/0/3242/coverbig.jpg?v=07c4b90e4d53e6e2ac447afb9dfa2b26)
Mati. Kata itu bakal menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar manusia di muka bumi ini, tetapi tidak untukku. Pertemuan pertama dengannya merupakan kesialan sekaligus keberuntungan bagiku. Aku hidup, tetapi terjerat dalam pesona maut si pembunuh tampan bernama Axel. "Matamu cantik." Kalimat pertama yang dia ucapkan padaku. Aku tahu dia tak melihat ketakutan akan kematian di sana. Bersamanya, aku merasa diperlakukan sebagai manusia setelah menerima begitu banyak sakit hati. Namun, sampai kapan Axel bersedia menerimaku. Setelah pembunuhan-pembunuhan mengerikan yang ia pertontonkan. Sampai kapan hingga tiba giliranku berikutnya? Ketika mataku ... tak indah lagi baginya.
Mati. Kata itu mungkin akan membuat sebagian besar umat manusia ketakutan, tetapi tidak untukku.
Aku berdiri di atas gedung tujuh lantai. Merentangkan kedua tangan untuk merasakan angin yang menerpa tubuh.
Cuaca hari ini cerah, senja menerpa dan membiaskan cahaya jingga indah. Mungkin ... ini akan menjadi kali terakhirku menatap cakrawala.
Aku menerka, apa rasanya saat tubuh ini menghantam trotoar di bawah gedung. Apa tubuhku akan terburai? Darah memercik estetik, melengkapi senja dengan rona merahnya?
Aku tersedak tangis, lebih dari itu, adakah yang bersedih untuk kematianku?
Aku rasa tidak ada. Menyedihkan bukan?
Embusan napas terdengar keras, beban menyesakkan dada membuatku kesulitan meraup udara.
Kurasa inilah saatnya.
Menatap dengan hampa ke bawah bangunan lantai tujuh ini.
Bersiap melangkahkan kakiku ke bawah, kupejamkan mata ini.
Bersiap untuk mati.
Saat sebelah kakiku sudah terayun di udara, siap melangkahkan kaki satunya lagi, aku dikejutkan oleh suara isak tangis, antara ada dan tiada, suara yang terbekap.
Aku memutar tubuh dan mendapati seorang wanita terikat di sudut atap gedung.
Sejak kapan dia ada di sana? Aku sama sekali tidak menyadari kehadirannya sedari tadi.
Gadis itu menangis, air mata melunturkan maskara hitamnya, membentuk jalur menakutkan layaknya badut dalam film horor. Mataku mengedip bingung, betapa lambannya otakku bekerja sewaktu menyadari gadis ini adalah Lyra.
Si cantik berambut pirang yang menghancurkan karirku dan membuatku dipecat setelah bertahun-tahun bekerja keras.
Bola mata besarnya menatapku penuh permohonan, kedua tangan dan kaki gadis itu terikat kuat oleh tali dan bibir si jalang ditutup dengan lakban.
Jika kau mengira aku akan terkejut melihat kondisi Lyra, kau salah besar ... hatiku hampa dan pikiranku kosong. Semua menjadi tak bermakna, dunia berputar dalam warna monokrom. Monoton.
Tatapanku tertuju padanya tanpa asa, air mata Lyra semakin deras mengalir bak anak sungai, tetapi hatiku sama sekali tidak tersentuh dan tanganku tak mau bergerak untuk menolongnya.
Dia memang pantas menerima semua ini ... dia pantas diperlakukan buruk. Tawa gadis itu, pandangan meremehkannya dulu, juga kalimat fitnah yang ia lontarkan mengeraskan hatiku.
Namun, siapa yang melakukan semua ini?
Jawabannya datang secepat kedipan mata, pintu atap gedung terbuka. Seorang pria melangkah ke arah Lyra. Memasuki bidang pandang kami.
Dia belum menyadari kehadiranku karena aku berdiri di samping belakangnya, sudut mati pandangan pria itu.
Pria bersetelan kasual dengan kemeja dan celana jeans itu menarik Lyra berdiri diiringi oleh pemberontakan si gadis.
Lyra menoleh ke arahku, saat itulah sang pria sadar. Ia lalu berbalik ....
Seraut wajah tampan menatapku dengan ekspresi terkejut. Mungkin bisa kukatakan, pertama kali berjumpa dengannya adalah saat paling sial dan paling beruntung dalam hidupku.
Karena dialah ... hidupku benar-benar berubah.
Ia menatapku, kemudian tersenyum culas. Senyum yang tak akan pernah kulupakan seumur hidup, menawan. Menarikku ke dalam dimensi lain penuh pesona memabukkan.
Aku tahu, dan instingku mengatakan bahwa dia bukanlah orang baik-baik. Tapi kadang-kadang, iblis pun bisa terlihat seperti malaikat.
"Matamu cantik." Adalah kalimat pertama yang diucapkannya saat kami bertemu.
Mungkin ia melihatnya, ketakutan memudar bersama sembilu pilu mencengkeram jiwa rapuh.
Ya! Dia benar ... untuk saat ini ... semua rasa telah diambil dari ragaku, menyisakan kepingan jiwa retak yang akan hancur kapan saja.
"Ikutlah denganku," ajaknya.
Pria itu menarik tanganku, kemudian menyeret Lyra menggunakan troli laundri. Dan aku membiarkan saja semua itu terjadi, seolah kehendak bebas dalam diriku sudah dicabut.
Aku bagaikan boneka tanpa kemauan yang bisa dibawa ke mana saja.
Aku tahu, otakku sedang sakit dan aku ingin mengakhiri semuanya. Hati kecilku berharap, pria asing ini akan mengakhirinya untukku.
Semua menjadi bayang-bayang semu, dunia terdistorsi sementara anganku melayang bebas, ketika ragaku dijamah tangan asing, aku terpejam pasrah.
Tidak apa-apa, semua akan berakhir, batinku membisikkan kegelapan.
Suara mesin menjadi alunan musik, pepohonan berkejar-kejaran, memintaku berhenti sejenak untuk bernapas, langit berubah gelap sementara mobil sang lelaki membawa kami menuju antah berantah.
Waktu menjadi misteri alam, ketika kesadaranku terkumpul, kami telah tiba di sebuah ruang bawah tanah.
Ruang bawah tanah itu pengap dan bau. Kedua alisku bertaut mengenali bau besi bercampur amis. Bau likuid merah kental yang mengalir dalam pembuluh darah manusia, ya ... darah.
Darah? Bagus ... akhiri saja semuanya.
Pria itu melemparkan Lyra begitu saja, si gadis pirang menubruk dinding bagai sekarung sampah. Ia kemudian menarik sebuah kursi dan mendudukkanku dengan lembut.
"Aku suka sekali dengan tatapanmu," ucapnya lagi sambil membelai wajahku. Mata cokelat menawan itu berpendar oleh euforia.
"Tapi kau harus kuikat agar tidak pergi."
Dia mengambil seutas tali di meja satu-satunya dalam ruangan ini, lalu mengikatku ke kursi dengan erat. Dan seperti tadi, kubiarkan ia melakukannya begitu saja, tanpa perlawanan sama sekali.
Mati, mati, mati, otakku memutar kata tunggal itu.
"Lihat baik-baik, Manis! Karena kita punya tatapan yang sama." Pria itu memutar kursiku menghadap ke arah Lyra.
Dengan tangan terikat, Lyra berusaha menyeret tubuhnya menjauh sewaktu pria itu mendatanginya. Si pria berpakaian kasual itu melepas lakban yang membekap mulut Lyra, membuat si gadis langsung menjerit nyaring.
Pria itu bereaksi dengan cepat, menampar Lyra keras hingga gadis itu terdiam. Bisa kulihat dari sudut bibir Lyra mengalir darah segar karena bibirnya pecah akibat tamparan kuat.
Lyra menangis sambil memohon-mohon, belum pernah aku melihat gadis jahat itu selemah ini.
"Dia menjual rahasia perusahaan pada mereka." Ingatan suara Lyra kembali menjamah benakku. Aku tertawa sinis. Biasanya gadis ini selalu membuat orang memohon-mohon padanya, tetapi lihat sekarang, keadaan berbalik drastis. Ingin sekali aku menyoraki si pria atas perbuatannya.
Si pria mengeluarkan pisaunya."Showtime!" ucapnya sambil menoleh ke arahku.
Aku membalas tatapannya dengan hampa, sekali sabetan cepat ia melukai wajah cantik Lyra.
"Ini untuk wajah cantik," ujarnya.
Lyra melolong kesakitan, darah segar membanjiri pipinya, lalu turun menghampiri leher.
Jika kau mengira aku akan syok melihat darah sebanyak itu, kau salah lagi. Otakku masih sakit, dengan respon yang sangat lambat. Aku sama sekali tidak terpengaruh oleh pemandangan mengerikan di hadapanku.
Pria itu lalu melanjutkan aksinya. Ia merobek kemeja yang dipakai Lyra, kancing-kancing putih berhamburan, mengelinding tanpa daya dan berhenti tepat di dekat kakiku. Lyra menggeleng kuat, ketakutan mengambil alih kehendak tubuh, membuat Lyra mengalami tonic immobility. Ia membeku, pria itu berhasil melepas sisa kain di tubuh Lyra, menampilkan bra hitam bermotif renda dan mutiara.
Mungkin saja ... ia akan melakukan hal yang keji dengan memperkosa gadis ini.
Novel Cinta dan Gairah 21+ ini berisi kumpulan cerpen romantis terdiri dari berbagai pengalaman romantis dari berbagai latar belakang profesi yang ada seperti ibu rumah tangga, mahasiswa, CEO, kuli bangunan, manager, para suami dan lain-lain .Semua cerpen romantis yang ada pada novel ini sangat menarik untuk disimak dan diikuti jalan ceritanya sehingga bisa sangat memuaskan fantasi para pembacanya. Selamat membaca dan selamat menikmati!
Warning!!!!! 21++ Aku datang ke rumah mereka dengan niat yang tersembunyi. Dengan identitas yang kupalsukan, aku menjadi seorang pembantu, hanyalah bayang-bayang di antara kemewahan keluarga Hartanta. Mereka tidak pernah tahu siapa aku sebenarnya, dan itulah kekuatanku. Aku tak peduli dengan hinaan, tak peduli dengan tatapan merendahkan. Yang aku inginkan hanya satu: merebut kembali tahta yang seharusnya menjadi milikku. Devan, suami Talitha, melihatku dengan mata penuh hasrat, tak menyadari bahwa aku adalah ancaman bagi dunianya. Talitha, istri yang begitu anggun, justru menyimpan ketertarikan yang tak pernah kubayangkan. Dan Gavin, adik Devan yang kembali dari luar negeri, menyeretku lebih jauh ke dalam pusaran ini dengan cinta dan gairah yang akhirnya membuatku mengandung anaknya. Tapi semua ini bukan karena cinta, bukan karena nafsu. Ini tentang kekuasaan. Tentang balas dendam. Aku relakan tubuhku untuk mendapatkan kembali apa yang telah diambil dariku. Mereka mengira aku lemah, mengira aku hanya bagian dari permainan mereka, tapi mereka salah. Akulah yang mengendalikan permainan ini. Namun, semakin aku terjebak dalam tipu daya ini, satu pertanyaan terus menghantui: Setelah semua ini-setelah aku mencapai tahta-apakah aku masih memiliki diriku sendiri? Atau semuanya akan hancur bersama rahasia yang kubawa?
Bianca tumbuh bersama seorang ketua mafia besar dan kejam bernama Emanuel Carlos! Bianca bisa hidup atas belas kasihan Emanuel pada saat itu, padahal seluruh anggota keluarganya dihabisi oleh Emanuel beserta Ayahnya. Akan tetapi Bianca ternyata tumbuh dengan baik dia menjelma menjadi sosok gadis yang sangat cantik dan menggemaskan. Semakin dewasa Bianca justru selalu protes pada Emanuel yang sangat acuh dan tidak pernah mengurusnya, padahal yang Bianca tau Emanuel adalah Papa kandungnya, tapi sikap keras Emanuel tidak pernah berubah walaupun Bianca terus protes dan berusaha merebut perhatian Emanuel. Seiring berjalannya waktu, Bianca justru merasakan perasaan yang tak biasa terhadap Emanuel, apalagi ketika Bianca mengetahui kenyataan pahit jika ternyata dirinya hanyalah seorang putri angkat, perasaan Bianca terhadap Emanuel semakin tidak dapat lagi ditahan. Meskipun Emanuel masih bersikap masa bodo terhadapnya namun Bianca kekeh menginginkan laki-laki bertubuh kekar, berwajah tampan yang biasa dia panggil Papa itu, untuk menjadi miliknya.
Seto lalu merebahkan tubuh Anissa, melumat habis puting payudara istrinya yang kian mengeras dan memberikan gigitan-gigitan kecil. Perlahan, jilatannya berangsur turun ke puser, perut hingga ke kelubang kenikmatan Anissa yang berambut super lebat. Malam itu, disebuah daerah yang terletak dipinggir kota. sepasang suami istri sedang asyik melakukan kebiasaan paginya. Dikala pasangan lain sedang seru-serunya beristirahat dan terbuai mimpi, pasangan ini malah sengaja memotong waktu tidurnya, hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya dipagi hari. Mungkin karena sudah terbiasa, mereka sama sekali tak menghiraukan dinginnya udara malam itu. tujuan mereka hanya satu, ingin saling melampiaskan nafsu birahi mereka secepat mungkin, sebanyak mungkin, dan senikmat mungkin.
Setelah dua tahun menikah, Sophia akhirnya hamil. Dipenuhi harapan dan kegembiraan, dia terkejut ketika Nathan meminta cerai. Selama upaya pembunuhan yang gagal, Sophia mendapati dirinya terbaring di genangan darah, dengan putus asa menelepon Nathan untuk meminta suaminya itu menyelamatkannya dan bayinya. Namun, panggilannya tidak dijawab. Hancur oleh pengkhianatan Nathan, dia pergi ke luar negeri. Waktu berlalu, dan Sophia akan menikah untuk kedua kalinya. Nathan muncul dengan panik dan berlutut. "Beraninya kamu menikah dengan orang lain setelah melahirkan anakku?"