"Setan!" Umpat Philips. Sebuah tangan berlumur darah memegang kakinya. Mata Philips membelalak lebar.
"Tolong aku, seseorang baru saja memperkosa ku dan mereka hendak membunuhku sekarang,"ujarnya dengan suara penuh ketakutan. Bahkan Philips bisa merasakan gemetar hebat tangan wanita itu yang tengah memegang kakinya.
Philips berjongkok dan melihat penampilan si wanita. Mata Philips memindai kondisi wanita itu. Matanya bengkak, sudut bibirnya pecah, pipinya biru, dan keningnya berdarah-darah. Kacau dan mengerikan gambaran pas untuk wanita asing yang hampir hilang kesadarannya itu.
Philips yakin ini bukan sebuah penipu. Kalau pun si wanita hendak menipunya Philips punya senjata tajam dan akan balas menyerang.
"Aku akan membawamu ke rumahku lebih dulu, semoga kau tidak keberatan." Setelah mengatakan itu Philips kemudian menggendong si wanita yang lemah tak berdaya. Membawa langkah kakinya menjauhi kegelapan.
Philip tidak tahu segerombolan orang menatapnya dari kejauhan sebelum kemudian berbalik ketika mendapat instruksi dari si ketua.
***
Mira tengah berbaring di sofa dengan kondisi televisi yang masih menyala. Mata gadis itu terpejam. Ia lelah menunggu sang paman yang belum muncul batang hidungnya.
Dia adalah si gadis sembrono. Gadis itu berusia 24 tahun, dan dalam hitungan detik usianya akan bertambah.
Dia gadis manis. Punya rambut keriting ikal, bulu matanya lebat dan kulitnya terang.
"Mira!"
Duk Duk Duk
Gedoran yang begitu keras membuat Mira serta merta langsung tersentak. Matanya langsung terbuka lebar.
"Mira, buka pintunya!"
"Astaga paman?!" Mira menyingkap selimut dan segera berlari menuju pintu.
Kenapa pamannya berteriak di malam buta begini. Bisa-bisa warga sekitar terganggu dan memberikan keluhan kepada mereka.
Tapi keluhan bukan hal yang sulit mereka selesaikan. Sebab lingkungan sekitar atau sendiri siapa si yang paling berkuasa daripada penguasa. Tentu jawabannya adalah Philips si ketua preman.
"Cepatlah Mira!" Diluar terdengar suara mendesak tidak sabaran.
"Sabar paman!" Geram Mira. "Sudah ku bilang bawa kunci rumah kalau kel-siapa wanita ini paman?" Buyar sudah cercaan Mira yang hendak memarahi sang paman. Manik mata Mira kebingungan menyaksikan sang paman tengah menggendong seorang wanita di tengah malam buta begini.
Manik mata Mira semakin membulat penuh ketika fokus melihat wanita asing itu. Kengerian terpancar dari manik mata hitamnya.
"Dia berdarah-darah-apa yang sudah paman lakukan?!"
Mira membungkam mulutnya seketika. Sisi semboro dalam dirinya mulai lagi. Kenapa dia berteriak kencang!
Pikiran buruk bahwa sang paman telah melakukan hal-hal mengerikan menyerang kepalanya.
"Minggir dulu." Philips kemudian masuk dan melewati sang keponakan yang masih syok.
Oke, sang paman pernah membuatnya syok karena membawa seekor harimau yang lepas dari kebun binatang. Tapi sekarang Mira dibuat syok luar biasa melebihi ketika sang paman membawa seekor harimau. Sang paman membawa seorang wanita asing yang terlihat babak belur karena dipukuli segerombolan orang!
Mira lekas-lekas mengekori pamannya yang sekarang menuju kamarnya.
"Kenapa membawa perempuan ini ke kamar ku! Siapa dia?!"
Gadis itu gemas.
"Apa yang terjadi? Apa paman yang memukulnya? Paman menganiaya wanita asing ini? Apa salahnya?" Cecar Mira. Dadanya berdegup kencang. Bukan karena rasa suka melainkan ketakutan karena praduga yang negatif di dalam kepalanya.
Tapi sang paman belum menjawab sepatah kata pun. Philips sekarang tengah sibuk meletakkan wanita tadi ke atas ranjang milik Mira. Memberikan bantal tinggi.
Mira berdiri di kaki ranjang.
"Paman kita memang preman, tapi kita tidak menyakiti orang. Kecuali ada situasi yang mengharuskan membela diri agar tidak terluka barulah kita menyerang. Itu prinsip kita, apa paman lupa?!" Suara Mira meninggi. Matanya menatap horor ke arah Philips.
Mira adalah bagian dari kelompok preman lingkungan 11 itu. Nama daerah yang mereka tempati adalah lingkungan 11.
Lingkungan terbuang. Karena dipengaruhi oleh preman, pemulung dan beberapa lansia saja. Sedikit sekali masyarakat yang punya kemampuan tinggal di lingkungan 11 itu. Sebab memang bukan lingkungan yang sedap dipandang.
Philips menarik nafas sebelum menjawab sang keponakan yang memasang raut wajah gusar.
"Tepat sekali, paman sangat ingat prinsip kita," sahut Philips yang masih tidak membuat Mira puas.
"Tenanglah paman tidak berbuat buruk kepada wanita ini. Paman menemukannya di gang depan ketika hendak pulang," tuturnya menjelaskan singkat.
Bola mata Mira membulat.
"Lalu paman langsung membawanya tanpa pikir panjang?!" Bentak Mira tak percaya. Harusnya Philips berpikir puluhan kali untuk membawa wanita itu.
Philips menutup telinganya. Astaga, suara keponakannya itu memang selalu mengerikan.
"Paman harus menolongnya itu yang paman pikirkan pertama kali."
"Kemarilah." Pinta sang paman dan membawa Mira dengan menggandeng tangannya. Keluar dari dalam kamar.
"Wanita itu mengaku sehabis diperkosa lalu hendak dibunuh. Paman tidak bisa membiarkannya tergeletak di tengah jalan begitu saja."
"Di-diperkosa? Hendak di bunuh? "
Mira syok hingga tak bisa berkata-kata. Ia membekap mulutnya.
Pantas saja pakaian wanita itu robek. Sekilas tadi Mira juga melihat bekas cekikan di leher si wanita. Wanita tadi juga terus meringis dan menangis. Akan ada lebih banyak tanda kejahatan yang bisa mereka temukan jika sesuai dengan pengakuan si wanita. Situasi ini sangat serius.
Mira lantas menjambak rambutnya lalu memandang lagi ke arah kamar tadi. Harusnya setelah jam 12 malam mereka merayakan ulang tahun Mira. Merayakan umur Mira yang sudah menginjak 25 tahun. Tetapi situasi malah jungkir balik. Sekarang bukan saat yang tepat untuk berhore ria.
"Sebaiknya kita coba hubungi orangtua atau kenalannya paman, bagaimana kalau paman nanti malah terkena masalah karena membantunya." Mira meneguh ludah. Bukan niat hati hendak mengusir wanita ini secara kejam, tetapi ia hanya bersikap waspada.
"Dia hanya membawa tubuhnya, nak. Tidak ada ponsel, dompet ataupun kartu nama."
"Dia tidak berdaya, nak. Kita harus menolongnya dan memberikan tempat perlindungan sementara."
Mira menarik nafas. Benar, mereka harus melakukan hal itu.
"Kalau begitu paman tolong keluar dari ruangan. Aku harus membuka bajunya untuk mengobati luka- luka yang ia alami. Aku juga akan meminjamkan bajuku untuknya."
Phhilips mengangguk. Kemudian ia berhenti lagi.
"Kenapa?" tanya Mira.
"Sebelum mengobatinya sebaiknya kita rekam pengakuannya dan juga memotret kondisinya sebagai bukti," ujar sang paman.
Sejenak Mira terdiam seakan menemukan hal baru dari sang paman. Mira tadi tidak terpikir untuk meminta rekaman pengakuan si wanita sebagai bukti.
"Ya, akan kuambil kamera milikku," Mira memiliki kamera yang ia simpan di dalam lemari.
"Paman akan menelepon Chris dulu."
Chris adalah kekasih Mira yang merupakan seorang polisi di daerah ini. Masyarakat tak sungkan mengadu kepadanya jika terjadi kejahatan.
Pada situasi ini mereka tentu memerlukan Chris. Mira mengangguk.