/0/5403/coverbig.jpg?v=1d2c9eb51043951ddefb0c91dad709c7)
Jingga, seorang penari cerdas berbakat berdarah Flores-Jawa, mendapatkan beasiswa untuk mempelajari tari kontemporer di The Juilliard School. Ia berkenalan dengan Langit, seorang mahasiswa berdarah Korea-Indonesia yang mendapatkan beasiswa S2 Astrofisika Universitas Columbia. Perjumpaan keduanya melahirkan romansa cinta. Namun, dibalik indahnya rasa, keduanya sama-sama menyimpan trauma masa kecil, dan perbedaan-perbedaan prinsip yang membuat hubungan keduanya tak pernah mulus. Di persimpangan, muncul Dimas, teman masa kecil Jingga, dan Hannah, mantan kekasih Langit. Akankah hubungan Jingga dan Langit berakhir bahagia? Apakah cinta yang kuat cukup untuk membuat keduanya terus bersama?
[Jingga]
Daun-daun cokelat lusuh bertumpuk-tumpuk di atas tanah. Sesekali, tiupan angin kencang membuat dedaunan berterbangan hingga ke jalanan, beradu dengan aspal, dan menghadiahkan bunyi 'kreek...kreek' yang mengganggu telinga. Aku tak tahu, apakah orang-orang lain t.erganggu oleh bunyi itu. Barangkali tidak. Semua orang berjalan buru-buru seperti mengejar atau dikejar sesuatu, juga seperti ditunggu seseorang di tempat yang mereka tuju. Seseorang yang mungkin marah-marah jika mereka tidak tiba tepat waktu. Kuperhatikan seorang perempuan bertubuh tambun, yang memakai jajet musim gugur berwarna biru terang, dan memeluk kantong kertas berwarna cokelat tanah. Hijaunya bayam dan pasta yang bak lidi berwarna kuning pucat menyembul dari balik kantong, dan aku langsung membayangkan makan malam yang akan disantapnya bersama keluarganya. Pukul 15.45 waktu New York. Orang-orang akan makan malam sebelum jam enam sore, dan bagiku ini sungguh aneh. Di kamar kosku yang sempit di Jakarta, aku selalu makan setelah jam delapan malam. Setelah sebulan di kota ini, perutku malah serasa disesaki jutaan kecoa yang bergerak kesana kemari jika aku makan setelah jam enam sore.
Betapa ajaibnya cara tubuh menyesuaikan diri di tempat baru, mengikuti aturan-aturan yang sebelumnya tidak mengikatnya, namun mesti ia ikuti.
Sang ibu yang kuperhatikan menoleh ke arahku, lantas tersenyum menangguk. Kuperhatikan, meski selintas lalu, keriput memenuhi wajahnya, dan rambutnya yang sembunyi di bawah topi wol berwarna merah marun terlihat berwarna keperakan. Ia tampak tua, dan layu. Meski begitu, pupilnya yang cokelat terang memancarkan jenaka yang kanak-kanak. Membuatku teringat pada deskripsi heyoka, empath terkuat dalam tradisi suku Indian, suku asli negeri Amerika, yang digambarkan tua sekaligus kanak-kanak. Biasanya, empath berjenis kelamin laki-laki. Namun, entah mengapa, otakku menyusun sebuah cerita sendiri, tentang perempuan yang baru saja kulihat : ia seorang empath, dan bisa merasakan diriku yang sedang mengamatinya.
Aku balas tersenyum, ikut mengangguk. Lalu, terus melangkahkan kakiku. Kuperhatikan sepatu bootku. Cokelat karamel warnanya. Sungguh lucu. Semasa kanak-kanak, aku suka makan wafer cokelat karamel. Bahkan, berkelahi dengan satu-satunya adikku, Luis, yang suka makan apa pun yang manis-manis. Gigiku sampai berlubang, kecokelatan dan dipenuhi ulat karena kebiasaan buruk makan cokelat sebelum tidur. Setelah sakit gigi pada usia tujuh tahun, aku berhenti menyukai cokelat dan makanan yang manis-manis. Aku hanya mau makan buah-buahan saja. Tapi, setiba di New York, aku tak bisa tidak kembali menyukai makanan yang manis-manis. Chocolate chip cookies dan brownies, mocacino dan soda. Dan, entah mengapa, setiap hari aku mengenang mama.
Jika masih hidup, usianya akan lima puluh tujuh tahun. Seusia perempuan yang baru kulihat tadi. Setiap jam tiga petang, ia biasanya berdoa di kapela, gereja kecil di kampung, selama satu jam. Pada jam empat sore, ia mulai memasak makan malam. Bapak, yang saban hari berladang, akan makan saat matahari tenggelam. Sedangkan, ia dan adiknya makan pada jam tujuh malam. Mama selalu makan satu jam sebelum tidur. Ia membawa kebiasaan itu sejak sebelum menikah. Pagi-pagi, pukul empat, ia sudah bangun dan mengurusi barang dagangannya di pasar ; sayur mayur dan lauk pauk. Ia pulang ke rumah pada pukul sebelas, lantas memasak untuk makan siang, istirahat, ke gereja, memasak lagi, dan tidur. Setiap hari, ia mengulang pekerjaan yang sama.
"Mama tidak bosan?"
Pernah kutanyakan padanya pertanyaan yang ia anggap konyol itu.
"Bosan, tapi mama menyayangi kalian, dan karena mama menyayangi kalian, pekerjaan ini jadi tidak membosankan."
Aku tak mengerti mengapa mama tidak merasa hidupnya membosankan meski yang dilakukannya itu-itu saja. Bagiku, apa yang ia lakukan terlihat bukan saja membosankan, tapi juga bagai sebuah kutukan yang harus dijalani, tanpa ia punya pilihan lain. Aku tak ingin jadi sepertinya. Barangkali, karena itulah aku memilih berkesenian. Aku memilih menari. Membebaskan tubuhku dari sederetan aturan yang tak perlu. Hanya lewat tarianlah, aku menjadi pemberontak yang menang. Tubuhku mengawini ritme dan melodi, bukan keharusan menjadi begini atau begitu. Mama tak pernah menyetujui keputusanku untuk tekun menari. Tari tradisional pula!
"Hidup sebagai seniman bukan pilihan yang baik. Apalagi kau perempuan. Ada batas waktunya. Kau tidak mungkin menari seumur hidup..."
Ucapan mama membuat hatiku panas. Mengapa ia tak mendukungku? Bukankah seorang ibu seharusnya menduking keputusan anak perempuannya?
"Daripada jadi penari, lebih baik kau kuliah perbankan. Lalu, melamar jadi PNS atau karyawan bank."
Aku menolak ide-ide absurd dan kolot mama. Saat itu, bahkan hatiku yang sudah kadung panas, menuding mama ingin menjerumuskanku ke kehidupan yang sama membosankan seperti kehidupannya ; menjadi ibu rumah tangga. Kuperhatikan, biasanya, perempuan di kampung yang telah selesai kuliah akan dinikahkan oleh keluarganya. Aku tak mau memiliki nasib yang sama. Aku ingin mengisi otakku dengan macam-macam pengetahuan, menghubungkan setiap pengetahuan itu, dan merumuskan formula hidup yang mau kupakai. Aku ingin menjelajahi laut, bukit-bukit, dan menyusuri sungai. Aku ingin menjelajahi negeri-negeri jauh, bicara dalam bahasa asing dan menyerap kebiasaan yang bukan kebiasaanku.
Kuputuskan mengambil program studi seni tari, meninggalkan kampung, dan bersumpah tak akan pernah kembali kecuali untuk berlibur. Kuputuskan juga untuk tidak menikah, tidak mengikatkan diriku pada tugas membosankan yang tak mengenal kata purna.
Pada liburan terakhir, setelah diwisuda, mama meninggal. Aku menungguinya selama tiga puluh jam di rumah sakit, terjebak dalam rasa takut dan kecemasan yang membikin otakku membeku. Saat dokter mengatakan ia meninggal, aku seketika berubah menjadk robot. Kumatikan segenap tombol rasa. Setelah enam bulan kepergiannya, aku baru bisa menangisinya. Barangkali, ia juga baru bisa meninggalkanku selepas enam bulan itu. Ada kepercayaan di kampung kami, seseorang yang telah meninggal tidak pernah benar-benar pergi. Mereka akan terus mendampingi kerabatnya. Terutama anggota keluarga yang belum bisa melepas kepergian mereka. Kukira, itulah yang terjadi padaku. Berkali-kali aku melihat sosok mama. Dan, beberapa kali juga ia jadi suara yang menggema dalam batin, memberiku kekuatan untuk bertahan sambil memeluk erat kenanganku sebagai seorang kanak-kanak. Aku seperti melihat diriku dari sudut pandangnya, dan memahami betapa ia mencemaskan diriku dua kali lebih sering dari aku mencemaskan diriku sendiri. Betapa doa-doa yang ia panjatkan bukanlah doa untuk dirinya sendiri, melainkan doa untuk keluarganya. Dan, betapa perseteruan hebat antara ibu dan keluarganya, terjadi semata-mata karena ia membelaku, dan tidak ingin seorangpun mengusik pilihan hidupku.
Mama menukar hidupnya untuk hidupku. Dan, ketika aku melihat lagi dedaunan yang gugur ditiup angin sehingga bergerak bebas di jalanan, aku mengingat lagi saat-saat terakhir ketika ia bahkan tak bisa bernapas dengan leluasa, dan tubuhnya yang tambun menjadi tubuh tak berdaya umpama bayi yang baru lahir. Kehidupan manusia tak jauh berbeda dari apa yang terjadi pada pepohonan menjelang musim dingin. Seluruh daunnya gugur, agar ia bisa bertahan hidup. Kemudian, setelah melewati mati yang sementara itu, ia akan bersemi lagi. Ranting-ranting kembali bertunas. Kehidupan hadir lagi dalam perulangan bentuk, pada masa yang berbeda.
Entah mengapa, aku selalu yakin, kematian mama adalah kelahiran bagiku....
Chelsea mengabdikan tiga tahun hidupnya untuk pacarnya, tetapi semuanya sia-sia. Dia melihatnya hanya sebagai gadis desa dan meninggalkannya di altar untuk bersama cinta sejatinya. Setelah ditinggalkan, Chelsea mendapatkan kembali identitasnya sebagai cucu dari orang terkaya di kota itu, mewarisi kekayaan triliunan rupiah, dan akhirnya naik ke puncak. Namun kesuksesannya mengundang rasa iri orang lain, dan orang-orang terus-menerus berusaha menjatuhkannya. Saat dia menangani pembuat onar ini satu per satu, Nicholas, yang terkenal karena kekejamannya, berdiri dan menyemangati dia. "Bagus sekali, Sayang!"
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Ketika istrinya tak lagi mampu mengimbangi hasratnya yang membara, Valdi terjerumus dalam kehampaan dan kesendirian yang menyiksa. Setelah perceraian merenggut segalanya, hidupnya terasa kosong-hingga Mayang, gadis muda yang polos dan lugu, hadir dalam kehidupannya. Mayang, yang baru kehilangan ibunya-pembantu setia yang telah lama bekerja di rumah Valdi-tak pernah menduga bahwa kepolosannya akan menjadi alat bagi Valdi untuk memenuhi keinginan terpendamnya. Gadis yang masih hijau dalam dunia dewasa ini tanpa sadar masuk ke dalam permainan Valdi yang penuh tipu daya. Bisakah Mayang, dengan keluguannya, bertahan dari manipulasi pria yang jauh lebih berpengalaman? Ataukah ia akan terjerat dalam permainan berbahaya yang berada di luar kendalinya?
Ika adalah seorang ibu rumah tangga yang harus berjuang mencari nafkah sendiri karena suaminya yang sakit. Tiba-tiba bagai petir di siang bolong, Bapak Mertuanya memberikan penawaran untuk menggantikan posisi anaknya, menafkahi lahir dan batin.
"Aku sangat membutuhkan uang untuk membayar biaya pengobatan Nenek. Aku akan menggantikan Silvia untuk menikahi Rudy, segera setelah aku mendapatkan uangnya." Ketika saudara perempuannya melarikan diri dari pernikahan, Autumn terpaksa berpura-pura menjadi Silvia dan menikahi Rudy. Satu-satunya keinginannya adalah bercerai setelah satu tahun. Rudy adalah pria yang sangat kaya dan berkuasa. Namanya telah dikaitkan dengan banyak wanita. Rumornya, dia punya pacar yang berbeda untuk setiap hari dalam setahun. Mereka tidak menyangka bahwa mereka akan jatuh cinta dengan satu sama lain.
(Cerita mengandung FULL adegan dewasa tiap Babnya Rated 21++) Bertemu di kapal pesiar membuat dua pasangan muda mudi memiliki ketertarikan satu sama lain. Marc dan Valerie menemukan sosok yang berbeda pada pasangan suami istri yang mereka temui secara tidak sengaja di kapal pesiar. Begitu pula dengan Dylan dan Laura merasakan hal yang sama kepada Marc dan Valerie. Hingga sebuah ide tercetus di pikiran mereka karena rasa penasaran yang begitu besar. “Sayang, hanya satu hari, haruskah kita bertukar pasangan dengan Valerie dan Marc?” ucap Dylan menatap sang istri. Bagaimanakah kelanjutan kisah mereka? Apakah perselingkuhan ini akan berakhir atau membawa sebuah misteri kehidupan baru bagi kedua pasangan ini...
"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.