/0/9827/coverbig.jpg?v=48cfc4d51b1281a0bf8f768093b9b9f9)
Lantaran perjodohan dari Nyai Halimah, hati yang telah memiliki tambatannya masing-masing kemudian harus sama-sama hancur berserakan. Kondisi kesehatan yang semakin menurun mendesaknya mencari gadis yang bisa menggantikannya mengasuh pondok putri. Gadis yang akan dinikahkan dengan putranya. Sebuah pernikahan kemudian dibangun di atas luka. Gus Adnan yang tak bisa melepas masa lalunya dengan dokter muda bernama Ning Athiyah, juga Ning Nufus yang tertatih membangun rumah tangga barunya yang penuh prahara di sisi lain usahanya melupakan Kang Irsyad. Akankah dua hati itu pulih atau justru harus sama berakhirnya dengan cinta yang pernah masing-masing mereka genggam pada kisah lalu?
Matahari masih sepenggalah. Kicau burung yang semula mengisi hening pagi kini berganti dengan riuh santri yang tengah berbondong-bondong kembali dari masjid selepas setoran bakda subuh. Kerumunan itu otomatis menyibak ketika melihat Nyai Halimah tampak tertatih keluar dari pekarangan dalem dan entah akan ke mana.
"Le ...," pangggilnya entah pada siapa. Seorang lelaki berkaos oblong navy yang semula sibuk mengambil daun pisang lantas tergopoh mendekat. Mengingat posisinya yang memang paling dekat dari abdi dalem lain.
"Inggih, Bu Nyai?"
"Tolong panggilkan Adnan."
Setelah mengangguk mengiyakan, lelaki yang telah lama menjadi kang dalem itu undur diri. Langkahnya yang lebar-lebar menyibak kerumunan, berjalan cepat di koridor kelas menuju sebuah bangunan tua di ujung kawasan Pesantren Sabilus Surur. Putra bungsu Nyai Halimah itu memang kerap menghabiskan waktu di sana.
"Assalamualaikum," ucanya di ambang pintu yang terbuka lebar. Dari tempatnya berdiri, tampak seorang pria yang semula tengah sibuk mengolak-alik kitab itu lantas menoleh. Wajahnya yang putih bersih mendongak, alisnya yang lebat kemudian dinaikkan sebelah, mengisyaratkan agar lelaki berkaos oblong di seberang sana mengatakan tujuannya menemui Adnan.
"Njenengan ditimbali Bu Nyai, Gus."
"Umi di dalem, 'kan?"
"Inggih, Gus."
"Ya sudah. Terima kasih. Tolong bereskan dulu kitab-kitab ini dan taruh di sana. Setelah itu sampeyan boleh kembali," titahnya sembari beranjak. Segera setelah membenarkan posisi songkok dan sarungnya, lelaki yang masyhur seantero pesantren itu lantas berlalu. Melintasi halaman yang telah sepi sembari menerka-nerka keperluan mendesak apa kiranya yang membuat Nyai Halimah hingga mengutus kang dalem untuk mencarinya. Padahal setiap pergantian jam mengajar, dirinya pasti menyempatkan diri ke dalem. Entah itu mengambil kitab, atau sekadar istirahat dan mengisi perut.
Sejak beberapa bulan terakhir, uminya memang sering sakit-sakitan. Wajar jika mengingat usianya yang senja. Adnan sempat melarangnya keras untuk terlalu lelah meng-handle seluruh urusan pesantren, tetapi wanita yang hampir berkepala tujuh itu sama keras kepalanya dengan dirinya.
Menyikapi hal itu, Adnan merombak seluruh jadwal dewan guru. Mengurangi beberapa jam mengajar uminya dan mengalihkannya kepada ustaz-ustazah lain. Dirinya juga mengangkat beberapa santri senior untuk menjadi guru bantu jika memang diperlukan. Jadi, dengan begitu, pikirnya Nyai Halimah akan lebih punya banyak waktu untuk istirahat.
"Umi di mana, Mbak?" tanya Adnan begitu berpapasan dengan perempuan yang tampak sibuk menyapu kolong-kolong meja.
"Di kamar, Gus. Sedang istirahat, tadi katanya agak kurang enak badan."
Tanpa menjawab lagi, Adnan berlalu. Melewati mbak-mbak yang tengah sibuk dengan kerjanya masing-masing menuju ruangan kecil di balik rak yang penuh berisi kitab-kitab. Semula, kamar Nyai Halimah berada di atas. Menghindari kebisingan di dapur, atau santri-santri yang berlalu lalang sewaktu-waktu. Namun, semenjak kondisinya memburuk, beliau meminta untuk dipindahkan ke bawah. Di ruangan yang dulu sering digunakan mendiang suaminya untuk mutholaah kitab.
"Assalamualaikum, Umi," ucap putra satu-satunya Nyai Halimah itu sembari membuka pintu yang sudah sedikit terbuka. Wanita yang semula berbaring di ranjang dengan membelakangi pintu itu kemudian membalik badan. Mempersilakan lelaki yang telah beranjak masuk itu untuk duduk.
"Bagaimana keadaan Umi?"
"Aku baik, Nak. Sudah mendingan."
"Maaf tadi aku sibuk dengan laporan bulanan usaha-usaha kita, Um."
"Tidak apa-apa, Nak. Umi tahu tanggung jawabmu pada pesantren ini tidak main-main. Setelah abahmu meninggal dan kakakmu menikah, Umi rasa kamu menjalankan semuanya dengan sangat baik, tapi ...."
Kalimat itu terjeda. Menggantung begitu saja. Gus Adnan lantas mendongak, menatap lekat Nyai Halimah yang tak kunjung meneruskan kalimatnya.
"Tapi apa, Um?"
Nyai Halimah menghela napas panjang. Sebentar beliau mengusap lembut kepala Adnan sebelum akhirnya menyandarkan punggungnya pada bahu ranjang. Pandangan matanya kosong menatap foto lama yang terpajang tepat di dinding yang berhadapan dengannya. Foto pernikahan Nyai Halimah dan mendiang Kiai Nashih.
"Umi sudah tua, Nak. Sudah sering sakit-sakitan. Beberapa hari terakhir kesehatan Umi menurun. Kamu sendiri yang bersikeras meminta Umi memperbanyak istirahat."
"Iya, benar. Umi memang harus banyak istirahat. Dengan begitu Umi akan kembali pulih. Tidak perlu terlalu banyak memikirkan urusan pesantren, Um. Aku bisa mengurusnya," jawab Gus Adnan meyakinkan. Dirinya tidak tega melihat Nyai Halimah terus memikirkan banyak hal, terutama santri putri yang pada dasarnya semua adalah tanggung jawabnya sekarang. Meski tak dapat dipungkiri fokusnya selama ini lebih kepada santri putra tentunya.
"Tapi bagaimanapun, kamu tidak akan bisa, Adnan. Kamu tidak akan mampu mengurus ribuan santri sendirian," sambung Nyai Halimah mulai masuk pada topik yang akan dibicarakan.
"Adnan tidak sendirian, Umi. Ada mbak-mbak dan kang-kang pengurus, Ada ustaz dan ustazah juga yang akan meng-handle semuanya dengan baik."
"Bukan mereka yang Umi maksud."
"Lalu?" tanyanya dengan mengernyit. Menerka-nerka maksud perkataan uminya yang terdengar masih ambigu.
"Nikahi Nufus."
Deg ....
Sejenak Adnan bungkam. Terperangah dengan permintaan uminya yang sama sekali di luar perkiraan. Lelaki itu menghela napas panjang, berusaha mengondisikan jantung agar tetap berdetak dengan normal.
Beberapa menit masih hening. Adnan mencoba mengingat-ingat kembali gadis mana yang uminya maksud. Dari sekian banyak nama Nufus di pesantrennya, pikiran Adnan tertuju pada Nufus, si mbak dalem yang beberapa kali memang sering Nyai Halimah sebut-sebut.
Perempuan kalem itu memang telah lama menjadi abdi dalem kesayangan Umi. Adnan sendiri mengakui gadis manis itu memang cerdas. Boleh dibilang keilmuannya bahkan melebihi ustaz-ustazah muda yang Adnan tunjuk meneruskan guru-guru sepuh yang sudah berhenti mengajar. Kinerjanya juga bagus selama merawat Umi dan bisa diandalkan.
Namun, terlepas dari semua itu, Adnan tak serta merta dapat mengiyakan. Permintaan uminya kali ini terasa begitu berat. Bagaimana tidak? Seperti lelaki pada umumnya, hatinya pun memiliki tempat berlabuhnya sendiri. Hatinya terlanjur tertambat pada perempuan yang sudah beberapa taahun terakhir selalu memenuhi pikiran dan hatinya.
"Adnan ...."
"I-iya, Umi?"
"Bagiamana?"
Lagi, lelaki itu hanya mengembuskan napas kasar. Tak tahu harus menjawab apa atau bagaimana. Terjebak dalam bayang-bayang kehilangan yang tiba-tiba terasa sakit dan menyesakkan. Namun, apakah benar semua ini harus benar-benar diakhiri? Apakah tidak ada lagi yang bisa ia lakukan? Apakah tidak ada lagi yang bisa ia perjuangkan?
Adnan berpaling, menunduk semakin dalam sebab kalut pikirannya sendiri. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Menjawab iya berarti dia menyerah, berarti dirinya siap menerima bahwa cinta yang ia semai, yang ia pupuk, harus begitu saja disingkirkan, dibunuh paksa, dihabisi hingga sirna tak berbekas. Rasanya dirinya belum sanggup.
"Maaf, Um, tapi aku terlanjur mencintai perempuan lain."
Selepas kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya, lelaki itu menunduk semakin dalam. Menyembunyikan muka, tak berani menatap Nyai Halimah yang lantas menatap penuh selidik.
"Siapa?"
Meski merupakan seorang CEO yang namanya tersohor hingga ke seluruh penjuru kota, tetapi kisah cinta Anam sama sekali tidak semulus bayangannya. Lain dengan hampir seluruh orang tua yang ingin mengambil Anam sebagai menantu, lamaran Anam justru ditolak lantaran dirinya tidak memiliki trah kiai seperti yang dikehendaki Kiai Amin-calon mertuanya. Meski sudah mengemis, lamaran itu berkali-kali tetap ditolak. Cinta yang menggebu, pikiran yang frustasi dibarengi dengan hasrat yang meletup-letup di suatu malam membuat Anam menodai Naya. Kekasihnya yang merupakan putri tunggal Pesantren Nurul Kawakib. Lantas bagaimana tanggapan Kiai Amin setelah mengetahui kehamilan putrrinya? Akankah restu itu diberikan demi menutup aib atau pertanggungjawaban dari Anam akan tetap ditolaknya mentah-mentah?
Kedua orang yang memegangi ku tak mau tinggal diam saja. Mereka ingin ikut pula mencicipi kemolekan dan kehangatan tubuhku. Pak Karmin berpindah posisi, tadinya hendak menjamah leher namun ia sedikit turun ke bawah menuju bagian dadaku. Pak Darmaji sambil memegangi kedua tanganku. Mendekatkan wajahnya tepat di depan hidungku. Tanpa rasa jijik mencium bibir yang telah basah oleh liur temannya. Melakukan aksi yang hampir sama di lakukan oleh pak Karmin yaitu melumat bibir, namun ia tak sekedar menciumi saja. Mulutnya memaksaku untuk menjulurkan lidah, lalu ia memagut dan menghisapnya kuat-kuat. "Hhss aahh." Hisapannya begitu kuat, membuat lidah ku kelu. Wajahnya semakin terbenam menciumi leher jenjangku. Beberapa kecupan dan sesekali menghisap sampai menggigit kecil permukaan leher. Hingga berbekas meninggalkan beberapa tanda merah di leher. Tanganku telentang di atas kepala memamerkan bagian ketiak putih mulus tanpa sehelai bulu. Aku sering merawat dan mencukur habis bulu ketiak ku seminggu sekali. Ia menempelkan bibirnya di permukaan ketiak, mencium aroma wangi tubuhku yang berasal dari sana. Bulu kudukku sampai berdiri menerima perlakuannya. Lidahnya sudah menjulur di bagian paling putih dan terdapat garis-garis di permukaan ketiak. Lidah itu terasa sangat licin dan hangat. Tanpa ragu ia menjilatinya bergantian di kiri dan kanan. Sesekali kembali menciumi leher, dan balik lagi ke bagian paling putih tersebut. Aku sangat tak tahan merasakan kegelian yang teramat sangat. Teriakan keras yang tadi selalu aku lakukan, kini berganti dengan erangan-erangan kecil yang membuat mereka semakin bergairah mengundang birahiku untuk cepat naik. Pak Karmin yang berpindah posisi, nampak asyik memijat dua gundukan di depannya. Dua gundukan indah itu masih terhalang oleh kaos yang aku kenakan. Tangannya perlahan menyusup ke balik kaos putih. Meraih dua buah bukit kembarnya yang terhimpit oleh bh sempit yang masih ku kenakan. .. Sementara itu pak Arga yang merupakan bos ku, sudah beres dengan kegiatan meeting nya. Ia nampak duduk termenung sembari memainkan bolpoin di tangannya. Pikirannya menerawang pada paras ku. Lebih tepatnya kemolekan dan kehangatan tubuhku. Belum pernah ia mendapati kenikmatan yang sesungguhnya dari istrinya sendiri. Kenikmatan itu justru datang dari orang yang tidak di duga-duga, namun sayangnya orang tersebut hanyalah seorang pembantu di rumahnya. Di pikirannya terlintas bagaimana ia bisa lebih leluasa untuk menggauli pembantunya. Tanpa ada rasa khawatir dan membuat curiga istrinya. "Ah bagaimana kalau aku ambil cuti, terus pergi ke suatu tempat dengan dirinya." Otaknya terus berputar mencari cara agar bisa membawaku pergi bersamanya. Hingga ia terpikirkan suatu cara sebagai solusi dari permasalahannya. "Ha ha, masuk akal juga. Dan pasti istriku takkan menyadarinya." Bergumam dalam hati sembari tersenyum jahat. ... Pak Karmin meremas buah kembar dari balik baju. "Ja.. jangan.. ja. Ngan pak.!" Ucapan terbata-bata keluar dari mulut, sembari merasakan geli di ketiakku. "Ha ha, tenang dek bapak gak bakalan ragu buat ngemut punyamu" tangan sembari memelintir dua ujung mungil di puncak keindahan atas dadaku. "Aaahh, " geli dan sakit yang terasa di ujung buah kembarku di pelintir lalu di tarik oleh jemarinya. Pak Karmin menyingkap baju yang ku kenakan dan melorotkan bh sedikit kebawah. Sayangnya ia tidak bisa melihat bentuk keindahan yang ada di genggaman. Kondisi disini masih gelap, hanya terdengar suara suara yang mereka bicarakan. Tangan kanan meremas dan memelintir bagian kanan, sedang tangan kiri asyik menekan kuat buah ranum dan kenyal lalu memainkan ujungnya dengan lidah lembut yang liar. Mulutnya silih berganti ke bagian kanan kiri memagut dan mengemut ujung kecil mungil berwarna merah muda jika di tempat yang terang. "Aahh aahh ahh," nafasku mulai tersengal memburu. Detak jantungku berdebar kencang. Kenikmatan menjalar ke seluruh tubuh, mendapatkan rangsangan yang mereka lakukan. Tapi itu belum cukup, Pak Doyo lebih beruntung daripada mereka. Ia memegangi kakiku, lidahnya sudah bergerak liar menjelajahi setiap inci paha mulus hingga ke ujung selangkangan putih. Beberapa kali ia mengecup bagian paha dalamku. Juga sesekali menghisapnya kadang menggigit. Lidahnya sangat bersemangat menelisik menjilati organ kewanitaanku yang masih tertutup celana pendek yang ia naikkan ke atas hingga selangkangan. Ujung lidahnya terasa licin dan basah begitu mengenai permukaan kulit dan bulu halusku, yang tumbuhnya masih jarang di atas bibir kewanitaan. Lidahnya tak terasa terganggu oleh bulu-bulu hitam halus yang sebagian mengintip dari celah cd yang ku kenakan. "Aahh,, eemmhh.. " aku sampai bergidik memejam keenakan merasakan sensasi sentuhan lidah di berbagai area sensitif. Terutama lidah pak Doyo yang mulai berani melorotkan celana pendek, beserta dalaman nya. Kini lidah itu menari-nari di ujung kacang kecil yang menguntit dari dalam. "Eemmhh,, aahh" aku meracau kecil. Tubuhku men
Tessa Willson dan Leonil Scoth telah menikah hampir dua tahun lamanya. Kesibukan Leo membuat Tessa merasa kesepian. Apa lagi akhir-akhir ini Leo tak pernah membuatnya puas di atas ranjang. Akibatnya Tessa sangat kecewa. Sampai akhirnya Arnold Caldwell datang di kehidupan Tessa dan Leo. Arnold adalah ayah sambung Leo. Arnold datang ke kota New York tadinya untuk urusan bisnis. Namun siapa sangka justru Arnold malah tertarik pada pesona Tessa. Keduanya pun berselingkuh di belakang Leo. Arnold memberikan apa yang tidak Tessa dapatkan dari Leo. Tessa merasakan gairahnya lagi bersama Arnold. Namun di saat Tessa ingin mengakhiri semuanya, dirinya justru malah terjebak dalam permainan licik Arnold. Mampukah Tessa terlepas dari cengkeraman gairah Arnold, dan mempertahankan pernikahannya dengan Leo?
[ Mature Content ⛔ ] [ 21 + ] Penulis : penariang Genre : Romance - Adult Sub - Genre : Sick Love with Angst *** Zhou Zui Yu mengalami kegagalan pernikahan sebanyak dua kali. Tepat sebelum hari pernikahannya dilangsungkan, semua tunangannya akan mundur dengan alasan dia terlalu membosankan. Masyarakat kelas atas menyebutnya sebagai "Burung Gagak" karena kesannya yang penyendiri dan pendiam. Namun, suatu hari, seorang tuan muda bernama Ming Yu dari negara tetangga tiba-tiba saja datang untuk mengajukan lamaran pada Zhou Zui Yu setelah semua rumor yang tersebar. Hingga membuat semua orang tercengang. "Berhentilah, aku tidak berniat menikah dengan siapapun." "Lalu bagaimana jika aku berusaha lebih keras? Maukah kamu memberiku kesempatan?" Secuil kisah, tentang seberapa keras tuan muda Ming Yu berusaha merebut hati keras Zhou Zui Yu. Sampai-sampai melupakan status mulianya sebagai tuan muda terhormat.
Raisa Aquila Nazara gadis berusia 25 tahun yang sedang mengalami masa sulit. Cantik, pintar, hangat dan menyenangkan Raka Mirza Bramantyo CEO muda berusia 27 tahun. Tampan, cerdas, baik hati, suka menolong, tapi player. Keduanya tak sengaja bertemu dalam sebuah insiden yang sangat menarik. Raisa yang dijebak oleh Helena, ibu dari kekasihnya malah justru berakhir dalam satu kamar dengan Raka. “Apa yang sudah kamu lakukan padaku?” tanya Raisa. “Kamu bertanya apa yang sudah aku lakukan? Memangnya kamu lupa dengan apa yang semalam sudah kita lakukan? “Kamu merayuku, menggoda diriku dan kamu...._” “Cukup!!” Raisa tahu apa yang selanjutnya terjadi antara dirinya dan Raka. Sudah pasti itu adalah hal yang memang seharusnya tidak terjadi. Bagaimanakah selanjutnya perjalanan hidup mereka? Akankah satu malam bersama menjadi awal dari kebersamaan mereka?
BACAAN KHUSUS DEWASA Siapapun tidak akan pernah tahu, apa sesungguhnya yang dipikirkan oleh seseorang tentang sensasi nikmatnya bercinta. Sama seperti Andre dan Nadia istrinya. Banyak yang tidak tahu dan tidak menyadari. Atau memang sengaja tidak pernah mau tahu dan tidak pernah mencari tahu tentang sensasi bercinta dirinya sendiri. Seseorang bukan tidak punya fantasi dan sensasi bercinta. Bahkan yang paling liar sekalipun. Namun norma, aturan dan tata susila yang berlaku di sekitranya dan sudah tertanam sejak lama, telah mengkungkungnya. Padahal sesungguhnya imajinasi bisa tanpa batas. Siapapun bisa menjadi orang lain dan menyembunyikan segala imajinasi dan sensasinya di balik aturan itu. Namun ketika kesempatan untuk mengeksplornya tiba, maka di sana akan terlihat apa sesungguhnya sensasi yang didambanya. Kisah ini akan menceritakan betapa banyak orang-orang yang telah berhasil membebaskan dirinya dari kungkungan dogma yang mengikat dan membatasi ruang imajinasi itu dengan tetap berpegang pada batasan-batasan susila