pan, kini tampak pudar, suram. Rambut panjangnya yang tergerai rapi, mata yang biasanya berbinar kini tampak lelah.
a t
lama, hati Alina tetap merasa seperti pernikahan mereka baru dimulai kemarin. Ada jarak yang semak
" suara Rayhan tiba-tiba
pernah menolak pertanyaan Rayhan. Tentu saja, suaminya itu tak akan peduli kalau ia tidak makan, tetapi ia tahu betul, kebiasaan
mberi perhatian lebih. Ia tahu betul, setelah sekian lama, suasana ini sudah menjadi hal yan
merasakan ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka. Ada sesuatu yang hi
i mengangkat wajah, tapi hanya untuk melonta
lina hanya mengangguk, mengambil piring yang s
adi rutinitas yang tak lagi bermakna. Alina ingin berbicara, ingin bertanya meng
dalam hubungan mereka, sudah terlalu lama ia telan. Ia pernah berharap
iparnya, Eliza, tanpa malu-malu berkata, "Kamu tahu, kan, kalau umur
un, di dalam hati, ia bertanya-tanya, apakah Rayhan benar-benar menginginkan anak dar
ah seperti yang ia impikan. Bukan karena perbedaan mereka, tapi k
pelan, hampir tenggelam oleh k
n menatap Alina dengan ekspre
mulai memuncak. "Kenapa kita seperti ini? Kenapa perni
nunduk, menatap ponselnya. Tidak ada jawab
han?" Alina melanjutkan, suaranya mulai bergeta
at mata Rayhan yang mulai memunculkan kelelahan. Apakah itu kelelahan karena hidup bersama
hkan pandangannya ke arah Alina. "Aku tidak tahu, Alina. Mungkin kita me
nya, menahan air mata yang hampir tumpah. Apa yang harus ia lakukan? Be
dalam, pintu rumah mereka terbuka. Seorang wanita mu
dekat Rayhan. Keberadaannya membuat Alina m
aku membawa makan siang untukmu. Tadi ada
rdiri, meninggalkan Alina yang k
yang begitu dekat dengan Rayhan, seperti sebuah pengi
angi makanan di depannya
han dalam pernikahan yang