/0/6141/coverbig.jpg?v=23f624febf9d6025c22cb6b376e23c08)
Akibat trauma di masa lalu, seorang ibu bernama Fania tega mengurung putrinya---Sarah, hingga bertahun-tahun.
Akibat trauma di masa lalu, seorang ibu bernama Fania tega mengurung putrinya---Sarah, hingga bertahun-tahun.
"Selamat yah Mbak, anaknya berjenis kelamin perempuan. Dia sehat dan sangat cantik, sama seperti ibunya."
Ucapan bidan berhijab putih itu seketika membuat wajah seorang perempuan muda yang baru saja melahirkan tampak syok. Ia menelaan air ludahnya sendiri, dengan kening dibanjiri oleh keringat dingin.
***
Tepat pukul satu malam, beberapa warga yang sedang bertugas meronda berkeliling kampung tiba-tiba dikagetkan oleh suara tangisan bayi dari arah sebuah rumah terpencil dekat hutan.
Mereka langsung saling bertatapan satu sama lain dengan dahi yang mengerut. Senter lalu diarahkan ke rumah tersebut.
Rumah sederhana yang bercat biru dongker itu terlihat sepi seperti tidak berpenghuni. Para warga tadi pun kembali saling bertatapan.
"Itu suara tangisan bayinya Mbak Farah bukan, yah?" tanya salah satu dari mereka.
"Hus, bayinya Mbak Farah 'kan sudah meninggal sesaat setelah dilahirkan." Mereka kebingungan dan menggaruk-garuk kepala.
"Iya saya lupa, Mbak Farah cuma tinggal sendiri di rumah itu, lalu tadi tangisan bayi siapa, dong? Di kampung ini 'kan tidak ada yang punya bayi. Jangan-jangan---"
Ucapan salah satu dari warga itu terpotong, karena suara tangisan bayi tadi kembali terdengar dan lebih keras dari yang sebelumnya.
Mereka sangat kaget dan akhirnya lari kocar-kacir karena ketakutan. Salah satu dari mereka bahkan ada yang jatuh menggelinding di jalan menurun akibat tersandung batu.
Ada juga yang berlari salah arah. Warga lain berlari ke arah kanan, dia ke arah kiri karena terlalu panik. Mereka pulang ke rumah masing-masing dan tidak melanjutkan tugasnya.
***
Sinar matahari mulai menyinari bumi. Embun pagi pun tampak berkilau menyejukan mata siapa pun yang melihatnya.
Para warga seperti biasa menjalani aktivitas di pagi hari. Ibu-ibu berkerumun di warung---membeli sayuran---untuk dimasak hari ini.
Mereka memilih sayuran sambil berbincang tentang masalah harga minyak yang melonjak tinggi, hingga membicarakan tetangga yang jarang mandi.
Sampai akhirnya, mereka juga membahas suara tangisan bayi yang sering terdengar di tengah malam, selama beberapa hari terakhir.
"Bu, tadi malam saya mendengar ada suara tangisan bayi, tapi tidak tau arahnya dari mana." Salah satu dari ibu-ibu itu memulai perbincangan.
"Iya, Bu, saya juga mendengarnya hampir setiap malam, loh. Ngeri yah, Bu. Bulu kuduk saya sampai berdiri. Kira-kira itu suara bayi manusia atau bayi uka-uka yah, di sini kan tidak ada yang baru melahirkan, kecuali Neng Farah yang rumahnya terpencil di ujung sana. Itu pun bayinya sudah meninggal." Mereka yang sibuk memilih sayuran langsung berhenti dan fokus mendengarkan topik pembicaraan.
"Kalau menurut saya sih, si Neng Farah teh belum ikhlas kehilangan bayi itu. Jadi bayinya teh gentayangan!" celetuk dari si ibu yang memakai daster bermotif gambar kura-kura.
Ibu-ibu yang lain pun mendadak memegang pundaknya masing-masing karena merinding. Mereka lalu terdiam saat Farah tiba-tiba datang untuk berbelanja.
"Eh, Neng Farah mau beli sayuran juga, yah?" tanya si ibu yang badannya paha semua sambil senyam-seyum.
Farah mengangguk kecil dengan bibir melengkung ke atas. "Iya, Bu."
Salah satu ibu-ibu lalu mendekati perempuan berhijab itu dan memegang pundaknya. "Kami turut berduka cita atas meninggalnya bayi Neng Farah. Sabar yah, Neng!"
"Iya Bu, terima kasih banyak." Farah sedikit membungkukan badannya.
"Oh, iya, kenapa bayimu bisa meninggal? Apa lahirnya prematur?" Mereka penasaran.
Farah mendadak salah tingkah dan memanglingkan pandangan ke arah sekitar. Tangan perempuan itu juga terus memegang ujung bajunya sendiri. Ia takut mereka mengetahui bahwa bayinya ternyata masih hidup.
"Ba--bayi sa--saya---"
"Heh, kalian kenapa bertanya seperti itu?" potong salah satu dari mereka. "Nanti Neng Farah makin sedih. Sudah, mendingan kita pulang dan masak, kasian suami-suami kita pasti kelaparan, entar pas kita pulang perabot rumah tangga pada ngilang karena dimakan sama mereka!"
Para ibu-ibu tadi pun langsung bubar dari warung. Begitu juga dengan Farah, setelah membeli semua keperluan, ia pun bergegas kembali ke rumah.
Farah berjalan tergesa-gesa. Ia memperhatikan sekitar sebelum masuk ke rumah. Setelah merasa aman, barulah ia menutup pintu dan menguncinya.
Perempuan berusia dua puluh dua tahun itu lalu melangkahkan kaki ke kamar dan menghela napas lega, karena melihat bayi perempuannya yang diberi nama Sarah Aulia tertidur pulas. Ia tersenyum sambil menatap wajah sang bayi.
Sesaat kemudian, bayi itu pun terbangun dan menangis. Farah dengan sigap menggedong bayi tersebut, lalu segera menyusuinya supaya berhenti menangis.
Setelah sang bayi kembali tertidur, Farah pergi ke dapur untuk membuat kue yang sering ia jual melalui sosial media.
Dari hasil menjual kue itulah, ia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Para tetangga juga banyak yang sering memesan kue, terutama untuk acara hajatan.
Farah dikenal sebagai perempuan pendiam yang jarang sekali bersosialisasi dengan tetangga sekitar. Hari-harinya selalu dihabiskan di rumah dengan membuat kue pesanan.
Apalagi sekarang Farah memiliki seorang bayi mungil berjenis kelamin perempuan, kesibukannya di rumah menjadi bertambah.
Perempuan itu hanya keluar jika ada kepentingan mendesak. Namun, ia selalu keluar saat sang anak tertidur lelap.
Sebenarnya Farah bukan asli warga sana. Ia datang ke kampung itu dalam keadaan hamil tua; seorang diri, dan tanpa di dampingi oleh suami.
Tidak ada yang tau ia berasal dari kota mana dan keluarganya ada di mana, karena setiap kali ditanya perempuan itu selalu mengalihkan pembicaraan.
Farah membeli rumah kosong yang jauh dari pemukiman warga dengan cara dicicil. Di rumah itu ia belajar hidup mandiri.
Ketika perutnya terasa mulas karena akan melahirkan pun, Farah berusha pergi ke tempat bersalin seorang diri. Ia tidak meminta bantuan kepada para warga.
Setelah melahirkan, perempuan berkulit putih nan bersih itu malah mengatakan kepada warga bahwa bayi yang baru dilahirkannya meninggal, padahal masih hidup dan dalam keadaan sehat juga normal.
Tidak ada warga yang curiga sama sekali, karena selama ini mereka mengenal Farah adalah sosok perempuan yang jujur dan taat beribadah.
Terlebih ia memberi bukti bahwa anaknya sudah tiadak. Perempuan itu juga membuat makam kecil di belakang rumahnya. Seolah itu adalah makam sang anak.
Farah terus menyembunyikan keberadaan anaknya dari semua orang. Ia merawat dan mendidik anak itu seorang diri hingga menjadi anak yang pintar, meskipun tidak sekolah formal.
Saat ini anaknya menginjak usia delapan tahun. Kepintaran sang anak pun semakin bertambah. Ia sering bertanya semua hal, termasuk bertanya tentang ayahnya.
"Bu, wajahku lebih mirip Ibu atau Ayah?" tanya gadis kecil bermata indah itu yang seketika membuat sang ibu tiba-tiba emosi.
"Jangan sebut kata Ayah lagi!" Sarah menggertak dengan napas menderu dan rahang yang mengeras sempurna.
Gadis kecil berparas cantik itu pun perlahan melangkah mundur menjauhi ibunya. Ia sangat takut karena baru pertama kalinya melihat sang ibu marah.
Sarah lalu meringsut dengan mata berkaca-kaca. Sang ibu pun menghela napas panjang dan membuangnya perlahan.
Setelah itu, ia menghampiri Sarah. "Sayang, ibu tadi kecapean dan lagi banyak pikirin, jadi emosinya tidak terkontrol. Maafin ibu yah, Nak. Kamu tidak marah sama ibu, 'kan?"
Sarah hanya menggeleng. Sang ibu kemudian merangkul gadis kecil itu dan mencium pucuk kepalanya sambil menahan tangis.
"Assalamualaikum!"
Farah tersentak kaget ketika ada seseorang mengucap salam sembari mengetuk pintu. Perempuan itu lalu berdiri dan bergegas menyuruh sang anak masuk ke kamar.
"Ingat yah, Sayang, kamu diam di sini dan jangan mengeluarkan suara apa pun," pesan Farah kepada gadis kecil yang memakai hijab instan itu dengan nada suara rendah.
"Baiklah, Bu." Anak itu mengangguk. Ia seolah sudah terbiasa terkurung di rumah tersebut.
Farah kemudian membuka pintu dan ternyata tetangganya yang datang, yaitu Bu Rima bersama anak perempuannya.
"Waalaikumsalam." Farah menyunggingkan senyuman khasnya. "Ada yang perlu saya bantu, Bu?"
"Eh, Neng Farah ... ini loh, saya mau memesan kue ulang tahun buat anak saya. Acaranya dua hari lagi," kata Bu Rima seraya mengusap kepala anaknya.
Farah menganggukkan kepala. "Iya, Bu, insyaallah kue akan selesai sebelum hari H."
"Baiklah, nanti saya akan mengambil kuenya kemari yah, Neng. Oh, iya, ini uang mukanya." Perempuan yang umurnya lebih tua dari Farah itu menyodorkan uang lima puluh ribu.
"Terima kasih, nanti biar saya aja yang antar kuenya ke rumah Ibu, yah. Gratis ongkir, kok." Farah berbicara dengan nada candaan.
"Neng Farah bisa aja." Bu Rima terkekeh. "Ya udah, terima kasih sebelumnya, yah. Kalau gitu saya pamit dulu. Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam."
Bu Rima melengos pergi sambil menuntun anaknya. Setelah beberapa langkah mereka menjauh dari rumah Farah, anak Bu Rima melihat bayangan Sarah di balik gorden.
"Ma," panggil anak itu kepada ibunya. Sang ibu pun berhenti berjalan dan langsung menoleh.
"Iya, ada apa, Nak?" Si ibu penasaran.
"Itu anak siapa?" tunjuk anak tadi ke arah kamar Sarah.
Bu Rima memicingkan mata melihat ke arah yang ditunjuk sang anak. Akan tetapi, ia tidak melihat siapa-siapa. "Di mana? Di sana tidak ada orang kok, Nak. Mungkin kamu tadi salah lihat."
"Tidak Ma, tadi aku bener-bener liat kalau di dalam kamar itu ada anak-anak pake hijab. Itu pasti anaknya Mbak Farah," jelas anak Bu Rima yakin.
"Jangan ngaco kamu tuh. Mbak Farah itu tidak punya anak. Udah ah, kita pulang, yuk!" ajak Bu Rima sembari menarik pergelangan tangan sang anak yang bernama Renata.
Gadis kecil itu berjalan sambil terus melihat ke rumah Farah, dan bayangan Sarah pun kembali terlihat.
Bersambung.
Zara adalah wanita dengan pesona luar biasa yang menyimpan hasrat membara di balik kecantikannya. Sebagai istri yang terperangkap dalam gelora gairah yang tak tertahankan, Zara terseret ke dalam pusaran hubungan terlarang yang menggoda dan penuh rahasia. Dimulai dengan Pak Haris, bos suaminya yang memikat, kemudian berlanjut ke Dr. Zein yang berkarisma. Setiap perselingkuhan menambah bara dalam kehidupan Zara yang sudah menyala dengan keinginan. Pertemuan-pertemuan memabukkan ini membawa Zara ke dalam dunia di mana batas moral menjadi kabur dan kesetiaan hanya sekadar kata tanpa makna. Ketegangan antara kehidupannya yang tersembunyi dan perasaan bersalah yang menghantuinya membuat Zara merenung tentang harga yang harus dibayar untuk memenuhi hasratnya yang tak terbendung. Akankah Zara mampu menguasai dorongan naluriahnya, atau akankah dia terus terjerat dalam jaring keinginan yang bisa menghancurkan segalanya?
"Paman akhh sakit enghh," rintih Selva saat Mark memaksa dan terus mendorong miliknya ke dalam sana. Mark mengerang dan terus mendorong miliknya sembari berbisik, "Pelankan desahanmu sayang, ayah ibumu bisa bangun."
Kirani dipaksa menikah dengan Devon, seorang preman terkenal. Adik perempuannya mengejeknya, "Kamu hanya anak angkat. Nasibmu benar-benar sial karena menikah dengannya!" Dunia mengantisipasi kesengsaraan Kirani, tetapi kehidupan pernikahannya ternyata disambut dengan ketenangan yang tak terduga. Dia bahkan menyambar rumah mewah dalam undian! Kirani melompat ke pelukan Devon, memujinya sebagai jimat keberuntungannya. "Tidak, Kirani, kamulah yang memberiku semua keberuntungan ini," jawab Devon. Kemudian, suatu hari yang menentukan, teman masa kecil Devon mendatanginya. "Kamu tidak layak untuknya. Ambil seratus miliar ini dan tinggalkan dia!" Kirani akhirnya memahami perawakan sejati Devon, orang terkaya di planet ini. Malam harinya, gemetar karena gentar, dia membicarakan masalah perceraian dengan Devon. Namun, dengan pelukan yang mendominasi, pria itu mengatakan kepadanya, "Aku akan memberikan semua yang kumiliki. Perceraian tidak bisa dilakukan!"
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Aku, Rina, seorang wanita 30 Tahun yang berjuang menghadapi kesepian dalam pernikahan jarak jauh. Suamiku bekerja di kapal pesiar, meninggalkanku untuk sementara tinggal bersama kakakku dan keponakanku, Aldi, yang telah tumbuh menjadi remaja 17 tahun. Kehadiranku di rumah kakakku awalnya membawa harapan untuk menemukan ketenangan, namun perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui setiap langkahku. Aldi, keponakanku yang dulu polos, kini memiliki perasaan yang lebih dari sekadar hubungan keluarga. Perasaan itu berkembang menjadi pelampiasan hasrat yang memaksaku dalam situasi yang tak pernah kubayangkan. Di antara rasa bersalah dan penyesalan, aku terjebak dalam perang batin yang terus mencengkeramku. Bayang-bayang kenikmatan dan dosa menghantui setiap malam, membuatku bertanya-tanya bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan beban ini. Kakakku, yang tidak menyadari apa yang terjadi di balik pintu tertutup, tetap percaya bahwa segala sesuatu berjalan baik di rumahnya. Kepercayaannya yang besar terhadap Aldi dan cintanya padaku membuatnya buta terhadap konflik dan ketegangan yang sebenarnya terjadi. Setiap kali dia pergi, meninggalkan aku dan Aldi sendirian, ketakutan dan kebingungan semakin menguasai diriku. Di tengah ketegangan ini, aku mencoba berbicara dengan Aldi, berharap bisa menghentikan siklus yang mengerikan ini. Namun, perasaan bingung dan nafsu yang tak terkendali membuat Aldi semakin sulit dikendalikan. Setiap malam adalah perjuangan untuk tetap kuat dan mempertahankan batasan yang semakin tipis. Kisah ini adalah tentang perjuanganku mencari ketenangan di tengah badai emosi dan cinta terlarang. Dalam setiap langkahku, aku berusaha menemukan jalan keluar dari jerat yang mencengkeram hatiku. Akankah aku berhasil menghentikan pelampiasan keponakanku dan kembali menemukan kedamaian dalam hidupku? Atau akankah aku terus terjebak dalam bayang-bayang kesepian dan penyesalan yang tak kunjung usai?
© 2018-now Bakisah
TOP