnya dengan mengatakan dia habis ke salon? Hanya untuk mengelabuiku sematakah?
Tapi kalau tidak ke salon, kemana gadis itu selama lima jam kepergiannya?
Sedang aku menatap dengan pandangan tak percaya pada Yuni, pintu depan diketuk dari luar. Mas Arman membuka pintu sendiri dan masuk dengan wajah terlihat cerah dan segar seperti orang yang baru saja habis mandi.
Pikiran buruk pun serta merta tanpa mampu dicegah menyeruak ke dalam hati.
Ah, sebenarnya Mas Arman dan Yuni kemana sih? Pergi barengan, meskipun tidak satu kendaraan dan pulang pun berbarengan? Benarkah mereka tidak ada apa-apa di luar sana dan hanya kebetulan saja pergi dan pulang berbarengan?
Ya Tuhan, salahkan jika aku menaruh curiga pada suami dan pembantuku ini?
Saat aku menikah lagi, Andin, istriku yang semula polos dan penurut tiba-tiba berubah acuh tak acuh dan tidak lagi peduli.
Talak tiga itu terlanjur diucapkan Danu pada istrinya di hadapan saksi sesaat sebelum Laras terus terang soal permintaan bapak dan ibunya agar mereka segera pulang kampung untuk mengurusi uang ganti rugi senilai 10 miliar rupiah hasil jual tanah ke perusahaan kilang minyak karena tak sabar lagi hidup sederhana bersama istrinya. Lalu apakah Danu menyesal sudah gegabah menjatuhkan talak dan bagaimana ia akan melewati penyesalannya serta masih adakah harapan baginya untuk kembali pada Laras? Atau justru wanita itu akan meninggalkannya tanpa sedikitpun penyesalan? Simak kisahnya di sini ya.
"Kenapa aku selalu dibedakan dari menantu-menantu ibu yang lain?" tanya Mia berapi-api. "Karena kamu memang beda! Kamu miskin sedang mereka kaya!" sahut mertuanya dengan pongah. Mia menggertakkan giginya. Sungguh, kalau saja ibu mertuanya tahu, harta benda yang berhasil ia kumpulkan dari hasil menulis online, mungkin ibu mertuanya akan terbelalak takjub. Tapi tidak! Karena ia justru tak ingin mertua dan suaminya yang zolim itu sampai tahu pundi-pundi logam mulia yang ia sembunyikan di suatu tempat yang aman.
Selama ini aku tak pernah keberatan membantu Mas Arya memenuhi kebutuhan keluarga kami, bahkan menafkahi ibu dan adiknya karena gajinya yang tak lagi mencukupi untuk itu. Tapi saat ia berkhianat bahkan nekad memutuskan menikah lagi, maka aku tahu bahwa aku tak perlu lagi berbuat baik terhadapnya. Sekarang biarlah ia memenuhi kebutuhan keluarga kami dan ibunya dengan usahanya sendiri, hingga akhirnya sadar bahwa selama ini akulah orang di belakang layar yang telah menyelesaikan semuanya tanpa ia perlu tahu. Namun, aku bukan wanita bodoh yang akan selamanya mengorbankan diri dalam perkawinan yang tidak sehat bersamanya karena tentu saja masa depanku masih sangat panjang dan aku berhak meraih kebahagiaan yang lain.
Emalee tidak pernah membayangkan akan berakhir di ranjang dengan Jonny, apalagi menjadi istrinya melalui perjanjian kontrak. Namun, hati Jonny sudah menjadi milik orang lain. Ketika cinta sejati pria itu kembali, Emalee diliputi keputusasaan dan memilih untuk bercerai. Namun, pria yang biasanya jauh dan pendiam itu tiba-tiba tegas dalam penolakannya. "Emalee, saat kamu menikah denganku, hidupmu menjadi milikku! Di keluarga ini, seseorang mungkin menjadi janda, tetapi perceraian bukanlah pilihan!"
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Evelin menikahi Sandi, seorang dokter kandungan, pada usia 24 tahun. Dua tahun kemudian, ketika dia hamil lima bulan, Sandi menggugurkan bayinya dan menceraikannya. Selama masa-masa kelam inilah Evelin bertemu Dhani. Dia memperlakukannya dengan lembut dan memberinya kehangatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Pria itu juga menyebabkan rasa sakit terhebat yang pernah dia alami. Evelin hanya tumbuh lebih kuat setelah semua yang dialaminya, tetapi apakah dia dapat menanggung kebenaran ketika akhirnya terungkap? Siapa Dhani di balik topeng karismatiknya? Dan apa yang akan dilakukan Evelin begitu dia menemukan jawabannya?
Rumornya, Laskar menikah dengan wanita tidak menarik yang tidak memiliki latar belakang apa pun. Selama tiga tahun mereka bersama, dia tetap bersikap dingin dan menjauhi Bella, yang bertahan dalam diam. Cintanya pada Laskar memaksanya untuk mengorbankan harga diri dan mimpinya. Ketika cinta sejati Laskar muncul kembali, Bella menyadari bahwa pernikahan mereka sejak awal hanyalah tipuan, sebuah taktik untuk menyelamatkan nyawa wanita lain. Dia menandatangani surat perjanjian perceraian dan pergi. Tiga tahun kemudian, Bella kembali sebagai ahli bedah dan maestro piano. Merasa menyesal, Laskar mengejarnya di tengah hujan dan memeluknya dengan erat. "Kamu milikku, Bella."
Hari itu adalah hari yang besar bagi Camila. Dia sudah tidak sabar untuk menikah dengan suaminya yang tampan. Sayangnya, sang suami tidak menghadiri upacara tersebut. Dengan demikian, dia menjadi bahan tertawaan di mata para tamu. Dengan penuh kemarahan, dia pergi dan tidur dengan seorang pria asing malam itu. Dia pikir itu hanya cinta satu malam. Namun yang mengejutkannya, pria itu menolak untuk melepaskannya. Dia mencoba memenangkan hatinya, seolah-olah dia sangat mencintainya. Camila tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah dia memberinya kesempatan? Atau mengabaikannya begitu saja?
© 2018-now Bakisah
TOP