Unduh Aplikasi panas
Beranda / Fantasi / Istriku selingkuh
Istriku selingkuh

Istriku selingkuh

5.0

Apa yang kulakukan Jika istri yang kucintai selingkuh

Konten

Bab 1 Malam Di Tengah

ISTRIKU SELINGKUH

BAB 1

Malam merayap perlahan, seperti hewan liar yang tak terlihat namun terasa kehadirannya. Di kabinku yang sempit, hanya ada cahaya lampu kecil menggantung di sudut atap, bergoyang pelan mengikuti getaran mesin kapal. Suara mesin diesel yang konstan itu bagai detak jantung raksasa yang menemani setiap perjalanan kami-menenangkan bagi sebagian orang, namun malam ini terasa menekan.

Aku duduk di kursi lipat sambil menatap pemuda di depanku. Wajahnya kusut, rambutnya berantakan, seperti baru saja bangun dari mimpi buruk yang tak memberi jeda untuk bernapas. Padahal kami baru saja selesai shift empat-delapan, waktu yang biasanya ia manfaatkan untuk mandi, makan, dan kemudian tidur sebentar sebelum berganti jaga lagi.

Tapi malam ini dia tidak tidur. Dia hanya duduk di ranjangku, kedua sikunya bertumpu di lutut, kepala tertunduk seolah kehilangan kekuatan untuk ditopang oleh lehernya sendiri.

Aku menghela napas pelan, lalu menyerahkan segelas kopi panas kepadanya.

"Geng... nih, kopi dulu," ujarku, memecah keheningan yang sejak tadi menggantung seperti awan gelap.

Ia mengangkat wajahnya perlahan. Mata yang biasanya tajam, sigap, dan penuh wibawa kini berkaca-kaca, seperti menahan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar kesedihan.

"Makasih, Bro..." Ia mengambil kopi itu dengan tangan yang sedikit gemetar.

Aku memperhatikannya menyesap kopi itu, seolah berharap panasnya bisa membakar habis beban yang dia rasakan. Aku kenal Davi cukup lama-dia perwira seniorku, Mualim Satu di kapal ini. Dan meski dia atasanku, hubungan kami tidak sekadar profesional. Kami sering berjaga bersama, sering makan bersama, bahkan sering tidur di kursi anjungan saat kapten lagi dermawan dan mengizinkan kami istirahat.

Davi bukan orang yang gampang tumbang. Tapi malam ini... dia bukan Davi yang kukenal.

"Jadi... gimana?" tanyaku pelan. "Coba cerita. Siapa tahu aku bisa bantu."

Ia diam cukup lama. Yang terdengar hanya desiran AC kabin dan suara mesin yang berdengung jauh di bawah dek.

Akhirnya, dia menghembuskan napas berat. "Bini gue selingkuh, Bro..."

Aku tertegun. Kata-katanya menabrak dinding kabinku dan memantul kembali ke telingaku, seperti gemuruh yang tak bisa kutahan.

"Aku nggak tahu... apa yang harus kulakuin... bantu aku, Pras..." lanjutnya, suaranya hampir pecah.

Aku memandangnya lama. Dalam benakku terbayang wajah Sabrina-istrinya. Wanita bertubuh mungil, berwajah manis, dengan wajah yang selalu tertutup jilbab lebar ketika pernah kutemui sekali saat perayaan keluarga. Wanita yang menurutku terlalu kalem, terlalu baik, terlalu-maaf-"rapi" untuk melakukan hal yang begitu kotor.

Aku menggeser kursi, duduk lebih dekat, menepuk pundaknya pelan. "Yakin kamu, Dav?"

"Belum yakin benar, sih..." Davi mengusap wajahnya. "Tapi yang bilang... orang yang kuyakini banget."

"Adikmu?"

Dia mengangguk, sorot matanya kosong.

"Aku tanya dulu," ucapku tegas. "Kamu udah telepon rumah? Udah tanya langsung ke istrimu? Udah cek apa pun?"

"Belum." Ia menggeleng lemah. "Belum apa-apa aku lakukan."

"Dan kamu baru dengar beritanya?"

"Justru itu, Bro... udah lama aku dengar. Enam bulan lalu malah." Ia tertawa kering. "Enam bulan aku bego percaya istri aku nggak akan ngelakuin hal yang hina begitu..."

Aku menggeleng kecil. "Terus... kenapa sekarang kamu yakin?"

"Karena yang ngomong adikku sendiri. Ningsih nggak pernah bohong. Dia bukan tipe yang suka campuri rumah tangga orang. Kalau dia berani ngomong... pasti berat buat dia."

Davi menutupi wajahnya lagi. Kali ini bahunya sedikit bergetar. Aku tahu betul betapa kerasnya dia menjaga martabat, dan fakta bahwa dia menangis... berarti ini benar-benar menghancurkannya.

"Dav." Aku mencondongkan tubuh, menatapnya. "Tenang dulu. Tarik napas."

Ia menghirup napas panjang, berusaha menata diri.

"Sebelum aku kasih saran," lanjutku, "aku pengin tahu dulu... gimana ceritanya. Info apa aja dari Ningsih? Kamu harus ceritain semuanya."

Davi mengangguk pelan. Aku berdiri sebentar, membuka laptop di mejaku, memutar lagu pelan-lagu-lagu yang biasa mengisi shift malam kami di anjungan. Musik membantu suasana agar tidak terlalu hening dan mengancam.

Aku kembali duduk, kali ini kami saling berhadapan.

"Oke," kataku, "jelasin dari awal."

Davi menyesap kopinya lagi sebelum membuka suara.

"Jadi... kata Ningsih, bini aku selingkuh sama ustad tempat dia ikut pengajian..."

Aku spontan memotong, "Hah?! Ustad? Serius, Dav?!"

"Iya..." jawabnya lemah. "Setahun lalu, bini aku minta izin ikut pengajian. Katanya buat nguatin iman... ngisi waktu luang. Lagian anakku, Nouval, udah masuk playgroup, jadi dia banyak waktu kosong."

"Dan kamu izinin?"

"Iya lah." Ia mendesah. "Siapa sih yang nggak senang istrinya mau nambah ilmu agama?"

Aku mengangguk kecil, memahaminya.

"Terus?"

"Enam bulan," lanjut Davi. "Enam bulan pertama semuanya normal. Dia selalu berangkat bawa Nouval. Tapi lama-lama, dia mulai nitipin Nouval ke Ningsih. Katanya biar fokus, biar bisa nyimak kajian."

Aku mulai merasa ada yang mengganjal, tapi kutahan komentarku.

"Setelah itu, gosip mulai muncul dari ibu-ibu sekitar rumah. Gosip kalau Sabrina... sering pulang paling terakhir dari pengajian. Bisa satu jam, dua jam setelah kajian selesai." Davi menelan ludah. "Awalnya aku nggak percaya. Aku pikir cuma iri atau fitnah."

"Tapi Ningsih cari tahu, kan?"

Davi mengangguk. "Dia terlalu sayang sama aku. Dia nggak mau cuma percaya gosip. Tapi dia sibuk kuliah, jadi dia suruh temennya ikut pengajian itu."

Aku bersandar, mendengarkan lebih serius.

"Dari temen Ningsih itulah info datang. Katanya... Sabrina dan Ustad Somad sering menghilang setelah kajian. Atau datang terpisah saat ada kegiatan luar kota. Selalu ada alasan yang mencurigakan."

Aku bisa melihat rahangnya mengeras.

"Dan puncaknya..." ucapnya lirih, "waktu Ningsih nganter Nouval pulang lebih cepat dari biasa. Dia liat Ustad Somad keluar dari rumah aku. Nutup pintu pagar rumah."

Aku mengangkat alis kaget. "Hah? Sendirian? Di rumahmu cuma ada Sabrina?!"

Davi mengangguk, matanya panas.

Di titik itu, aku resmi merasakan amarah merayap di dadaku. Bukan cuma untuk Sabrina, tapi untuk ustad sialan itu yang memanfaatkan posisi dan kepercayaannya.

Davi menyandarkan tubuh, menatap lantai kabin.

"Itu cerita Ningsih," gumamnya. "Dan... sebagai laki-laki... kamu pasti tahu kalau ada cowok dateng ke rumah yang cuma ada istrinya doang... ya bisa dibayangkan."

Kepalaku mengangguk tanpa kusadari.

"Terus?" tanyaku pelan.

Davi meremas rambutnya sendiri. "Aku lemes, Bro... aku ngerasa dihancurin."

Aku merogoh saku, mengeluarkan rokok, menawarkannya. Davi menggeleng.

"Jadi apa langkahmu?" tanyaku.

"Aku bingung." Ia memandangku seolah aku satu-satunya pelampung di lautan luas. "Makanya aku tanya kamu. Menurut kamu aku harus apa?"

Aku memejamkan mata sebentar, merumuskan jawaban.

"Pertama, kamu cari bukti valid. Bukan cuma cerita orang. Percaya boleh... tapi keputusan rumah tangga nggak bisa cuma berdasarkan gosip."

Davi mengangguk pelan, walaupun sorot matanya tetap gelap.

"Kalau udah ada bukti, baru ada dua kemungkinan." Aku mengangkat dua jari.

"Pertama: kamu ceraiin dia. Konsekuensinya anakmu korban."

"Dua: kamu maafin dia. Kamu mulai dari nol."

Davi menunduk. "Berat, Bro... dua-duanya berat."

"Tentu berat," jawabku tegas. "Kalau gampang, semua orang sudah bahagia."

Davi menarik napas panjang, menatapku. "Pras... kamu tahu hukuman zina di Islam?"

Aku mengangguk pelan. "Kalau udah menikah... dirajam."

"Ya." Davi mengepalkan tangannya. "Aku mau kasih hukuman mereka berdua."

Aku spontan berdiri. "Hah?! Serius, Dav?!"

Ia menatapku lurus, tanpa berkedip, mata memerah penuh dendam dingin yang baru pertama kali kulihat darinya.

"Iya. Dan aku butuh bantuan kamu."

Di momen itu, hawa kabin langsung terasa dingin, seolah angin laut masuk dari celah-celah dinding. Suara mesin kapal serasa berubah menjadi detak langkah takdir yang menakutkan.

Karena untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mendengar nada suara seorang sahabat yang siap melakukan sesuatu yang tak bisa lagi ditarik kembali.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY