Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Di Mana Sayap Tumbuh
Di Mana Sayap Tumbuh

Di Mana Sayap Tumbuh

5.0

Buku ini adalah sekuel dari The Maid and the Young Heir. Bagian kedua dari kisah tak terlupakan tentang kekuatan cinta, keluarga... dan kebebasan untuk memilih siapa dirimu: Sang Pembantu dan Sang Pewaris Muda. Bertahun-tahun setelah pernikahan di tepi laut itu, Amelia bukan lagi sekadar "pembantu yang dicintainya." Kini ia adalah seorang ibu dari dua anak, seorang saudara perempuan, seorang istri, seorang perempuan... dan penjaga kisah yang belum pulih. Gabriel, putra sulungnya, tumbuh besar dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak selalu terjawab. Isabelita berjuang keras untuk pergi jauh dari rumah, di tengah pisau bedah dan ancaman tak terlihat. Tomás, si bungsu, baru bisa berjalan, tetapi sudah memikul warisan keluarga yang belajar untuk bangkit kembali. Luciano mencoba mempertahankan apa yang telah mereka bangun, tetapi ketika masa lalu datang tanpa peringatan, bahkan cinta pun terasa tak cukup untuk melindungi apa yang mereka sayangi. Musuh lama kembali, haus akan balas dendam. Rahasia keluarga terungkap. Dan ketika dunia seakan berada di ambang kehancuran, Amelia menghadapi pertanyaan tersulit: Seberapa banyak yang harus dilepaskan agar bisa terbang? Dengan karakter-karakter yang menawan, alur cerita yang mengharukan, dan gaya naratif yang merangkul sejak halaman pertama, novel ini mengingatkan kita bahwa beberapa akar berbuah... dan yang lainnya, bersayap.

Konten

Bab 1 Ketika Luna Jatuh dari Langit

Laut terasa sunyi sore itu. Begitu sunyi, begitu menakutkan. Hamparan perak raksasa yang bergetar, tak berani bergerak, seolah tahu ombak apa pun dapat melepaskan kekacauan. Namun darah tak mengenal keheningan.

Amelia jatuh berlutut di atas pasir basah. Itu bukan jatuh tiba-tiba, melainkan sebuah penyerahan diri. Seolah tubuhnya, yang dikuasai oleh sesuatu yang tak kasat mata, lepas begitu saja. Tangannya gemetar saat berpegangan erat di tepian, tenggelam dalam campuran garam dan tanah, mencari sesuatu untuk berlabuh. Apa pun. Pada kehidupan yang mulai menjauh.

Ia mengenakan gaun putih. Gaun sederhana, yang dikenakan untuk perayaan. Untuk menyambut seseorang. Untuk mengingat bahwa ada hari-hari yang pantas dibalut harapan. Namun putih itu, yang dulu begitu murni, kini ternoda diam-diam, digelapkan oleh lumpur, oleh darah, oleh ketakutan yang tak kunjung datang. Rasa sakit, ketika datang dari kedalaman ini, tak menyerang. Ia merayap masuk, merembes. Ia menetap. "Lari!" Sebuah suara menangis, jauh, terputus oleh desakan dan keputusasaan.

Kaki telanjang menghantam pasir. Seseorang berlari. Seorang pemuda, mungkin tetangga, mungkin orang asing. Ia membawa sebuah buntalan yang digenggam erat di dadanya. Sesuatu yang menangis. Sesuatu yang kecil. Sesuatu yang hidup. Seorang bayi.

Luna.

Nama itu menusuk Amelia bagai pecahan kaca di jiwanya. Ia ingin bangun, berlari, berteriak, melakukan sesuatu. Namun ia tak bisa. Garam laut bercampur dengan garam air matanya, mengalirkan sungai di pipinya.

Di mana Tomás? Di mana Gabriel? Luciano? Pikirannya mengulang nama-nama itu seperti doa yang khusyuk, mencari makna, keteraturan, logika untuk menenangkan kekacauan. Namun tak ada logika. Hanya suara.

Jeritan itu semakin menjadi-jadi di sekelilingnya bagai ombak hitam, menerjang lagi dan lagi, tanpa henti. Seorang perempuan menelepon 911 sambil terisak. Perempuan lain melepas jaketnya dan mencoba menutupinya. Mereka berbicara kepadanya, menyentuhnya, mencoba menolongnya. Namun Amelia tak mendengarnya. Ia tak merasakan apa-apa. Ia hanya bernapas secara naluriah.

Rasa dingin menyusup ke dalam dirinya. Bukan angin. Bukan angin laut yang lembap. Melainkan sesuatu yang telah pecah jauh di dalam, retakan tak kasat mata yang membelah dunianya menjadi dua. Sebuah masa sebelum. Sebuah masa sesudah. ​​Sebuah jurang.

Lalu sebuah siulan tajam membelah udara. Sedetik kemudian, dentuman:

"Dor!"

Sebuah tembakan. Kering. Akhir. Seperti titik yang dipaksakan di tengah kalimat yang belum selesai. Tangisan bayi itu berhenti sejenak. Laut menelan sebuah sepatu kecil seolah ingin menyembunyikan sesuatu.

"Mereka membawanya," bisik seseorang di dekatnya.

"Siapa?"

"Gadis itu. Bayi itu.

Luna."

Dan kemudian tak ada lagi pikiran. Hanya kebisingan. Suara-suara yang tak berkata apa-apa. Sirene meraung di kejauhan. Pasir di mulutnya. Garam di bulu matanya. Dan sebuah janji bisu yang Amelia rasakan lahir dengan keras di dadanya:

Kali ini, mereka tak akan mengambil apa pun lagi dariku.

Ambulans itu berbau logam panas, disinfektan, dan urgensi. Interiornya terasa seperti dunia yang terpisah, putih dan bermusuhan, tak menyadari aturan dunia luar. Seorang paramedis berbicara kepadanya. Ia menyebut namanya. Ia menyuruhnya bernapas. Namun Amelia tak dapat mendengarnya. Ia menatap langit-langit tanpa melihatnya. Napasnya terdengar jauh, seolah berasal dari tubuh lain. Tubuh yang bukan miliknya. Tubuh yang kosong.

Ia merasakan jarum suntik menembus kulitnya. Infus. Cairan dingin memasuki lengannya. Sebuah upaya untuk membuatnya tetap di sini. Di sisi kehidupan ini.

"Kau stabil. Dengarkan aku, kumohon. Bayinya hidup, kau dengar? Ia hidup." Amelia memejamkan mata. Namun bukan bayi itu yang ia cari. Melainkan bayi lain. Bayi yang memiliki nama. Bayi yang ia bayangkan dalam pelukannya. Bayi yang ia rasakan bergerak di dalam rahimnya.

Seorang perawat mendekat dengan sesuatu yang mungil di tangannya. Seekor bayi baru lahir yang merah dan marah. Ia menangis seolah dunia telah menyakitinya. Seolah ia tahu.

"Bayi perempuan!" kata perawat itu. "Dia bernapas dengan baik. Dia tampak tidak terluka. Dia di sini, lihat?"

Tapi itu bukan Luna. Itu bayi perempuan lain. Takdir lain. Awal yang lain.

"Mereka membawanya pergi," gumam Amelia, tanpa memandang siapa pun.

"Tidak, dia di sini. Kau bersamanya di sini." Mereka tidak membicarakan bayi perempuan yang sama. Ia tahu itu. Jiwanya tahu itu. Sedetik. Lalu sedetik lagi. Dan waktu mulai bergerak mundur, seolah mencari jawaban dalam apa yang telah terjadi.

Dua belas minggu sebelumnya

Gabriel meninggalkan sebuah gambar di meja makan. Sebuah pohon bersayap. Warna-warnanya agak acak-acakan, goresannya tidak sempurna, tetapi penuh makna. Di sampingnya, Tomás tidur di antara mainan-mainan, mulutnya sedikit terbuka, satu tangannya menggenggam dinosaurus plastik.

Amelia, yang sedang hamil sembilan bulan, dengan lembut mengelus perutnya. Setiap gerakan di dalam dirinya adalah keajaiban. Setiap tendangan, sebuah janji masa depan. Di luar, burung-burung camar berputar-putar di pesisir, melolong minta kebebasan.

Luciano masuk dengan sekantong roti hangat di tangan dan kabar di bibirnya:

"Aku menemukannya."

Amelia mendongak, bingung.

"Siapa?"

"Mauro Galván. Dia kembali. Dia kembali ke kota."

Nama itu menghantamnya bagai hantaman di perut. Salah satu nama yang tak pernah benar-benar mati. Yang hidup terkubur dalam ingatan, menunggu saat yang tepat untuk muncul kembali.

Ia menelan ludah. ​​Udara terasa sesak.

"Kau yakin?"

"Ya," jawab Luciano, duduk di sampingnya dan menggenggam tangannya erat-erat. "Tapi kita takkan membiarkannya mendekatinya. Tidak kali ini. Kita siap, Amelia. Kali ini kau tak sendirian."

Ia mengangguk, tapi tak berkata apa-apa. Karena ia tahu: tak seorang pun pernah benar-benar siap menghadapi masa lalu. Apalagi menghadapi bagaimana masa lalu itu kembali. Tersamar. Sunyi. Menunggu.

Hari Ini

Bunyi bip mesin yang terputus-putus membawanya kembali ke masa kini. Amelia membuka matanya. Kelopak matanya terasa sakit. Bibirnya kering. Tubuhnya terasa kalah. Perutnya... kosong.

Dan di hadapannya, mata Gabriel, besar dan ketakutan, dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak seharusnya ditanyakan siapa pun di usianya.

"Bu... apakah adikmu baik-baik saja?" Amelia mencoba duduk, tetapi tubuhnya tak kunjung merespons. Ia hanya bisa bicara.

"Tomás?"

"Dengan Ayah. Aku ingin menjemputmu, tetapi mereka menyuruhku menunggu di sini." Ia menatapnya dengan air mata berlinang. Ia ingin memeluknya. Untuk melindunginya dari segalanya.

"Sayangku... adikmu! Mereka membawanya!" Gabriel menggelengkan kepalanya.

"Tidak. Luna baik-baik saja. Aku melihatnya. Dia menangis, tetapi dia baik-baik saja." Luciano kemudian masuk, seolah-olah ketegangan telah memanggilnya. Wajahnya tegang, matanya merah, punggungnya berat karena semalaman tak bisa tidur.

"Dia dalam perlindungan," katanya tegas. "Itu ancaman. Tapi kami berhasil mencegah yang terburuk. Kami membawamu ke sini tepat waktu." Amelia menatapnya. Tepat di matanya.

"Apakah itu dia?" Luciano tak menjawab. Ia hanya memejamkan mata dan mengangguk. Dan nama itu kembali memenuhi udara seperti pisau tumpul:

Mauro.

Beberapa jam kemudian, Amelia melihatnya. Luna.

Ia tertidur di inkubator, diselimuti cahaya redup dan suara-suara mekanis. Tak menyadari kengerian itu. Lugu. Sempurna. Secercah cahaya di jurang.

Amelia meraih kaca, seolah ia bisa menjembatani jarak.

"Namamu Luna karena kau membawa cahaya ke dalam kegelapan. Karena kau jatuh dari langit. Karena kau lahir di tengah tembakan dan darah... namun kau memilih untuk tetap tinggal."

Ia masih merasakan ketakutan di kulitnya. Tapi juga sesuatu yang baru. Sesuatu yang ganas. Seperti sebuah kekuatan yang mulai muncul dari tempat yang sebelumnya hanya hampa.

Lalu, sebuah suara. Dingin. Familiar. Sebuah bisikan di belakangnya.

"Sudah kubilang jangan abaikan aku."

Amelia menoleh tajam. Tapi tak ada siapa pun di sana.

Hanya gema ancaman. Masa lalu yang tak melupakannya.

Suara pelayan yang dicintainya.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY