Alhasil dia bangun kesiangan dan jadi terburu-buru. Dia hanya punya waktu lima menit dari jam janjiannya.
Ayara mandi sekilas, hanya dengan shower yang membahasi lalu ia gunakan sabun secepat kilat, tanpa berkeremas lebih dulu.
'Duh, ga apa-apa bisa pakai parfum kalau kurang segar. Lagian kenapa mandi menjadi kewajiban sih?' gerutu Ayara yang mengambil ponsel miliknya yang sempat bergetar sebagai tanda ada pesan masuk.
'Aku sudah sampai.' Pesan chat itu dibaca oleh Ayara yang kian panik.
"Qenan, sudah sampai. Gawat-gawat aku harus bergegas lebih cepat lagi," ucap Ayara mengenakan dress kuning selutut dengan tergesa.
Tring!
Notifikasi pesan itu masuk ke dalam gawai Ayara lagi. Tentu saja dari orang yang sama.
'Ayara, kau santai saja. Jangan tergesa-gesa.' Ketikan itu disusun sesuai hafal si pengirim pesan terhadap tingkah Ayara yang dijuluki sebagai gadis prefeksionis yang selalu datang lebih awal daripada waktu yang ditentukan.
Namun sepertinya Ayara akan gagal menunjukan kedispilinannya yang telah ia latih sejak dini.
Untung saja pacarnya itu Qenan Keefe Clayton, dikenal sebagai murid teladan dan orang paling sabar di muka bumi ini. Mereka sudah jadian semenjak kelas tiga SMA, walau telah terpisah oleh jarak yang membentang karena menempuh pendidikan tinggi di universitas yang berbeda, hubungan mereka tetap langgeng dan berjalan harmonis.
Ayara sangat mencintai Qenan dengan sepenuh hati.
Pandangan Ayara lurus menatap ke arah cermin rias di depannya, pantulan paras jelita yang manis dengan kulit kuning langsat tampak memukau untuk ditatap berlama-lama.
Ia mengoleskan bedak pada pipinya yang tirus, tak lupa memerahkan bibirnya dengan lipstik.
'Apa terlalu berlebihan ya? Qenan kan lebih suka aku tampil apa adanya, tetapi karena sudah lama tidak bertemu maka aku rasa ini masih sederhana," celetuk Ayara menilai dirinya sendiri sebelum orang lain yang memberikannya kritikan.
Itu adalah kebiasaan yang tak akan hilang dari Ayara.
Kini Ayara berjalan menuju ke tempat pertemuan, caffe yang tak jauh dari kost-an Ayara. Ayara sengaja memilih lokasi yang dekat supaya nanti ia tak kerepotan dengan lalu lalang kendaraan, hanya butuh lima menit saja untuk jalan kaki.
Bugghh!
Karena terlalu bersemangat menggerakan kedua kaki jenjangnya, Ayara sampai tak melihat dengan hati-hati saat ia melangkah di pertigaan gang, membuatnya menabrak seseorang yang menjatuhkan setumpuk selebaran yang kini berserakan di jalanan paving tersebut.
"Ups, maaf...," lirih Ayara yang segera membantu untuk mengambil lembaran kertas yang tercecer.
"Tak apa. Kebiasaanmu buruk sekali, apa segitunya ingin tepat waktu?" desis suara yang familier di telinga Ayara.
Gerakan tangan Ayara terhenti, lalu pandangannya mendongak ke arah laki-laki berjaket hitam, bertopi hitam, dan mengenakan masker hitam yang tadi tak sengaja ia tabrak tersebut.
'Di-dia siapa ya? Sepertinya aku kenal?' Pikiran Ayara mencoba untuk berkutat erat mengingatnya.
Tetapi laki-laki dengan jaket hitam itu segera beranjak pergi setelah kertas terakhir kembali pada tertumpuk.
"Tu-tunggu...," gamang Ayara yang ingin menghentikan laki-laki itu, namun ia ragu.
Siapa tahu dia tadi hanya salah dengar dan salah mengira saja.
'Sudahlah, aku harus bertemu dengan Qenan. Aku harusnya tepat waktu!' seru Ayara yang selalu keras pada dirinya sendiri, ia makin mempercepat langkahnya hingga kedua manik mata cokelatnya itu melihat bangunan caffe dengan eksen vintage sebagai gaya utamanya.
Setelah melewati ambang pintu caffe yang sudah menjadi langganannya, Ayara dapat melihat kekasih yang begitu ia sayangi, Qenan, yang duduk di kursi paling ujung di lantai pertama.
'Sekarang tempat yang sering aku kunjungi ini juga memiliki kenangan bersama Qenan,' batin Ayara terbunga-bunga.
Pipinya merona merah seketika dengan imajinasi yang berputar di isi kepalanya.
"Ayara?" sebut Qenan yang tampak lebih tinggi dari terakhir mereka bertemu secara langsung di tahun lalu.
Ayara melirik pada jam tangannya, ia terlambat tujuh menit, 'Bagaimana bisa aku terlambat sebanyak ini? Waktuku yang berharga bersama dengan Qenan jadi terbuang karena aku harus mandi dan lain-lain, huh, menyebalkan,' ujar Ayara di dalam benaknya.
"Qenan?" Ayara sudah berdiri di depan Qenan.
Senyuman Ayara di Sabtu pagi ini merupakan senyuman terindahnya pada sepanjang tahun pelajaran di semester delapan perkuliahan yang ia tempuh.
Banyak laki-laki yang Ayara temui, mereka pun telah mencoba meluluhkan perasaan Ayara, namun Ayara tak pernah berpaling dari Qenan.
Tentang kesetiaan Ayara, tak perlu lagi diragukan.
"Lama tidak bertemu, aku senang sekali," ungkap Ayara seraya duduk dengan sopan di kursinya.
Sulit untuk meminta video call dengan Qenan yang selalu punya alasan untuk menolaknya, sehingga Ayara tak pernah menyangka bahwa Qenan akan jadi lebih tampan dan sangat mempesona sebagai pria yang memasuki awal dewasa di usia dua puluh satu tahunnya itu.
"Benar." Qenan tak terdengar bersemangat.
Kedua alis tebal Ayara melengkung turun atas respon yang ia terima dari Qenan.
'Ada apa? Apa karena aku membuatnya menunggu?' Ayara tahu bahwa menunggu itu sangat membosankan dan menjenuhkan, tetapi Ayara sudah berusaha untuk datang lebih cepat.
"Maaf karena aku datang terlambat, apa kamu marah?" tanya Ayara yang selalu berusaha untuk bersikap terbuka agar tak terjadi kesalahpahaman.
Qenan menimpali dengan gelengan kepalanya, "Tidak, aku tidak marah."
Seorang waitress menyuguhkan pesanan yang tadi sudah dibuat oleh Qenan, satu es cokelat dan satu teh hijau hangat serta roti bakar yang lezat dengan selain cokelat manisnya. Semua menu cokelat adalah kesukaan Araya.
'Dia tidak pernah lupa untuk memesan hidangan kesukaanku,' kagum Ayara dengan senyumannya yang ia sembunyikan.
"Selamat menikmati," lontar waitress itu yang kemudian hengkang kembali ke tempatnya semula.
"Terima kasih," sahut Ayara dengan santun.
Sebenarnya Ayara sama sekali tak ingin mengalihkan tatapannya dari Qenan walau hanya sebentar, walau hanya untuk menimpali pelayan tadi.
"Qenan, aku tidak tahu kau akan datang jauh-jauh ke Surabaya. Aku bahagia sekali," cetus Ayara sungguh-sungguh.
Namun dapat Ayara rasakan bahwa kebahagiaan itu hanya ia dapati sepihak, sedangkan Qenan sedari tadi nampak begitu muram.
"Ayara, tapi aku tidak bahagia," ujar Qenan dengan sorot netra birunya yang mengarah pada Ayara.
Tampak pandangan teduh Qenan diselingi oleh kepiluan.
"Ada apa, Qenan? Apa yang membuat kamu tidak bahagia?" Ayara menaruh semua perhatiannya, ia siap menjadi pendengar yang baik.
Qenan terdiam sejenak, ia membuat jeda pada percakapan mereka, "Pertemuan dan hubungan kita ini."
"Ayara, mari kita putus dan menyudahinya," ajak Qenan dengan suaranya yang lembut, tetapi isi tuturannya begitu menusuk bagi Ayara.
"A-apa? Pu-putus?" ulang Ayara dengan begitu tergelagap.