ntu di rumah sakit sendiri. Ia datang, ia bekerja, ia menyapa rekan sejawat dengan senyum tipis yang dipaksakan. T
anya Rayhan yang tahu bahwa di balik tatapan datarnya, tersembunyi seorang wanita yang pernah tertawa l
seseorang yang tak pernah
karena seminar medis di luar kota. Rayhan yang harusnya off dipanggil kembali. Ia
udut ruang staf, membuka kotak makan yang sudah dingi
yha
itu bahkan dalam
e biru muda dan celana panjang hitam. Wajahnya tanpa riasan, rambutnya dikuncir rendah. Dan untuk pertama
mau b
kan. "Sudah larut. Kita
yha
n. Ia jarang seperti ini. Rayhan mend
a jeda lama sebelum ia bicara. Suaranya nyaris te
aktu aku masih Kepala Departemen di Jakarta. Awalnya hanya
a-apa. Ia tahu Elvira bukan tipe ya
cepat. Dia dapat beasiswa ke luar negeri, dan aku mendukungnya penuh. Tapi di belakan
mulai
erku, nama baikku. Dan aku bersumpah tidak akan
"Dan kamu pikir aku akan
Bukan karena kamu. Tapi karena apa yang dunia lihat dari lua
ni
ia, kamu akan kehilangan segalanya, Elvira. Termasuk
dan kali ini tatapannya kosong-seperti seseorang
ersikap normal, seolah tidak ada percakapan pribadi yang terjadi. Tapi entah
gah konferensi internal r
u dan seorang dokter muda. Sebuah tangkapan layar percakapan dari aplikasi kencan anonim
i salah satu perawat. "Dok... ini ben
ponsel itu. Dan h
anya. Bahkan potongan percakapan saat Elvira mengatakan, "Aku suka caramu
nnya. Dan ia juga tahu-ini bukan kebetulan. Seseorang ingin
apan para staf dan ketukan pelan dari mulut ke mulut. Ketika ia tiba, Elvira
Rayhan bicara. "Komite Etik suda
Ini bukan salahmu. Aku ya
bisa hadapi ini. Aku sud
a. "Kalau kamu terus berpikir kamu harus hadap
tak tahu bagaimana rasanya berdiri di tempat setinggi ini dan dilihat denga
di sini. Aku satu-satunya yang tah
pipinya. Untuk pertama kalinya, ia runtuh di depan Rayhan. Bukan sebagai direktur. Tapi sebagai El-wa
at, menggengg
kan ke man
berdua tahu... besok pag
kan ada yan