/0/5951/coverbig.jpg?v=209a7d760d44b871d97efb754d081315)
Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak-pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.
Cuaca cerah seakan kelabu, aku masih berdiri dengan kedua mata yang sembab.
Hari ini tepatnya ... aku akan berpisah dengan Dion.
Pria yang menjadi cinta pertamaku.
"Mel, maafkan aku ya, aku harus pergi ...." Ucapnya sambil mengelus rambutku dengan lembut. Dion juga tampak bersedih karena harus berpisah denganku.
Aku pun menangis sesenggukan, dengan suara berat tertahan, aku mengutarakan perasaanku yang teramat rapuh.
"... Dion jujur aku belum rela harus berpisah denganmu. Tapi Ibumu, lebih membutuhkanmu ... aku harap kamu baik-baik saja di sana, tolong jangan lupakan aku ...," tukasku dengan suara bergetar.
Dion memeluku dengan erat dia pun seolah tak ingin meninggalkan aku, tapi di sisi lain dia harus pindah keluar kota karena harus mengurus ibunya yang sedang sakit keras, ditambah lagi, sang ayah sudah menikah dan memiliki keluarga baru di Jakarta, tentu dia tak ingin membiarkan ibunya terlunta-lunta menahan rasa sakit sendirian. Begitu pun aku, yang juga tak ingin menjadi orang yang egois dan mengabaikan kesusahan orang lainya demi kebahagiaan cinta anak SMA, yang bisa dibilang hanya sekedar cinta monyet.
***
Aku mengenal Dion saat pertama kali masuk sekolah.
Kala itu kami sedang mengikuti kegiatan MOS (masa orientasi siswa)
dan aku tak sengaja bertemu Dion saat kami sama-sama dihukum.
"Ayo pokoknya yang telat datang hari ini akan mendapat hukuman ya!" kata kak Dela selaku ketua OSIS.
"Oh my God! Mati deh gue," gumamku panik.
"Tenang kamu gak sendiri kok, aku juga telat, " sahut seorang anak lelaki yang juga baru datang dan sekarang ada di sampingku.
"Wah untung ada teman, kalau egak pasti gue bakal malu banget nih," ujarku sambil menarik nafas lega.
"Oiya kenalin aku Dion, nama kamu siapa?"
tukasnya sambil mengulurkan tangan.
"Ah gue Melisa, seneng deh gue punya teman baru," sahutku seraya menjabat tangan pria itu.
Saat kami sedang asyik mengobrol dan berkenalan tiba-tiba terdengar suara yang melengking dari kejauhan
"WOY! kalian ini malah pacaran disini sih!" teriak Kak Dela dengan lantang, "berhubung kalian telat, jadi kalian dihukum bersihin toilet sekolah sekarang juga!" perintahnya.
Suara Kak Dela memang terkenal sangat cempreng.
Kadang kalau dia berteriak semua orang sampai menutup telinga.
Lalu aku dan Dion pun membersihkan toilet. Menuruti perintah Kak Dela.
'Hoek! Hoek!' Suara mulutku sambil menyikat WC sekolah. Aku tak tahan dengan baunya, terlebih aku jarang sekali membersihkan WC, di rumahku sudah ada ART yang selalu siaga membersihkan toilet dan mengerjakan tugas-tugas yang lainnya.
"Kamu kenapa Mel, kamu hamil ya?" tanya Dion dengan wajah polosnya.
Aku pun menyahuti ucapan Dion dengan nada murka.
"Woy enak aja punya mulut asal njeplak, emang gue cewek apaan main bunting-bunting aja! Gue muntah karna gak tahan tuh sama WC nomer 3 gak disiram! Iyuh ... mana bau banget!" keluhku jijik.
Sementara Dion malah tertawa geli melihat ekspresiku yang mungkin terlihat lucu di matanya.
"Iya maaf, eh ... Mel, mulai sekarang ngomongnya 'aku-kamu' aja ya, biar kelihatan imut gitu jangan 'lo-gue' kesanya kayak Abang-abang Preman Tanah Abang, yang lagi malak!" ucap Dion dengan nada bercanda.
Saat Dion berbicara seperti itu, entah mengapa aku jadi deg-degkan padahal hanya bercandaan Dion yang super-duper garing, tapi aku merasa bahagia dan mulai merasa nyaman dengan keberadaan Dion. Mulai dari situ kami pun semakin akrab.
Aku dan Dion selalu bersama-sama bahkan kami juga duduk dalam satu bangku di kelas 10 A.
Dion adalah teman pertamaku saat SMA dan siapa sangka dia pun juga menjadi cinta pertamaku.
***
Di dalam kelas yang sepi di jam istirahat, semua siswa dan siswi sedang berada di kantin, tapi tidak denganku saat itu.
Karna aku sedang tidak enak badan jadi nafsu makan pun berkurang, lalu aku memutuskan untuk diam dikelas dan memilih tidur dengan menaruh kepalaku di atas bangku.
Tak lama Dion menghampiriku.
"Mel kamu sakit ya? Badan kamu panas nih," Dia menyentuh keningku.
"Hm ... iya ni gue sakit, Dion, eh 'aku' maksudnya," jawabku yang hampir saja memanggi diriku sendiri dengan sebutan 'gue' kata yang tak disukai oleh Dion.
"Apa yang kamu rasakan?" tanya Dion.
"Badan aku gak enak, aku mual, kepalaku juga pusing," jawabku.
"Hah kamu hamil?"
Sahut Dion sambil ngegas dengan nada sopran.
Astaghfirullah! Lagi-lagi mulutnya asal njeplak dan menuduhku hamil!
"Woy! Enak aja lu kalau ngomong jangan asal nyerocos dong! Nanti kalau kedengeran orang disangka beneran lagi!" ocehku.
"Hehe bercanda Mel, marah mulu kayak orang darah tinggi aja, yaudah kita ke klinik yuk!" ajaknya.
"Ah enggak ah ... aku tidur aja," jawabku
"Terus kamukan belum makan, aku beli makan dulu ya buat kamu!" ucap Dion sambil berdiri dari tempat duduknya.
"Ah gak usah, aku gak papa kok," ujarku lemas, karna aku memang benar-benar sedang tidak ingin makan apapun untuk saat ini.
"Udah kamu diem aja ya!" teriak Dion yang tetap ngeyel.
Aku pun pasrah, dan kembali menaruh wajahku di atas meja.
Beberapa menit kemudian dia membawa banyak makanan dari kantin beserta obat masuk angin cair dicampur dengan teh hangat.
Sambil menepuk pelan pundaku yang sedang tidur menunduk dibangku, dia memanggil namaku.
"Mel, ini kamu makan dulu ... aku suapin ya?"
Mendengarnya aku langsung mengangkat kepalaku pelan-pelan.
"Hah ... buset banyak amat ni makanan lu ngegondol dari mana?!" teriakku dengan bahasa nyablak, kalau kata orang Betawi. Aku berbicara dengan logat ala orang Betawi, padahal aku adalah gadis berdarah Jawa. Hanya saja karna lahir dan dibesarkan di Jakarta, membuatku menjadi ikut membaur dengan penduduk asli sini.
"Sembarangan aja 'ngegondol' emang aku kucing gondol ikan! Aku mah Pangeran yang ngegondol hati kamu, tau ...." Ucap Dion dengan senyum sok imutnya.
"Iyuh, gombal lu!" ujarku dengan nada sewot seolah tak suka dengan gombalan Dion, padahal dalam hatiku, aku sangat menyukainya dan bahagia dengan gombalan-gombalan norak itu.
"By the way, anyway, busway, ngomongnya jangan 'lu-gue' dong aku gak suka ah entar aku ngambek lo," Dion kembali memang wajah sok imutnya kali ini dengan ekspresi cemberut.
Aku pun juga tak mau kalah imut darinya.
"Yaelah lebay banget sieh kamuh ...!" Nada suaraku sengaja kubuat agak bindeng.
Dion malah menertawakanku. Lalu dia menyodorkan teh hangat untukku.
"Dah ni minum aja gak usah ngambek mulu entar cepet tua tambah jelek lo!" ujarnya.
*****
Kami pun pulang dengan mengendari angkutan umum. Lalu berhenti di perempatan jalan gang masuk, kami memang searah, dan rumah Dion pun tak begitu jauh dari rumahku.
Saat kami berjalan kaki, tiba-tiba kepalaku mendadak pusing, lalu aku tak sadarkan diri.
Beberapa saat kemudian ... entah apa yang terjadi tiba-tiba aku sudah bangun dan berada diatas sofa rumahku.
"Loh kok aku tau-tau ada disini sih?" tanyaku pada Dion heran.
"Iya Mel, kamu tadi pingsan jadi aku bawa kerumah aja," tegas Dion
"Oh makasi ya Dion kamu udah gendong aku sampek sini, untungnya aku gak gendut, jadi kamu gak keberatan, gendongnya," ujarku dengan nada bercanda.
"Ye gak berat apaan! Kamu emang kurus tapi badan kamu tetap berat! Soalnya kebanyakan dosa sih!" celetuk Dion meledek.
"Ah apaan si lu!" sengutku kesal.
"Udah jangan marah yang penting kamu makan dulu abis itu minum obat, tadi aku panggil Bidan yang tinggal di samping rumah kamu itu, untuk memeriksa keadaanmu," pungkas Dion.
Aku sampai kaget mendengarnya, karna mengapa harus panggil Bidan? Padahal aku ini tidak hamil?
"Dion! Kamu sampai panggil Bidan?" teriakku heboh. Dan Dion malah tampak bengong.
"Pasti kamu masih mikir kalau aku ini hamil ya?"
Sambil menghela nafas kesal, Dion menjawab pertanyaanku.
"Duh kamu tu seuzon mulu, emang periksa bidan kusus buat orang hamil doang?" ucapnya.
sejenak aku diam dan bicara dalam hati 'Oiya ya, 'kan bidan juga bisa ngobatin orang sakit gak cuman orang lahiran aja, aduh malunya ...!' Aku menepuk kening sendiri.
Setelah itu Dion tak langsung pulang ke rumahnya, justru dia malah menemaniku yang sedang sakit sendirian, karena waktu itu ayah dan ibu sedang diluar kota, si Embak yang bekerja dirumahku juga sedang pulang kampung.
jadilah apa saja kulakukan sendiri. Mungkin Dion tak tega untuk meninggalkanku.
Saat aku sedang meringkuk di sofa, Dion mengambilkan selimut untukku.
Terasa begitu nyaman, karena memang kala itu tubuhku sedang menggigil kedinginan.
Aku mulai memejamkan mata, tiba-tiba Dion, menggengam tanganku dengan pelan, tapi semakin lama genggaman itu semakin erat. Mendadak suasana menjadi senyap. Dan jantungku seolah ingin loncat. Karena aku berfikir pasti Dion akan menyatakan perasannya kepadaku ....
Ternyata dugaanku memang benar, Dion menyatakan perasaannya kepadaku. Atau dalam bahasa gaulnya 'nembak'
"Mel, sebenarnya aku suka sama kamu. Kamu mau enggak jadi pacar aku?"
Bersambung ....
Chika Nada Juwita, si gadis bertubuh gempal imut dan ceria, jatuh cinta kepada teman satu kelasnya bernama Kevin Devano. Siswa pindahan yang super dingin, angkuh, dan juga sangat perfeksionis. Kevin mempunyai selera yang tinggi terhadap wanita. Meski begitu Chika tak pernah menyerah dan terus berjuang untuk mendapatkan hati Kevin. Lalu akankah Chika berhasil mendapatkan hati Kevin?
Warning!!!!! 21++ Aku datang ke rumah mereka dengan niat yang tersembunyi. Dengan identitas yang kupalsukan, aku menjadi seorang pembantu, hanyalah bayang-bayang di antara kemewahan keluarga Hartanta. Mereka tidak pernah tahu siapa aku sebenarnya, dan itulah kekuatanku. Aku tak peduli dengan hinaan, tak peduli dengan tatapan merendahkan. Yang aku inginkan hanya satu: merebut kembali tahta yang seharusnya menjadi milikku. Devan, suami Talitha, melihatku dengan mata penuh hasrat, tak menyadari bahwa aku adalah ancaman bagi dunianya. Talitha, istri yang begitu anggun, justru menyimpan ketertarikan yang tak pernah kubayangkan. Dan Gavin, adik Devan yang kembali dari luar negeri, menyeretku lebih jauh ke dalam pusaran ini dengan cinta dan gairah yang akhirnya membuatku mengandung anaknya. Tapi semua ini bukan karena cinta, bukan karena nafsu. Ini tentang kekuasaan. Tentang balas dendam. Aku relakan tubuhku untuk mendapatkan kembali apa yang telah diambil dariku. Mereka mengira aku lemah, mengira aku hanya bagian dari permainan mereka, tapi mereka salah. Akulah yang mengendalikan permainan ini. Namun, semakin aku terjebak dalam tipu daya ini, satu pertanyaan terus menghantui: Setelah semua ini-setelah aku mencapai tahta-apakah aku masih memiliki diriku sendiri? Atau semuanya akan hancur bersama rahasia yang kubawa?
Setelah dua tahun menikah, Sophia akhirnya hamil. Dipenuhi harapan dan kegembiraan, dia terkejut ketika Nathan meminta cerai. Selama upaya pembunuhan yang gagal, Sophia mendapati dirinya terbaring di genangan darah, dengan putus asa menelepon Nathan untuk meminta suaminya itu menyelamatkannya dan bayinya. Namun, panggilannya tidak dijawab. Hancur oleh pengkhianatan Nathan, dia pergi ke luar negeri. Waktu berlalu, dan Sophia akan menikah untuk kedua kalinya. Nathan muncul dengan panik dan berlutut. "Beraninya kamu menikah dengan orang lain setelah melahirkan anakku?"
Karena sebuah kesepakatan, dia mengandung anak orang asing. Dia kemudian menjadi istri dari seorang pria yang dijodohkan dengannya sejak mereka masih bayi. Pada awalnya, dia mengira itu hanya kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak, namun akhirnya, rasa sayang yang tak terduga tumbuh di antara mereka. Saat dia hamil 10 bulan, dia menyerahkan surat cerai dan dia akhirnya menyadari kesalahannya. Kemudian, dia berkata, "Istriku, tolong kembalilah padaku. Kamu adalah orang yang selalu aku cintai."
Sejak kecil Naura tinggal bersama dengan asisten Ayahnya bernama Gilbert Louise Tom, membuat Naura sedari balita sudah memanggilnya "Dady". Naura terus menempel pada laki-laki yang menyandang gelar duda tampan dan kekar berusia 40 tahun. Diusianya yang semakin matang laki-laki itu justru terlihat begitu menggoda bagi Naura.
Evelyn, yang dulunya seorang pewaris yang dimanja, tiba-tiba kehilangan segalanya ketika putri asli menjebaknya, tunangannya mengejeknya, dan orang tua angkatnya mengusirnya. Mereka semua ingin melihatnya jatuh. Namun, Evelyn mengungkap jati dirinya yang sebenarnya: pewaris kekayaan yang sangat besar, peretas terkenal, desainer perhiasan papan atas, penulis rahasia, dan dokter berbakat. Ngeri dengan kebangkitannya yang gemilang, orang tua angkatnya menuntut setengah dari kekayaan barunya. Elena mengungkap kekejaman mereka dan menolak. Mantannya memohon kesempatan kedua, tetapi dia mengejek, "Apakah menurutmu kamu pantas mendapatkannya?" Kemudian seorang tokoh besar yang berkuasa melamar dengan lembut, "Menikahlah denganku?"
Setelah menghabiskan malam dengan orang asing, Bella hamil. Dia tidak tahu siapa ayah dari anak itu hingga akhirnya dia melahirkan bayi dalam keadaan meninggal Di bawah intrik ibu dan saudara perempuannya, Bella dikirim ke rumah sakit jiwa. Lima tahun kemudian, adik perempuannya akan menikah dengan Tuan Muda dari keluarga terkenal dikota itu. Rumor yang beredar Pada hari dia lahir, dokter mendiagnosisnya bahwa dia tidak akan hidup lebih dari dua puluh tahun. Ibunya tidak tahan melihat Adiknya menikah dengan orang seperti itu dan memikirkan Bella, yang masih dikurung di rumah sakit jiwa. Dalam semalam, Bella dibawa keluar dari rumah sakit untuk menggantikan Shella dalam pernikahannya. Saat itu, skema melawannya hanya berhasil karena kombinasi faktor yang aneh, menyebabkan dia menderita. Dia akan kembali pada mereka semua! Semua orang mengira bahwa tindakannya berasal dari mentalitas pecundang dan penyakit mental yang dia derita, tetapi sedikit yang mereka tahu bahwa pernikahan ini akan menjadi pijakan yang kuat untuknya seperti Mars yang menabrak Bumi! Memanfaatkan keterampilannya yang brilian dalam bidang seni pengobatan, Bella Setiap orang yang menghinanya memakan kata-kata mereka sendiri. Dalam sekejap mata, identitasnya mengejutkan dunia saat masing-masing dari mereka terungkap. Ternyata dia cukup berharga untuk menyaingi suatu negara! "Jangan Berharap aku akan menceraikanmu" Axelthon merobek surat perjanjian yang diberikan Bella malam itu. "Tenang Suamiku, Aku masih menyimpan Salinan nya" Diterbitkan di platform lain juga dengan judul berbeda.