/0/4269/coverbig.jpg?v=0f6119a1e2e803d3bc9aa654eaf6c36e)
Perjuangan seorang Satria Abraham di dalam mendapatkakan hati istrinya. Alira Maulidina. Yang telah di nikahinya selama enam bulan ke belakang, dan akan di ceraikannya enam bulan kemudian, akibat sebuah perjodohan yang tak pernah di inginkannya. Setelah kehancuran hatinya yang mencinta, di patahkan begitu saja oleh video syur kekasihnya yang tersebar di media sosial, membuatnya memalingkan hati, menciptakan gairah cinta untuk seorang Alira dan harus bisa tetap mempertahankan hubungan rumah tangganya. Harus bisa membatalkan surat perjanjian pernikahan yang sempat di buat dan di tanda tanganinya, dan yang paling utama, harus bisa memisahkan Alira dari seorang Adam, lelaki pemilik hati istrinya, kekasih dari Alira.
Brukkkk
Alira melempar tas selempangnya dengan kesal ke atas kasur, segera manjatuhkan tubuh langsingnya di atas ranjang, sebelum membenamkan wajah cantiknya ke dalam bantal.
Dengan air matanya yang berderai, Alira hanya bisa menangis, terisak dan tergugu, memikirkan bagaimana nasib dan masa depannya setelah ini.
Dia masih tak percaya, bagaimana bisa kedua orang tuanya menjodohkannya begitu saja, tiba-tiba, tanpa ada angin ataupun hujan, menjadikan hidupnya bagaikan kisah seorang Siti Nurbaya.
"Kenapa harus punya hutang sih Yah? kenapa harus membayar hutang dengan aku Yah? kenapa? aku kan anak Ayah? anak kandung Ayah! bukan anak tiri Yah...,"
"Aku baru saja selesai kuliah Yah, perjalananku masih sangat panjang! bahkan aku masih mencari kerja dan belum pernah merasakan uang hasil kerja kerasku sendiri, bagaimana bisa Ayah menjodohkanku Yah? bagaimana bisa? bagaimana dengan masa depanku Yah? bagaimana dengan kisah cintaku bersama Adam Yah? bagaimana?" gumamnya pelan, dengan wajahnya yang semakin basah, membalikkan posisi tubuhnya menjadi terlentang.
Sebelum berteriak, menjambak rambut hitamnya sendiri karena rasa frustasi yang di rasakannya.
"Adam.. aku di jodohkan Dam...bagaimana ini Dam? aku di jodohkan sama Ayah Ibuku Dam...," tangis Alira tergugu, memanggil nama kekasih hatinya, sebelum menutup wajah cantiknya dengan kedua telapak tangannya, tak mampu menahan rasa sakit yang dirasakannya.
Sangat sakit, menghimpit perasaannya, sangat kuat, hingga membuatnya sesak susah sekali untuknya bernafas.
"Apa kita harus putus Dam? tapi aku nggak mau putus sama kamu Dam...aku masih sangat mencintai kamu...setelah enam tahun hubungan kita, percintaan kita, bagaimana bisa? aku nggak mau putus sama kamu Dam...!" ucapnya lagi, sebelum berteriak histeris, melampiaskan rasa sakit di hatinya.
Di ikuti dengan mengalihkannya pandangannya, ke arah pintu kamarnya yang terbuka, beradu pandang dengan Bu Rani, ibu kandungnya sendiri.
Yang mengayunkan langkah perlahan, dengan wajah yang sangat sendu mendekati dirinya yang masih menangis tergugu.
"Lira...," panggil Bu Rani, dengan sorot mata pilunya memanggil lirih nama anak gadisnya.
"Bu...," jawab Alira, dengan bibirnya yang bergetar, mata yang memerah segera beranjak bangun, untuk berhambur ke dalam pelukan hangat ibunya.
"Ibu minta maaf ya Ra? Ibu nggak bisa berbuat apa-apa untuk kamu Ra..., Ibu minta maaf...," lirih Bu Rani, ikut menitikan air matanya, membelai lembut puncak kepala anaknya, membalas pelukan Alira.
"Kenapa harus aku yang dijodohkan sih Bu? kenapa harus aku?" tanya Alira, terisak masih di pelukan ibunya.
Tak membuat Bu Rani bersuara, hanya menangis membelai lembut puncak kepala putri sulungnya.
"Apa karena statusku yang anak pertama Bu? harusnya Ibu melahirkanku menjadi anak kedua Bu! biar aku bisa menikmati kebahagiaanku sendiri! sesuai jalan yang aku sukai sendiri Bu...," jawab Alira dengan deraian air matanya yang sempurna membasahi pipi mulusnya.
Sebelum menarik kepalanya pelan, beradu pandang dengan Bu Rani yang terlihat sendu menatapnya pilu.
"Bagaimana dengan masa depanku Bu? cita-citaku? impianku? bahkan aku belum bisa memberikan ibu gaji pertamaku Bu, aku belum bekerja, bagaimana bisa Ayah menyuruhku menikah Bu? bagaimana bisa?" lanjut Alira, dengan tangisannya yang semakin tergugu.
Menatap lekat mata basah Ibunya, dengan sikapnya yang memohon.
"Maafkan Ibu Sayang, Ibu minta maaf ...," ucap Bu Rani, menyeka lembut pipi anak gadisnya, dengan perasaan sakit di hatinya, merasa tak berdaya dengan permohonan Alira.
Karena hutang Budi suaminya, yang memaksanya untuk diam, tak mampu berbuat banyak untuk menghentikan perjodohan yang diminta calon besannya.
Sahabat baik dari suaminya, yang telah banyak membanu kehidupan keluarganya.
***
Flasback
"Assalamualaikum," ucap Alira, mengayunkan langkahnya masuk kedalam rumah, mengulaskan senyumnya kepada Ayah dan Ibunya yang sedang duduk bersantai di depan tv di ruang keluarga menjawab salamnya kompak.
"Waalaikum Salam, sudah pulang Ra?" jawab Bu Rani menikmati kue kering yang tersaji, mengulaskan senyumnya kepada Alira yang mengayunkan langkah mendekatinya.
"Sudah Bu," jawab Alira, mencium tangan kedua orang tuanya bergantian, sebelum duduk di sebelah Ayah Pras, sesaat setelah mencomot satu kue kering di atas meja.
"Gimana? lancar interviewnya?" tanya Ayah Pras yang di jawab dengan anggukan pelan kepala Alira.
"Doain ya Yah? Bu?" jawab Alira, di sela kunyahannya.
"Aamiin. semoga keterima ya Ra?" jawab Bu Rani, di ikuti dengan kata Amin Ayah Pras dan Alira.
"Emmm...Ayah ingin bicara sama kamu bisa?" ucap Ayah Pras, mengalihkan pandangan Alira yang mengangguk pelan menatapnya.
"Bicara aja Yah, kenapa harus pakai izin?" jawab Alira santai, kembali menyuapkan kue kering ke dalam mulutnya menatap Ayahnya.
"Bagaimana hubungan kamu dengan Adam Ra? baik-baik saja?" tanya Ayah Pras yang di sambut dengan anggukan kepala Alira yang masih mengunyah kue di mulutnya.
"Baik Yah, nggak ada masalah, cuma Adam sekarang lagi di luar kota jadi kangen deh nggak bisa ketemu," jawab Alira terkekeh.
Mengalihkan pandangan Ayah Pras, beradu pandang dengan Ibu Rani yang terdiam.
"Apa Ayah sama Ibu boleh minta sesuatu sama kamu Ra?" tanya Ayah Pras lagi hati-hati.
"Minta apa Yah?" jawab Alira sebelum tersedak dengan kalimat Ayahnya.
"Kamu putus sama Adam ya?" lanjut Ayah Pras, menyentakkan hati Alira, membuatnya terbatuk.
"Minum dulu Ra," Bu Rani bersuara, memberikan segelas teh hangat milik suaminya kepada Alira.
"Kenapa Yah? kenapa aku harus putus sama Adam?" tanya Alira, dengan sorot mata bingungnya, sesaat setelah menenggak habis teh hangat pemberian Ibunya.
"Karena kamu harus menikah sama Satria Ra, anak Om Bagaskara." jawab Ayah Pras, membulatkan mata Alira menatapnya.
"Ayah bercanda kan?" tanya Alira, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Bu Rani yang terdiam, masih duduk di samping ayahnya menatapnya sendu.
"Ayah bercanda kan Bu? ayo Bu tolong bilang sama aku kalau Ayah sedang bercanda!" ucap Alira, dengan wajah tak percayanya ingin mencari pembelaan Ibunya.
Sebelum mengulaskan senyum getirnya, dengan matanya yang berkaca-kaca mengalihkan pandagannya ke arah Ayah Pras yang terdiam menatapnya.
"Ayolah Yah..., Ayah pasti bercanda kan?" lirih Alira, ingin mencari kebohongan di wajah ayahnya.
Namun tak menemukannya, yang dia temukan hanya gelengan pelan kepala Ayah Pras, dengan sorot mata sendu menatapnya dalam.
Menggetarkan bibir Alira, menitikan air matanya membuang pandangannya ke sembarang arah.
"Aku nggak mau menikah sama Satria Yah, dan aku nggak mau putus sama Adam!" jawab Alira, menyeka air matanya pelan tak menatap Ayahnya.
"Kamu harus nikah sama Satria Ra, Ayah mohon sama kamu, kamu menyetujuinya ya?" mohon Ayah Pras, mengalihkan kembali pandangan Alira menatapnya.
"Tapi kenapa Yah? kenapa tiba-tiba?"
"Karena hutang Budi Ayah Ra!" jawab Ayah Pras, dengan nafasnya yang memburu, semakin memecahkan tangis Alira.
"Ayah minta tolong sama kamu, tolong kamu ngerti posisi Ayah...," lirih Ayah Pras, beradu pandang, memohon kepada anak gadisnya.
"Bagaimana dengan posisiku Yah? hatiku? perasaanku? tolong mengerti aku juga Yah...," lirih Alira.
Tak membuat Ayah Pras bersuara, hanya membuang pandangannya ke sembarang arah, dengan helaan nafasnya yang terdengar berat mengusap wajahnya pelan.
" Apa kamu ingat dulu Ra? saat usaha Ayah kamu ini hampir bangkrut? Om Bagas yang membantu Ayah, Om Bagas menyuntikkan dana hingga usaha Ayah bisa berdiri tegak seperti sekarang ini!" ucap Ayah Pras, dengan pandangan menerawangnya lurus kedepan.
"Apa kamu ingat saat Ayah sakit dulu Ra? ayah harus di operasi, tepat di saat keuangan ayah yang menipis, Om Bagas juga yang membantu Ayah, hingga Ayah bisa di operasi, dan bisa seperti sekarang ini, berkumpul bersama Kamu, ibu kamu dan adik kamu!" lanjut Ayah Pras tak mengalihkan pandangannya.
Semakin membuat bibir Alira bergetar, kembali mengingat masa-masa susah keluarganya.
Tak terkecuali Bu Rani, yang ikut menitikan air matanya, membelai lembut bahu suaminya.
"Om Bagas juga yang telah membantu biaya kuliah kamu Ra! saat masa - masa krisis Ayah dulu! saat ayah tak lagi punya uang untuk membayar biaya kuliah kamu!," lanjut Ayah Pras, mengalihkan pandangannya menatap Alira yang terdiam dan menangis.
"Dan kemarin Om Bagas bilang ingin melamar kamu untuk anaknya, apa menurutmu Ayah bisa menolaknya setelah kebaikan Om Bagas kepada kita Ra?" lanjut Ayah Pras yang di jawab dengan kebisuan Alira.
Hanya menangis, terisak tak mampu lagi mendebat kalimat Ayahnya yang penuh beban.
Beban dari hutang Budi yang ditanamkan Om Bagas di pundak Ayahnya, menjadikan Ayahnya tak berdaya.
Walaupun hanya sekedar untuk menolak keinginan Om Bagas, agar tak sampai mengorbankan perasaan anak kandungnya.
"Apa nggak ada cara lain selain pernikahan Yah? Bu?" lirih Alira, dengan wajahnya yang memelas, Beradu pandang dengan Ayah dan Ibunya.
"Nggak ada Ra..., Ayah minta maaf..." lirih Ayah Pras, memecahkan tangisan Alira, dengan bibirnya yang bergetar segera berdiri dari duduknya.
Setengah berlari masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan ayah dan ibunya.
Flashback selesai
Bersambung.
Hari itu adalah hari yang besar bagi Camila. Dia sudah tidak sabar untuk menikah dengan suaminya yang tampan. Sayangnya, sang suami tidak menghadiri upacara tersebut. Dengan demikian, dia menjadi bahan tertawaan di mata para tamu. Dengan penuh kemarahan, dia pergi dan tidur dengan seorang pria asing malam itu. Dia pikir itu hanya cinta satu malam. Namun yang mengejutkannya, pria itu menolak untuk melepaskannya. Dia mencoba memenangkan hatinya, seolah-olah dia sangat mencintainya. Camila tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah dia memberinya kesempatan? Atau mengabaikannya begitu saja?
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Kaindra, seorang pria ambisius yang menikah dengan Tanika, putri tunggal pengusaha kaya raya, menjalani kehidupan pernikahan yang dari luar terlihat sempurna. Namun, di balik semua kemewahan itu, pernikahan mereka retak tanpa terlihat-Tanika sibuk dengan gaya hidup sosialitanya, sering bepergian tanpa kabar, sementara Kaindra tenggelam dalam kesepian yang perlahan menggerogoti jiwanya. Ketika Kaindra mengetahui bahwa Tanika mungkin berselingkuh dengan pria lain, bukannya menghadapi istrinya secara langsung, dia justru memulai petualangan balas dendamnya sendiri. Hubungannya dengan Fiona, rekan kerjanya yang ternyata menyimpan rasa cinta sejak dulu, perlahan berubah menjadi sebuah hubungan rahasia yang penuh gairah dan emosi. Fiona menawarkan kehangatan yang selama ini hilang dalam hidup Kaindra, tetapi hubungan itu juga membawa komplikasi yang tak terhindarkan. Di tengah caranya mencari tahu kebenaran tentang Tanika, Kaindra mendekati Isvara, sahabat dekat istrinya, yang menyimpan rahasia dan tatapan menggoda setiap kali mereka bertemu. Isvara tampaknya tahu lebih banyak tentang kehidupan Tanika daripada yang dia akui. Kaindra semakin dalam terjerat dalam permainan manipulasi, kebohongan, dan hasrat yang ia ciptakan sendiri, di mana setiap langkahnya bisa mengancam kehancuran dirinya. Namun, saat Kaindra merasa semakin dekat dengan kebenaran, dia dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah dia benar-benar ingin mengetahui apa yang terjadi di balik hubungan Tanika dan pria itu? Atau apakah perjalanan ini akan menghancurkan sisa-sisa hidupnya yang masih tersisa? Seberapa jauh Kaindra akan melangkah dalam permainan ini, dan apakah dia siap menghadapi kebenaran yang mungkin lebih menyakitkan dari apa yang dia bayangkan?
Setelah dua tahun menikah, Sophia akhirnya hamil. Dipenuhi harapan dan kegembiraan, dia terkejut ketika Nathan meminta cerai. Selama upaya pembunuhan yang gagal, Sophia mendapati dirinya terbaring di genangan darah, dengan putus asa menelepon Nathan untuk meminta suaminya itu menyelamatkannya dan bayinya. Namun, panggilannya tidak dijawab. Hancur oleh pengkhianatan Nathan, dia pergi ke luar negeri. Waktu berlalu, dan Sophia akan menikah untuk kedua kalinya. Nathan muncul dengan panik dan berlutut. "Beraninya kamu menikah dengan orang lain setelah melahirkan anakku?"
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Naya Agustin, "aku mencintaimu, tapi cintamu untuknya. Aku istrimu, tapi kenapa yang memberi segalanya ayah mertuaku?" Kendra Darmawan, "kau Istriku, tapi ayahmu musuhku. Aku mencintamu, tapi sayang dosa ayahmu tak bisa kumaafkan." Rendi Darmawan, "Jangan pedulikan suamimu, agar aman dalam dekapanku."