/0/6109/coverbig.jpg?v=cf942bb99b8fc29cfd071d9f0d1e127f)
Aku dan kakak lelakiku telah sama-sama berkeluarga. Rumah kami pun berdekatan. Sudah sejak lama, kakak ipar dan suamiku merantau di ibu kota. Aku mengabaikan kedekatan mereka, karena memang saudara ipar. Namun, saat mereka pulang bersama dan terlihat makin dekat. Aku dan kakakku mulai curiga. Benarkah kecurigaan kami itu?
"Ayo, Buk. Buruan berangkat. Aku dah gak sabar pengen ketemu Bapak," Teriak bocah lelakiku yang masih berusia tiga tahun. Sudah sejak semalam anak itu terus menerus merengek, tak sabar ingin segera menjemput kepulangan Bapaknya di Terminal bus Pacitan.
Sudah dua tahun Mas Tirta merantau ke Malaysia, mengadu nasip untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami ini. Sejak Bagas baru berusia satu tahun, anak kecil itu harus rela berjauhan dengan Bapaknya. Mereka hanya sesekali bercengkrama lewat video call.
Lalu, tiga hari lalu. Ketika Mas Tirta mengabarkan kepulangannya, Bagas tiap saat selalu merengek. Bertanya kapan bapaknya akan tiba di rumah. Puncaknya adalah tadi malam, Mas Tirta memjnta kami untuk menjemput di Terminal bus.
Karena kebetulan, ia pulang berbarengan dengan Mbak Kirana, istri kakakku satu-satunya. Mas Catra. Yang setahun belakangan ini bekerja di Ibu kota. Entah karena apa, sebelum ia pergi ke sana, yang kutau sesekali terdengar pertengkaran antara mbak Kirana dan Mas Catra. Mungkin karena keadaan ekonomi yang belum stabil, hingga akhirnya Mbak Kirana memutuskan untuk bekerja di Jakarta.
Karena Mas Catra tidak mungkin Jauh-jauh dari rumah, keahliannya sebagai tukang kayu sering kali membuatnya kewalahan. Akibat saking banyaknya orang memesan meja kursi dan lainnya.
Maka hari ini, aku dan Bagas. Juga Mas Catra dan anaknya telah bersepakat untuk menjemput pasangan kami yang baru pulang dari perantauan. Kami meminta bantuan tetangga yang telah memiliki mobil, untuk mengantarkan kami ke Terminal.
"Ayo, Buk!" Suara Bagas lagi, ketika aku masih memasang cardigan dengan terburu-buru. Lalu segera menyusul bocah yang sudah bersemangat itu, menuju mobil di halaman.
"Pak De udah datang belum?" Tanyaku memastikan.
"Udah, kok. Tuh, Pak De sama Mbak Mega nunguin di depan." Tunjuknya ke arah luar, ketika tangan mungilnya kugandeng melewati pintu depan dan menguncinya.
"Mbak!" Anak lelakiku berseru. Berhambur ke arah Mbaknya yang hanya berselisih satu tahun saja. Sejak kecil mereka terbiasa main bersama karena rumah kami yang memang berdekatan.
Ia mendekat sepupunya yang sudah berlonjak kegirangan. Berebut masuk mobil ketika Pak Anding membuka pintunya.
"Pelan-pelan, masuknya gantian," Ucap Mas Catra. Pria penyabar itu terkadang menemani dua bocah balita ketika aku sedang repot, atau pergi ke pasar. Begitu juga jika Mas Catra sedang ada panggilan kerja, anaknya akan dititipkan di rumahku.
Saking seringnya bersama, membuat anak kami saling menyayangi satu sama lain. Seperti saudara kandung sendiri.
"Apa mereka sudah sampai di Terminal?" Tanya Mas Catra ketika kami sudah berada di dalam mobil yang melaju kencang. Sementara anak-anak kami berceloteh riang.
"Mungkin sudah, Mas. Emang Mbak Kirana ndak ngasih kabar?" Tanyaku pada Mas Catra. Ia hanya menggeleng, "cuma tadi pagi, katanya sekitar jam tiga sore nyampai terminal," Jawabnya langsung menunduk. Aneh sekali, istri pulang kok wajahnya ditekuk? Tanyaku dalam hati. Namun, tak sampai hati menanyakan. Mengingat, pertengkaran yang kerap terjadi di antara mereka.
Pikiranku kembali ketika benda pipih dalam tas berbunyi nyaring. Nama Mas Tirta memenuhi layar. Sebelum menekan tombol hijau, terlebih dahulu kuarahkan layar itu pada Mas Catra. Agar ia tau, yang ditunggu mungkin sudah tiba di terminal.
"Iya, Mas?" Sapaku pada suami di seberang telepon.
"Udah berangkat, belum? Aku sama Mbak Kirana udah di Terminal ini," Suara Mas Tirta timbul tenggelam karena riuhnya suara di sana.
"Iya, Mas. Kami sudah perjalanan, sebentar lagi sampai kok," Jawabku menenangkan Mas Tirta yang sepertinya sudah lelah. Perjalanan jauh mungkin saja membutuhkan untuk segera merebahkan badan.
"Ok. Tak tunggu, ya,"
"Iya, Mas," Jawabku menenangkan sebelum sambungan telepon itu terputus. Lalu menengok ke arah Mas Catra yang memasang muka penuh tanya.
"Mereka sudah sampai, Mas," Ucapku penuh semangat. Jadi tak sabar ingin segera bertemu dengan belahan jiwa yang telah sekian lama berpisah.
Mobil mulai memasuki gerbang tinggi bertuliskan Terminal bus kota Pacitan. Anak-anak langsung meloncat dari tempat duduknya, mengintip keadaan luar melalui kaca jendela mobil. Begitu semangatnya mereka menyebutkan satu persatu mobil dan bus yang dilihatnya. Maklum saja, anak desa yang baru beberapa kali menginjakkan kaki di daerah kota.
Apalagi, ketika mobil berhenti di depan orang dirindukan. Tangan mungilnya melambai-lambai dan berteriak memanggil orang terkasih. Pak Anding membuka pintu mobil, mereka langsung meloncat girang. Berlari menubruk masing-masing orang yang ditunggu kedatangannya selama ini.
Mas Tirta memeluk erat anak lelakinya, serta menciumnya beberapa kali. Lantas menatap ke arahku, ketika aku berjalan mendekat, dengan menerbitkan senyum manis penuh kerinduan mendalam.
"Mas," Ucapku. Mengulurkan tangan, menyalami dan menempelkan punggung tangannya pada hidung dan kening ini. Tak ada kata terucap, hanya memperlama menggenggam tangan kokoh itu. Mewakilkan sejuta ungkapan rindu mengungkung jiwa.
Apalagi melihat senyum pada wajah tegas berhias bulu halus tumbuh di dagu dan bawah hidung mancung. Wajah yang selalu membuat hati ini kian meleleh, enggan melirik yang lain. Ah, mungkin kedengarannya lebay. Tapi inilah aku, wanita setia sehidup semati. Semuanya hanya untuk dia seorang. Semuanya hanya untuk kebahagiaannya.
Iya, meski dari dulu sesekali Mas Tirta memperlihatkan sikap dingin dan datar. Namun, aku selalu luluh dengan rayuan maut ketika ia hendak meminta maaf karena telah membuat kecewa hati ini.
"Kamu, apa kabar?" Tanya Mas Tirta dengan suaranya yang khas di telinga ini.
"Seperti yang Mas lihat, aku baik. Apalagi ketika dengar Mas pulang," Sahutku tak kalah dramatis. Ia mengusap pucuk kepala berambut lurus sebahu ini.
"Kita makan dulu, apa langsung pulang, Mas?" Tanya Mas Tirta pada Mas Catra.
"Langsung pulang saja, kalian pasti butuh segera istirahat," Jawab Mas Catra yang langsung di setujui oleh suamiku.
Setelah membawa seluruh oleh-oleh mereka yang berupa tas besar dan kardus. Kami semua naik kembali ke dalam mobil. Pak Anding membawa kami melaju dengan kecepatan sedang. Selama di perjalanan pulang menuju rumah ini, aku melihat Mas Catra tak banyak bicara dengan istrinya. Meski baru ketemu setelah berpisah setahun lamanya.
Mungkin, mereka tidak terbiasa bermesraan di depan orang lain. Pikirku berusaha tenang. Meski sebenarnya ada yang sedikit mengusik kepala ini. Sejak tadi, Mas Tirta dan Mbak Kirana sesekali saling menatap dan tersenyum tipis, nyaris tak terlihat jika orang belum terbiasa di dekatnya.
Apa itu juga yang membuat Mas Catra enggan berbicara dengan istrinya? Ah, entahlah. Aku menggelengkan kepala dengan cepat, berusaha menepis pikiran buruk yang bisa saja semakin memperkeruh keadaan.
Toh, tatapan mereka wajar. Tak ada yang aneh, mungkin hanya aku saja merasa aneh. Lagipula tak ada salahnya, jika kepada saudara ipar saling bertegur sapa. Tak ada larangan, bukan?
Kami turun ketika mobil berhenti di depan rumah. Lalu kembali berjalan mengantarkan mas istrinya pulang ke rumah yang terletak hanya dua ratus meter dari sini. Jarak lumayan dekat untuk ukuran dua bersaudara yang telah membina rumah tangga masing-masing.
Di sini aku sekarang, bercengkrama bersama anak dan suami tercinta. Setelah membedah semua oleh-oleh yang dibawa Mas Tirta, kami saling berbagi cerita tentang apa saja untuk melepas kerinduan ini.
Apalagi Bagas, jagoan kami. Tak henti-hentinya lengan mungil itu bergelayut manja di leher Bapaknya. Meski telah beberapa kali aku membujuk untuk melepas Bapaknya supaya bisa beristirahat, yang ada anak itu malah merajuk.
"Bagas, Bapak kan capek. Biar istirahat dulu, ya. Bagas main dulu sama robot barunya ini," Bujuk ku dengan menyodorkan robot baru dari Bapaknya. Akhirnya anak itu mengangguk. Melepaskan leher Bapaknya yang segera bangkit.
Gawai tak jauh dariku itu meraung, nampak ada tanda panggilan. Sekilas dapat terbaca tulisan di layar itu, bernama Kiran. Mas Tirta langsung menyambar gawai itu dan meminta ijin ke depan. Menimbulkan rasa penuh tanya dalam benak ini. Jika benar yang memanggil tadi adalah Mbak Kirana untuk apa?
Kenapa Mas Tirta harus menjauh dariku ketika mengangkat telepon darinya? Jika hanya sekedar bertanya kabar, bukankah dari jakarta mereka sudah satu kendaraan? Karena rasa penasaran, badan ini bangkit hendak memastikan apa yang dibicarakan.
***
Blurb Cakra adalah pemuda yatim piatu yang sajak kecil diasuh oleh pamannya. Karena kondisi keluarga paman yang kurang baik, bibi pun memarahinya setiap hari tanpa alasan yang jelas. Hingga suatu saat, paman terlilit hutang pada salah satu keluarga kaya dan tak bisa melunasinya. Maka, cakra yang harus menjadi jaminan, dengan menikahi salah satu anak dari keluarga kaya itu. Masalah belum usai, cakra masih harus menerima perlakuan dari mertua yang kurang suka padanya, karena perbedaan kasta.
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Blurb : Adult 21+ Orang bilang cinta itu indah tetapi akankah tetap indah kalau merasakan cinta terhadap milik orang lain. Milik seseorang yang kita sayangi
Novel ini berisi kompilasi beberapa cerpen dewasa terdiri dari berbagai pengalaman percintaan penuh gairah dari beberapa karakter yang memiliki latar belakang profesi yan berbeda-beda serta berbagai kejadian yang dialami oleh masing-masing tokoh utama dimana para tokoh utama tersebut memiliki pengalaman bercinta dengan pasangannya yang bisa membikin para pembaca akan terhanyut. Berbagai konflik dan perseteruan juga kan tersaji dengan seru di setiap cerpen yang dimunculkan di beberapa adegan baik yang bersumber dari tokoh protagonis maupun antagonis diharapkan mampu menghibur para pembaca sekalian. Semua cerpen dewasa yang ada pada novel kompilasi cerpen dewasa ini sangat menarik untuk disimak dan diikuti jalan ceritanya sehingga menambah wawasan kehidupan percintaan diantara insan pecinta dan mungkin saja bisa diambil manfaatnya agar para pembaca bisa mengambil hikmah dari setiap kisah yan ada di dalam novel ini. Selamat membaca dan selamat menikmati!
Yolanda mengetahui bahwa dia bukanlah anak kandung orang tuanya. Setelah mengetahui taktik mereka untuk memperdagangkannya sebagai pion dalam kesepakatan bisnis, dia dikirim ke tempat kelahirannya yang tandus. Di sana, dia menemukan asal usulnya yang sebenarnya, seorang keturunan keluarga kaya yang bersejarah. Keluarga aslinya menghujaninya dengan cinta dan kekaguman. Dalam menghadapi rasa iri adik perempuannya, Yolanda menaklukkan setiap kesulitan dan membalas dendam, sambil menunjukkan bakatnya. Dia segera menarik perhatian bujangan paling memenuhi syarat di kota itu. Sang pria menyudutkan Yolanda dan menjepitnya ke dinding. "Sudah waktunya untuk mengungkapkan identitas aslimu, Sayang."
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Aku, Rina, seorang wanita 30 Tahun yang berjuang menghadapi kesepian dalam pernikahan jarak jauh. Suamiku bekerja di kapal pesiar, meninggalkanku untuk sementara tinggal bersama kakakku dan keponakanku, Aldi, yang telah tumbuh menjadi remaja 17 tahun. Kehadiranku di rumah kakakku awalnya membawa harapan untuk menemukan ketenangan, namun perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui setiap langkahku. Aldi, keponakanku yang dulu polos, kini memiliki perasaan yang lebih dari sekadar hubungan keluarga. Perasaan itu berkembang menjadi pelampiasan hasrat yang memaksaku dalam situasi yang tak pernah kubayangkan. Di antara rasa bersalah dan penyesalan, aku terjebak dalam perang batin yang terus mencengkeramku. Bayang-bayang kenikmatan dan dosa menghantui setiap malam, membuatku bertanya-tanya bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan beban ini. Kakakku, yang tidak menyadari apa yang terjadi di balik pintu tertutup, tetap percaya bahwa segala sesuatu berjalan baik di rumahnya. Kepercayaannya yang besar terhadap Aldi dan cintanya padaku membuatnya buta terhadap konflik dan ketegangan yang sebenarnya terjadi. Setiap kali dia pergi, meninggalkan aku dan Aldi sendirian, ketakutan dan kebingungan semakin menguasai diriku. Di tengah ketegangan ini, aku mencoba berbicara dengan Aldi, berharap bisa menghentikan siklus yang mengerikan ini. Namun, perasaan bingung dan nafsu yang tak terkendali membuat Aldi semakin sulit dikendalikan. Setiap malam adalah perjuangan untuk tetap kuat dan mempertahankan batasan yang semakin tipis. Kisah ini adalah tentang perjuanganku mencari ketenangan di tengah badai emosi dan cinta terlarang. Dalam setiap langkahku, aku berusaha menemukan jalan keluar dari jerat yang mencengkeram hatiku. Akankah aku berhasil menghentikan pelampiasan keponakanku dan kembali menemukan kedamaian dalam hidupku? Atau akankah aku terus terjebak dalam bayang-bayang kesepian dan penyesalan yang tak kunjung usai?
"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.