akultas, dan hampir semua mahasiswa berkumpul di lapangan utama. Musik me
opi yang mulai mencair. Mataku tanpa sadar mencari sosoknya, kebia
sudah kuduga...
a
at-alat. Senyumnya muncul hampir di setiap obrolan. Wajahnya bercahaya, seperti biasa.
hari ini aku
bisa mencintainya dalam diam
ian, sebuah su
endiria
noleh.
a masih memegang botol minum, dan dahinya sedikit b
aha santai meski detak jan
menghela napas. "Tapi s
lebih banyak, tapi lidahku kelu. Ada jeda yang
tempat ini, ya? Dari dulu
nya. Ia mem
i bisa lihat semuanya, tapi nggak
, ya. Selalu ada, tapi ng
tapi langsung menghantam bagian terdalam
tersembunyi dari kalimat itu, ia
uter. Aku butuh istirahat
ak, tapi akhirnya k
alam mulai merangkak turun. Tapi di dalam dadaku, ada sesuatu yang justru tumbuh lebih hang
kan perlahan mulai menemukan celahnya sendiri. Dan jika hari itu
u... bahkan jauh sebe
an seni itu, ada yang be
irannya, caranya menyapaku lebih dulu, mencari keberadaan ku saat aku tak muncul, atau s
, tidak tentang masa lalu. Tapi kami mulai bertukar cerita kecil-tentang dosen y
a-tawa ringan itu, ter
lum sempat pulang. Aku berteduh di lorong perpustakaa
a dua bungkus teh hanga
upa bawa payung," kata
ima kasih. Ingin bilang, aku suka kam
n aku, deh," kataku pelan, mencoba
h, lalu te
m menghilang. Kalau aku ngga
etap saja, tak ada pernyataan yang pasti. Tak ada tanda ya
alah letak
jembatan kabut yang indah, tapi tak tahu ujungnya ke mana. Aku ingin tahu perasaannya, tapi takut tahu j
ia menyebut namaku. Bersama harapan-harapan yang mekar pelan setiap kali
abut ini sudah cukup membuatku merasa dekat
an yang tak berubah tetap tenang
uh, tapi juga tidak pernah cukup dekat. Ia tetap hadir dalam obrolan ringan di koridor,
ti so
. Jangan telat, kamu sering banget du
isinya lucu. Tapi karena dia tahu. Dia memperhatikan
m. Aku tidak berani. Karena jika aku menaruh harapan terla
benar-benar turun. Langitnya mendung, udaranya lemb
ng ia tertawa sedikit lebih keras saat aku melontarkan lelucon. Kada
nku. Atau bisa jadi benar, tapi tetap tak
'apa iya?' dan 'jangan-jangan'. Dan anehnya, aku mulai mencintai ketidakpastia
ak pernah habis. Aku memutar ulang percakapan kami di kepala, s
aku masih menulis
t. Tapi aku tetap diam. Karena mungkin... aku belum
erlalu berharap banyak selama ini, aku hampir selalu berada di kelompok yang tak melibatk
satu nama
, cenderung pendiam, tapi selalu tepat waktu dan tanggap. Dan dalam
buatku terdiam adalah ia memperhatikan. Dalam cara y
presentasi, dia sabar menjelaskan ulang. Bahkan saat hujan deras dan aku hampir kehujanan
amaan nunggu hujan reda se
gguk, tapi hatik
erhatian itu... mulai menggo
esan dari Raka, sekadar stiker tertawa atas cerita yan
k termen
pasti dari Raka, ketika ada seseorang la
Arfan, hatiku masih diam-diam berlari ke arah Raka. Masih menanti satu kalimat jelas da
an. Tapi juga... aku be
an, sudah menjadi bagian dari napas hariku. Meski mungk
ir, aku merasa dunia m
et-coret buku catatanku, ia menggambar sketsa wajah katanya, mirip aku ta
in, berbicara tentang hal-hal ringan. Kadang dia menatapku lama, seperti in
aku membalasnya den
h pergi. Maka aku tetap berada di luar, menatap jendela
. Langit mendung, udara lembap seperti
nya-apa aku cuma tempat persinggahan yang nyaman, atau ses
um pada tiap atensi kecilnya, tertawa untuk hal-hal ya
Tapi aku tetap menaruh hati pada Raka, seseorang yang membuat harapanku tumbuh
aku sedang menyi
isa kupeluk. Dan selama ia belum menjauh, aku memilih bertahan di ambang pintu ini. Wa