rnama kuliah. Aku mengenakan kemeja putih dan celana bahan hitam seperti yang disarankan panitia o
ertama
tentang mengenal kampus, teman baru, atau jurusan yang kupilih dengan penuh ha
a
am-diam kusukai sejak bangku SMA. Tak pernah satu kelas, apalagi dekat, tapi e
k akan pernah melihatnya lagi. Tapi ta
kampus. Rambutnya sedikit lebih pendek dari terakhir kali kulihat, tapi senyumnya-se
seperti apa. Menghampiri? Menyapa? Atau cukup
tanya bertemu
u nyaris
aris tak percaya, dia
yanya santai saat kami akhirnya berd
"Iya... nggak nyang
Jadi ada yang di
. Bukan karena kampus yang megah atau sambutan dosen yang ramah, tapi karena satu nama yang diam-diam k
a
kan hanya untuk kuliahku, tapi j
n sejak hari itu-sejak Raka tersenyum padaku. Kami memang tidak dekat, tidak juga s
diam-diam aku menanti, berharap bisa melihat Raka lewat dengan ransel di punggung dan langkah santainya yang
ukup
rusak kenyamanan yang mulai tumbuh. Jadi aku memilih tetap diam, meny
lahan, berdiskusi, bahkan tertawa bersama. Di momen-momen seperti itu, aku ingin waktu berhenti. Aku ingin dia tahu, beta
dah langit senja, tapi juga bisa s
an cara dia memanggil namaku, tawa renyahnya saat bercanda, atau bahkan diamnya saat
paling lirih, aku h
elan-pelan bisa ku isi. Bukan hari ini, mungkin bukan b
ku mencintainya dalam diam
*
ang khas. Aku duduk sendiri di kantin, menunggu giliran presentasi selanjutnya. Mat
Raka. Ia berjalan bers
hat akrab. T
ir kuda, dan tawanya lepas seperti tidak ada beban di dunia. Ak
k punya hak untuk cemburu. Aku bukan siapa-siapanya Raka. Hanya seorang gadis yang
biasa, tidak menunggu kemungkinan bertemu Raka seperti yang sering kulakukan. Aku
, sebuah pesan m
a
krong di taman s
ukup lama. Jari-jariku gem
langsung pu
t kemudian, b
u lihat kamu di sana, ja
ng kembali menyala. Walau kecil. Walau samar. Tapi cukup unt
ti tak terlihat. Dan jika benar, aku bersedia menunggu. Aku tak butuh jawaban ce
nyerah. Tapi percaya... bahwa jika waktunya
ng selalu aku simpan rapi dalam ingatan. Raka masih menjadi sosok yang hangat dan ramah kepada
asuk
sebatas itu
, dari deretan bangku paling belakang, dari sisi taman yang tak terlalu mencolok. Ia tetap menjadi p
aku tak yakin, tapi karena aku terlalu takut, takut jika setelah semua kata itu keluar, semuanya a
kat. Bahkan beberapa teman mulai menggoda mereka, menyebut-nyebut
kali mendengarnya. Senyum yang
ski dalam diam, meski dalam
sa kusampaikan. Tentang betapa bahagianya aku saat ia menyapaku. Tentang bagaimana ia menolongku saat file prese
imana hatiku perlahan patah
aku tahu cinta ini mungkin tak akan berbalas, aku tetap menyimpan harapan kecil itu.
uh bintang, dan udara dingin menelusup ke dalam jaket.
. Tapi tolong... biarkan aku mencintainya sedi
aban. Ia hanya butuh tempat untuk