/0/4363/coverbig.jpg?v=579bd1987aba38d90c313a7ff49b27c5)
"Lepaskan aku, Mas! Apa-apaan ini?" tanyaku gusar. Aku resah dan geram, takut kalau-kalau ada yang melihat aku dan Mas Dion dalam keadaan sedekat ini. Seberapa pun benarnya aku, tetap akan salah dimata mereka. "Kamu gila, Mas!" *** Viona tak menyangka, keputusannya untuk bersedia tinggal di rumah mertua, membuat ia terpuruk dalam problema pelik. Ia terperangkap dalam prilaku konyol Dion. Upaya Viona menyelesaikan permasalahan rumit rumah tangganya, membawa Viona pada fakta-fakta mengejutkan dan fakta tentang Dion. Sanggupkah, Viona bertahan? Mengapa Dion begitu berani menganggu Viona yang merupakan iparnya sendiri? Siapa Dion sebenarnya?
Suasana rumah berlantai dua ini sepi. Hanya ada aku dan Bayu-bayi sembilan bulanku yang telah tertidur pulas, usai kuberikan asupan ASI hampir setengah jam lamanya. Bayu kubiarkan tertidur di dalam Box Bayi, yang terletak di ruang tengah. Sementara aku di dapur menyiapkan semua pekerjaan yang masih terbengkalai. Tak lupa semua pintu kukunci, agar aku terbebas dari rasa was-was saat asyik bekerja nanti.
Kuraih piring kotor yang menumpuk di wastafel, dan mencucinya dengan cekatan. Karena, masih banyak pekerjaan yang menantiku setelahnya.
Terlarut beberapa saat oleh tugas-tugas yang masih menumpuk, tiba-tiba, aku dikejutkan oleh bunyi ketukan beruntun dipintu, diiringi suara laki-laki yang memanggil namaku. Aku melirik ke pintu kaca yang berada di sisi kiriku. Wajah lesu Mas Dion membias dari balik kaca, sambil memberikan isyarat padaku untuk membukakan pintu.
Bergegas kucuci tangan yang masih berlumuran busa sabun, mematikan air keran, dan menyeka kedua tangan pada washlap yang menggantung di hadapanku, lalu melangkah cepat ke pintu. Lelaki itu menatapku lesu.
Pintu kubuka pelan, sambil mengamati wajah Mas Dion-lelaki itu. Pasti ia mau ngetem lagi di kamar lamanya pagi ini. Padahal setiap ia pulang ke rumah di jam-jam segini, hatiku selalu risih, karena hanya ada aku, dia dan bayi sembilan bulanku di rumah yang cukup besar ini.
Mas Dion adalah kakak iparku yang kedua setelah Kak Dea, yang kini mengikuti suaminya tinggal di Jakarta. Kemudian baru suamiku-Mas Divo.
Mertuaku dua-duanya masih bekerja, Papa tahun ini pensiun sementara Mama dua tahun lagi. Nyaris setiap hari mereka tak pernah di rumah, selain hari libur kerja. Suamiku sendiri sudah dua bulan dipindah-tugaskan ke ibu kota. Ia hanya bisa pulang di hari Sabtu saja. Minggu sore sudah harus berangkat kembali ke ibu kota.
Sementara itu, Mas Dion? Dua bulan sudah ia juga tinggal disini.
Bertepatan dengan kepindahan suamiku, Mas Dion malah mendapatkan permasalahan dalam rumah tangganya. Hubungannya dengan Mbak Vera sedang dalam masa ujian berat. Khabar yang kudengar, Mas Dion telah mengucapkan kata cerai padanya.
Sebenarnya, Mas Dion itu ganteng. Tubuhnya atletis, kulit putih dan berhidung mancung. Walaupun ia dan Mas Divo sama-sama putih, tapi aku harus akui, Mas Dion lebih unggul selangkah dilihat dari face dan tubuhnya.
Keunggulan itulah yang membuat seorang putri konglomerat tergila-gila padanya. Mbak Vera yang merupakan putri tunggal pengusaha property di ibu kota. Sayang, hubungan mereka sedang melewati masa sulitnya.
"Nggak kerja ya, Mas?" tanyaku setelah pintu kubuka.
"Enggak! Mas masih pusing." jawabnya singkat, masih dengan ekspresi lesu. Ia melangkah ke dalam, kemudian duduk di kursi santai ruang keluarga yang terpajang televisi ukuran cukup besar di dindingnya.
"Vi, bikinkan Mas minum, ya?" pintanya kemudian setelah bobotnya ia henyakkan di lantai. Ia menyandarkan punggungnya di bibir kursi.
"Iya, Mas." jawabku kemudian. Aku langsung menuju dapur, mengambil gelas dan wadah. Kemudian memasukkan gula, kopi dan menyiramnya dengan air panas. Asap mengepul dari kopi yang kuseduh. Kemudian kuaduk dan membawanya ke hadapan Mas Dion.
"Makasi, ya? Kamu memang isteri idaman," ucapnya sambil tersenyum.
Aku terkejut. Kulihat ia kembali tersenyum sambil menatap padaku.
"Sayangnya ...."
"Sayangnya apa, Mas?" tanyaku heran.
"Sayangnya aku tak menemukan perempuan seperti kamu."
Aku makin kaget. Serasa dua pupil mata membesar karenanya. Sambil mengernyitkan kening, aku pun berlalu darinya dari hadapan Mas Dion. Sudut mataku masih dapat menangkap sunggingan senyum aneh di bibirnya.
Aku kembali ke dapur dan larut dengan pekerjaanku sebagai pengganti Mama mertuaku. Karena Mama memang tidak suka dengan ART. Tanpa peduli lagi apa yang ia kerjakan di ruang itu. Pekerjaan yang menumpuk menguras tenaga dan konsentrasiku. Cucuran keringat jatuh di pelipis dan kening.
Beberapa menit berlalu, gerakanku terhenti. Aku dikejutkan dengan suara tangisan Bayu dari ruang tengah--tempat ia kuletakkan tadi. Tanpa menunggu lagi segera kuberlari cepat menghampiri putra semata wayangku itu. Takut terjadi apa-apa bila terlalu lama membiarkan ia terbangun dan menangis sendiri.
Namun, baru saja tiba di pembatas ruang tengah dan ruang makan, langkahku tiba-tiba terhenti. Bayu sudah berada dalam gendongan Mas Dion. Ia terlihat berupaya menenangkan tangis Bayu sambil memeluk dan menciumi dengan hangat. Melebihi sikap yang pernah dilakukan Mas Divo. Aku terdiam mengamatinya.
Menyadari kehadiranku, ia mengangkat wajahnya menatapku, sambil mengusap-usap punggung Bayu yang menghadap padanya. Aku tersenyum, dia balas tersenyum.
Bayu masih saja merengek. Tak sanggup membiarkan anakku dengan tangisannya, kuulurkan tangan meraih Bayu dari gendongan Mas Dion. Ia menyerahkan Bayu padaku. Tanpa sadar tangannya sedikit menyentuh tubuh bagian depanku.
Aku terperanjat. Namun, ekspresi lelaki itu hanya datar saja. Ia seakan tak menyadarinya. Walau awalnya aku kaget, tapi melihat ia seperti tak menyadasinya, aku pun mengacuhkannya. Kurasa aku tak perlu membesar-besarkan masalah ini. Mungkin ia memang tak sengaja.
"Hai, ganteng. Jangan nangjs lagi! Kasian Mimi, capek kerja sendirian," ujarnya pada Bayu. Aku cuma tersenyum. Kemudian bersipa-siap hendak berlalu darinya. Namun, lagi-lagi langkahku terhenti. Mas Dion meraih jemari Bayu, dan mengajak Bayu bermain.
"Ganteng, sayang Papa Dion. Ci-luk ... ba! Ci-luk ... ba!" Aku tetsenyum, sekedar menghargai itikad baiknya menenangkan Bayu.
Bayu tertawa, Mas Dion ikut tertawa melihat tawa lucu anakku. Ia kemudian mendekat dan menciumi Bayu yang sedang dalam gendonganku. Aku terperanjat. Wajahnya terasa amat dekat denganku. Rambut ikalnya yang masih menguarkan aroma shampo, berada tepat di bawah wajahku. Aku merenggangkan tubuh dari Bayu. Menghindari rasa tak nyamanku.
"M-maaf, M-mas. A-aku bawa Bayu dulu, ya? Sepertinya dia haus," ujarku menghentikan keteganganku. Ia mengangkat wajahnya dan tersenyum, "Oh .... ya udah! Disini aja!" Aku mendelik. What!
"N-nggak, Mas. Di dalam aja. Bayu biasa sambil tiduran," kilahku padanya. Kemudian tanpa menunggu jawabannya, aku pun berlalu darinya dengan mentralkan rasa bergidik yang kurasakan. Masih dapat kulihat sungingan senyuman yang tiba-tiba hadir di sudut bibirnya. Entah apa maksudnya.
ADULT HOT STORY 🔞🔞 Kumpulan cerpen un·ho·ly /ˌənˈhōlē/ adjective sinful; wicked. *** ***
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Binar Mentari menikah dengan Barra Atmadja,pria yang sangat berkuasa, namun hidupnya tidak bahagia karena suaminya selalu memandang rendah dirinya. Tiga tahun bersama membuat Binar meninggalkan suaminya dan bercerai darinya karena keberadaannya tak pernah dianggap dan dihina dihadapan semua orang. Binar memilih diam dan pergi. Enam tahun kemudian, Binar kembali ke tanah air dengan dua anak kembar yang cerdas dan menggemaskan, sekarang dia telah menjadi dokter yang berbakat dan terkenal dan banyak pria hebat yang jatuh cinta padanya! Mantan suaminya, Barra, sekarang menyesal dan ingin kembali pada pelukannya. Akankah Binar memaafkan sang mantan? "Mami, Papi memintamu kembali? Apakah Mami masih mencintainya?"
Selama tiga tahun pernikahannya dengan Reza, Kirana selalu rendah dan remeh seperti sebuah debu. Namun, yang dia dapatkan bukannya cinta dan kasih sayang, melainkan ketidakpedulian dan penghinaan yang tak berkesudahan. Lebih buruk lagi, sejak wanita yang ada dalam hati Reza tiba-tiba muncul, Reza menjadi semakin jauh. Akhirnya, Kirana tidak tahan lagi dan meminta cerai. Lagi pula, mengapa dia harus tinggal dengan pria yang dingin dan jauh seperti itu? Pria berikutnya pasti akan lebih baik. Reza menyaksikan mantan istrinya pergi dengan membawa barang bawaannya. Tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul dalam benaknya dan dia bertaruh dengan teman-temannya. "Dia pasti akan menyesal meninggalkanku dan akan segera kembali padaku." Setelah mendengar tentang taruhan ini, Kirana mencibir, "Bermimpilah!" Beberapa hari kemudian, Reza bertemu dengan mantan istrinya di sebuah bar. Ternyata dia sedang merayakan perceraiannya. Tidak lama setelah itu, dia menyadari bahwa wanita itu sepertinya memiliki pelamar baru. Reza mulai panik. Wanita yang telah mencintainya selama tiga tahun tiba-tiba tidak peduli padanya lagi. Apa yang harus dia lakukan?
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?