Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Bangkit Dari Luka: Istri Yang Terbuang
Bangkit Dari Luka: Istri Yang Terbuang

Bangkit Dari Luka: Istri Yang Terbuang

5.0

Aku menghabiskan seribu sembilan puluh lima hari mencintai Elton, tapi hanya butuh satu detik baginya untuk membuktikan bahwa nyawaku tidak ada harganya. Di tepi dermaga itu, saat Rachel-wanita masa lalunya-terpeleset, Elton tanpa ragu menghempaskan tubuhku ke samping. Aku terlempar ke dalam ombak ganas, meminum air asin yang membakar paru-paru, sementara dia mendekap Rachel erat-erat agar wanita itu tidak tergores sedikit pun. Saat aku berjuang naik ke permukaan dengan napas tersengal, yang menyambutku bukanlah uluran tangan suamiku, melainkan pemandangan dia yang sedang menenangkan Rachel dengan lembut. Di rumah sakit, kekejamannya berlanjut. Dia membiarkan Rachel memakan buah jatahku dan menuduhku hanya mencari perhatian. Dia tidak tahu, di balik wajahku yang pucat dan tubuhku yang menggigil, aku sedang menyembunyikan hasil laboratorium yang menyatakan aku hamil enam minggu. Melihatnya memayungi Rachel dengan mesra dan meninggalkanku kedinginan di tengah hujan, aku sadar aku hanyalah tokoh figuran di kisah cinta mereka. Malam itu, aku membuang cincin berlian seharga mobil mewah itu ke tumpukan sampah dapur. Aku berpura-pura patuh, menelan semua penghinaan, hanya untuk merencanakan pelarian sempurnaku. Sebulan kemudian, saat badai menghancurkan kota persembunyianku, Elton datang. Dia menggali reruntuhan dengan tangan telanjang hingga berdarah, menangis saat melihat perutku yang mulai membesar. "Beri aku kesempatan, Jilly. Demi anak kita," mohonnya sambil berlutut di lumpur. Aku menepis tangannya yang kotor dengan tatapan dingin, lalu berkata pelan namun menusuk: "Ini anakku. Bukan anak kita. Ayah dari anak ini sudah mati bagiku saat dia mendorong istrinya ke laut demi wanita lain."

Konten

Bab 1

Aku menghabiskan seribu sembilan puluh lima hari mencintai Elton, tapi hanya butuh satu detik baginya untuk membuktikan bahwa nyawaku tidak ada harganya.

Di tepi dermaga itu, saat Rachel-wanita masa lalunya-terpeleset, Elton tanpa ragu menghempaskan tubuhku ke samping.

Aku terlempar ke dalam ombak ganas, meminum air asin yang membakar paru-paru, sementara dia mendekap Rachel erat-erat agar wanita itu tidak tergores sedikit pun.

Saat aku berjuang naik ke permukaan dengan napas tersengal, yang menyambutku bukanlah uluran tangan suamiku, melainkan pemandangan dia yang sedang menenangkan Rachel dengan lembut.

Di rumah sakit, kekejamannya berlanjut. Dia membiarkan Rachel memakan buah jatahku dan menuduhku hanya mencari perhatian.

Dia tidak tahu, di balik wajahku yang pucat dan tubuhku yang menggigil, aku sedang menyembunyikan hasil laboratorium yang menyatakan aku hamil enam minggu.

Melihatnya memayungi Rachel dengan mesra dan meninggalkanku kedinginan di tengah hujan, aku sadar aku hanyalah tokoh figuran di kisah cinta mereka.

Malam itu, aku membuang cincin berlian seharga mobil mewah itu ke tumpukan sampah dapur. Aku berpura-pura patuh, menelan semua penghinaan, hanya untuk merencanakan pelarian sempurnaku.

Sebulan kemudian, saat badai menghancurkan kota persembunyianku, Elton datang. Dia menggali reruntuhan dengan tangan telanjang hingga berdarah, menangis saat melihat perutku yang mulai membesar.

"Beri aku kesempatan, Jilly. Demi anak kita," mohonnya sambil berlutut di lumpur.

Aku menepis tangannya yang kotor dengan tatapan dingin, lalu berkata pelan namun menusuk:

"Ini anakku. Bukan anak kita. Ayah dari anak ini sudah mati bagiku saat dia mendorong istrinya ke laut demi wanita lain."

Bab 1

Jilly POV

Dinginnya air laut itu seakan masih mendekam di paru-paruku, mencekik setiap tarikan napas yang kucoba hirup, meski kini aku berdiri dengan pakaian kering di tengah pesta ulang tahunku sendiri.

Aku menatap kosong ke luar jendela, pada hujan badai yang menghantam kaca. Langit seolah mewakiliku, menangiskan air mata yang tak mampu lagi kukeluarkan.

Tiga tahun.

Aku telah menghabiskan seribu sembilan puluh lima hari mencintai Elton, dan hanya butuh satu dorongan tangan darinya untuk menyadarkanku bahwa nyawaku tidak ada harganya.

Dia mendorongku. Demi Rachel.

Saat kami berdiri di tepi dermaga tadi, saat Rachel terpeleset karena kecerobohannya sendiri, Elton tidak berpikir dua kali.

Dia menghempaskan tubuhku ke samping, begitu keras hingga aku terlempar ke dalam ombak yang ganas, hanya agar dia bisa menangkap Rachel yang bahkan tidak tergores sedikit pun.

Aku hampir mati di sana.

Dan saat aku berjuang naik ke permukaan, terbatuk-batuk memuntahkan air asin yang membakar tenggorokan, hal pertama yang menyambutku bukanlah uluran tangan Elton.

Dia sedang memeluk Rachel, menenangkan wanita itu, sementara aku dibiarkan tenggelam dalam kesendirianku.

Sekarang, di ruangan pesta yang hangat ini, aku merasa lebih menggigil daripada saat terombang-ambing di lautan.

Jari-jariku memutar gelas sampanye dengan kaku. Mataku menembus kerumunan orang-orang kaya yang tertawa palsu, mencari sosok itu.

Di sudut ruangan, Elton sedang tertawa.

Suaranya berat dan rendah-suara yang dulu selalu membuat jantungku berdebar, kini terdengar seperti lonceng kematian bagi harapanku. Rachel berdiri di sampingnya, begitu dekat hingga bahu mereka bersentuhan.

Gaun merah wanita itu menyala bagai api, kontras yang menyakitkan dengan penampilanku yang pucat, seolah jiwa ini masih basah kuyup oleh keringat dingin.

Mereka terlihat seperti pasangan yang sempurna. Dan aku? Aku hanyalah hantu yang gentayangan di pestaku sendiri.

Elton menoleh sekilas ke arahku.

Tatapannya melewati wajahku begitu saja, dingin dan tak acuh, seolah aku hanyalah perabot ruangan yang tidak penting. Dia kembali menatap Rachel, mendengarkan wanita itu berbisik manja.

Rachel tertawa, suara yang renyah dan menusuk, lalu melirikku dengan sudut matanya. Tatapan itu penuh kemenangan.

Perutku mual. Rasa sakit fisik akibat menelan air laut kini bercampur dengan rasa jijik yang mendalam.

Aku melihat Elton meletakkan tangannya di pinggang Rachel, sebuah gestur posesif yang dulu hanya dia lakukan padaku.

*Dulu.* Kata itu terasa pahit di lidah.

Ingatanku melayang ke festival musik universitas itu. Aku menari di bawah matahari, bebas dan liar, dan Shawn menatapku seolah aku adalah satu-satunya gadis di dunia.

Tapi kemudian Elton datang.

Dia datang dengan pesonanya yang gelap dan rumit, menarikku masuk ke dalam gravitasinya, membuatku lupa pada cahaya.

Aku ingat saat aku sakit demam tinggi, dia pernah membatalkan rapat penting hanya untuk menyuapiku bubur. Momen-momen kecil itulah yang membuatku bertahan. Momen-momen itulah yang menjadi racun manis, membuatku percaya bahwa di balik sikap dinginnya, dia mencintaiku.

Tapi cinta tidak seharusnya membuatmu merasa kerdil.

Cinta tidak seharusnya membuatmu merasa bersalah hanya karena kau masih bernapas.

Rachel membisikkan sesuatu lagi, dan Elton tersenyum tipis. Dia menyambar sebuah dokumen dari asistennya, lalu melemparnya begitu saja ke meja di dekatku.

Tanpa menoleh. Tanpa peduli.

Dokumen itu meluncur dan berhenti tepat di depan tanganku yang gemetar.

Rachel menatapku lagi, bibirnya bergerak membentuk kalimat yang bisa kubaca dengan jelas meski dari kejauhan.

"Dia terlihat menyedihkan, kan?"

Elton tidak membantah. Pria itu hanya mengangkat bahu, lalu kembali menuangkan anggur untuk Rachel.

*Cukup.*

Tanganku meremas tas kecil di pangkuanku. Di dalamnya, ada selembar kertas yang sudah kusiapkan berbulan-bulan lalu, namun selalu ragu untuk kuserahkan.

Surat pengunduran diri. Bukan hanya dari perusahaannya, tapi dari hidupnya.

Aku menarik napas panjang, menekan rasa mual yang mendesak naik ke tenggorokan. Jantungku tidak lagi berdebar karena cinta, melainkan karena adrenalin keputusan yang sudah bulat.

Aku tidak akan membuat adegan dramatis. Aku tidak akan menangis atau berteriak.

Aku menatap bayanganku di kaca jendela. Wanita di sana terlihat rapuh, pucat, dan hancur. Tapi di matanya, ada nyala api kecil yang baru saja hidup kembali dari kematian.

Malam ini adalah malam terakhir aku menjadi korban.

Aku membayangkan hidupku tanpa Elton. Tanpa menunggu telepon yang tak pernah berdering. Tanpa harus bersaing dengan bayang-bayang Rachel.

Gambaran itu terasa asing, menakutkan, tapi juga memabukkan. Seperti menghirup udara segar setelah terlalu lama terkurung di ruang bawah tanah yang pengap.

Aku berdiri perlahan. Kakiku masih terasa lemas, tapi aku memaksanya tegak.

Elton masih sibuk dengan Rachel, dunianya berpusat pada wanita itu. Dia tidak tahu bahwa dia baru saja kehilangan satu-satunya orang yang benar-benar mencintainya tanpa syarat.

Mulai detik ini, Elton, bagi satu sama lain... kita hanyalah orang asing.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 11   Hari ini16:59
img
img
Bab 1
Hari ini16:59
Bab 2
Hari ini16:59
Bab 3
Hari ini16:59
Bab 4
Hari ini16:59
Bab 5
Hari ini16:59
Bab 6
Hari ini16:59
Bab 7
Hari ini16:59
Bab 8
Hari ini16:59
Bab 9
Hari ini16:59
Bab 10
Hari ini16:59
Bab 11
Hari ini16:59
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY