Liana mengangkat bahu, senyum tipisnya terasa dingin. "Janji sama kasur. Lagian, malam Jumat buat apa? Aku udah janji nggak mau buang waktu buat hal-hal nggak penting kayak kencan."
Risa tergelak. "Astaga, Liana. Kayak nggak ada cowok yang mau aja sama lo. Padahal banyak yang ngantri, lho. Kamu aja yang jual mahal."
"Aku nggak jual mahal, Ris. Aku cuma realistis." Liana merapikan tumpukan berkas yang sebenarnya tidak perlu dirapikan. "Dunia ini gampang banget. Cowok ngeliat kita, suka, ngajak kencan, habis itu bilang cinta. Tapi coba deh, besok wajah kita ketiban durian dan jadi jelek. Atau rekening kita mendadak nol. Mana ada yang bertahan?"
Risa memutar mata, tapi ada rasa hormat di sana. Semua orang tahu, Liana adalah workaholic yang sinis. Dia cantik, pintar, tapi ada dinding es tebal yang mengelilinginya. Dia tidak pernah memamerkan apapun, tapi gaji bulanan Liana adalah legenda di kantor itu. Semua uangnya masuk ke rekening investasi, seolah dia sedang berlomba dengan waktu.
"Ya udah, deh. Terserah si Ratu Dana Pensiun. Jangan lupa makan malam, ya!" Risa pamit, meninggalkannya sendirian di divisi akunting yang luas itu.
Hening. Liana menikmati keheningan itu. Hanya suara AC dan keyboard yang sesekali berbunyi. Di mata orang lain, Liana adalah wanita karir sukses yang memilih independen. Tapi di dalam dirinya, dia adalah seorang penyintas yang sedang menabung untuk perangnya sendiri. Perang melawan takdir, dan melawan ilusi bernama kasih sayang.
Dia meraih amplop tebal berwarna maroon yang tergeletak di pojok mejanya. Amplop itu tiba tadi pagi, tapi dia sengaja mengabaikannya sepanjang hari, seperti racun yang ditunda minumnya.
Logo perak di sampul amplop itu adalah lambang keluarga Prabu. Keluarga yang memimpin perusahaan ini, dan keluarga yang... ah, sudahlah. Liana mengambil napas dalam-dalam, lalu merobek segelnya dengan gerakan cepat, seolah ingin segera mengakhiri penderitaan yang ditimbulkan amplop itu.
Isinya: Undangan Pertunangan Prabu Mahesa dengan Kinar Adelia.
Tulisan itu dicetak tebal dengan tinta emas. Tanggal, tempat mewah, dan foto pre-wedding yang mereka selipkan ikut terjatuh. Foto itu menunjukkan Prabu yang gagah, tersenyum lebar, memegang tangan Kinar yang terlihat lembut dan sempurna.
Tangan Liana mencengkeram kertas tebal itu. Bukan karena cemburu, bukan karena cinta yang ditolak-Liana sudah lama membunuh semua perasaan itu-tapi karena kemarahan yang membakar.
Prabu Mahesa.
Anak dari atasan Liana, Tuan Mahesa. Lelaki tua itu adalah alasan mengapa Liana berada di sini. Bukan sebagai karyawan setia, tapi sebagai mata-mata yang sabar menunggu momen yang tepat.
Liana menutup mata. Amplop itu terasa panas di tangannya, dan perlahan, kantor yang dingin itu berubah menjadi ruangan yang lembap dan berbau obat-obatan.
Semua itu terjadi sepuluh tahun lalu. Saat itu, Liana masih bernama Aletta. Aletta yang lugu, Aletta yang percaya bahwa cinta sejati itu ada, dan Aletta yang hidupnya mewah, karena ayahnya, Pak Tirta, adalah seorang pengusaha properti yang disegani.
"Mas, janji, ya. Walaupun nanti aku tua, jelek, atau kita miskin, kamu nggak akan ninggalin aku?" Aletta, yang saat itu berusia dua puluh tahun, bertanya pada Bima, tunangannya, sambil menyandarkan kepala di bahunya.
Bima tertawa, mencium kening Aletta dengan mesra. "Mana mungkin aku ninggalin kamu, Sayang? Kamu itu dunianya aku. Lagian, kamu nggak akan pernah jelek. Kamu kan cantik banget."
Jawaban itu seharusnya menenangkan, tapi kini, dalam ingatan Liana, itu terdengar seperti bom waktu. Bima hanya melihat apa yang ada di permukaan.
Kehancuran itu datang pelan, seperti air yang merembes. Ayah Liana, Pak Tirta, saat itu sedang bersaing ketat untuk mendapatkan proyek besar pembangunan residensial dari pemerintah. Pesaingnya adalah Tuan Mahesa, ayah Prabu.
Tuan Mahesa, dengan koneksi politiknya yang gelap dan uang tak terbatas, menjalankan kampanye kotor. Pak Tirta menolak untuk menyuap, menolak untuk bermain curang. Namun, integritasnya justru menjadi bumerang. Tuan Mahesa tidak hanya mencuri proyek itu; dia menjebak Pak Tirta.
Tuan Mahesa membuat skandal fiktif tentang penggelapan pajak yang dilakukan Pak Tirta. Dokumen dipalsukan, saksi dimanipulasi. Dalam hitungan minggu, aset Pak Tirta dibekukan, rekening perusahaannya disita, dan media massa, yang juga dibayar oleh Tuan Mahesa, mencabik-cabik reputasinya.
"Dia penjahat, Aletta. Dia menipu investor kecil! Kita semua sudah tahu, dia cuma pura-pura bersih," kata sebuah berita di televisi, yang kini bergema pilu di telinga Liana.
Keluarga Liana yang dulu disegani, mendadak menjadi sampah masyarakat. Ibunya sakit-sakitan karena stres. Ayahnya-seorang pria yang bangga dengan kejujuran-terpuruk di rumah, tidak bisa berbuat apa-apa.
Puncaknya, enam bulan setelah skandal itu, saat mereka benar-benar kehabisan uang dan harus menjual rumah demi membayar pengacara yang tak berguna, Bima datang.
Bima tidak datang untuk memberi dukungan. Dia datang dengan wajah pucat dan kata-kata yang menusuk.
"Lian-Aletta, kita harus akhiri ini. Maaf. Tapi aku nggak bisa. Keluargaku... mereka nggak mau punya besan yang bisnisnya hancur. Lagian... kamu sendiri sekarang nggak kayak Aletta yang aku kenal, kan?"
Aletta, yang saat itu kurus, pucat, dan matanya bengkak karena kurang tidur, hanya bisa menatap Bima. Fisiknya memang berubah. Aura kemewahan yang dulu melindunginya telah hilang. Dan Bima, yang dulu berjanji setia, langsung mundur.
*Kata-kata Bima menjadi palu godam terakhir yang menghantam keyakinan Liana: Lelaki hanya mencintai wanita berdasarkan fisik dan status semata, jika fisik berubah maka cinta juga akan pudar.
Setelah itu, Ayahnya meninggal karena serangan jantung. Liana ditinggalkan sendirian untuk mengurus ibunya yang sakit-sakitan dan menghadapi utang warisan yang melilit.
Liana tidak menangis lagi. Air matanya sudah kering bersamaan dengan hancurnya kepercayaan pada kemanusiaan. Dari abu kehancuran itu, lahirlah Liana yang sekarang-dingin, keras, dan hanya memuja angka di rekening bank.
Ia tahu, semua ini berawal dari keserakahan satu orang: Tuan Mahesa.
Liana menghabiskan tahun-tahun berikutnya dengan bekerja gila-gilaan, menggunakan koneksi lamanya yang tersisa untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan-perusahaan kecil, dan perlahan menabung. Saat ibunya meninggal tiga tahun lalu, Liana bersumpah: dendam ini harus dibayar tunai. Tuan Mahesa harus merasakan kehancuran yang sama, bahkan lebih sakit.
Untuk bisa dekat dengan musuhnya, Liana mengubah identitasnya menjadi Liana, membangun reputasi baru, dan akhirnya berhasil menyusup ke divisi kunci di perusahaan Mahesa Group, tempat Tuan Mahesa memimpin. Dia bekerja keras, bukan untuk perusahaan, tapi untuk mendapatkan akses dan posisi yang tidak mencurigakan.
Liana membuka matanya. Pandangan sinisnya kembali tajam. Dia kembali ke kantor yang sepi, ke kursi yang dia benci, dan ke amplop sialan di tangannya.
Foto Prabu dan Kinar. Prabu, anak dari iblis itu, akan menikah. Akan membangun keluarga, akan merasakan kebahagiaan sempurna di atas pondasi penderitaan keluarganya. Itu tidak bisa dibiarkan.
Dulu, rencana Liana hanyalah mengumpulkan bukti korupsi Tuan Mahesa dan menyerahkannya ke pihak berwajib. Itu rencana yang bersih, legal, tapi lambat. Dan, melihat senyum bahagia di wajah Prabu, itu terasa tidak memuaskan. Hukuman legal hanya akan menyakiti Tuan Mahesa secara finansial. Liana ingin menyakiti mereka di tempat yang paling mereka pedulikan: harga diri, nama baik, dan kebahagiaan keluarga.
Dia harus mengubah rencananya. Dia tidak hanya harus menghancurkan Tuan Mahesa, tapi juga menghancurkan apa yang paling berharga bagi Mahesa. Dan saat ini, yang paling berharga adalah pernikahan mulia Prabu Mahesa.
"Aku akan datang ke acara pertunangan itu, Prabu," bisik Liana pada foto itu, suaranya serak. "Aku akan lihat betapa sempurnanya hidup kamu. Dan aku akan jadi orang yang merusak semuanya dari dalam. Aku akan jadi antagonis di cerita kamu."
Dia ingat kata-kata Bima. Bahwa cinta itu semu, didasarkan pada fisik dan status. Maka, dia akan membuktikan kepada Prabu bahwa kebahagiaan yang dibangun di atas kepalsuan dan uang haram tidak akan pernah bertahan.
Liana mengambil ponselnya. Jemarinya yang dingin bergerak cepat mengirim pesan kepada seorang kenalan lama di dunia hitam informasi. Dia perlu tahu segalanya tentang Kinar Adelia. Setiap detail, setiap rahasia.
Dia tidak tertarik pada Prabu. Bagi Liana, Prabu hanyalah bidak catur yang kebetulan akan jadi korban dari balas dendamnya. Hancurkan pernikahanmu, Prabu, dan kamu akan membawa Ayahmu ke jurang kehancuran yang sama dengan Ayahku. Itu janji Liana pada dirinya sendiri, janji yang terukir dari sepuluh tahun rasa sakit dan kemarahan.
Undangan pertunangan itu kini terasa seperti tiket masuk ke medan pertempuran. Liana tersenyum. Senyum seorang wanita yang telah menemukan tujuan hidupnya: menjadi kehancuran yang elegan. Dia mengemasi tasnya. Malam ini, dia akan pulang dan menyusun rencana yang lebih mendalam, lebih pribadi, dan jauh lebih berbahaya daripada sekadar menyerahkan berkas ke polisi.
Misi dimulai. Dan Liana yakin, dia akan menikmati setiap detik kehancuran itu. Dia harus. Ini adalah satu-satunya cara dia bisa menebus kematian Ayahnya.
Liana mematikan lampu meja, meninggalkan kantor yang kini benar-benar gelap. Besok, dia akan mulai bergerak. Besok, dia akan mengubah dirinya menjadi persona yang siap menghancurkan mimpi orang lain demi keadilan pribadinya. Dunia telah mengajarinya untuk menjadi sinis, dan kini, dunia akan menerima akibatnya.