umah, Erni dan Pak Bagas seketika tersentak. Tanpa berpikir panjang, Pak Bagas
coba menenangkan debaran jantungnya, lalu melan
ahun dan Aldi yang berusia empat tahun, berlarian masuk ke d
nenek?" Erni tersenyum, mencoba menyembuny
i sini sekarang," jawab Git
an barunya yang didapat dari nenek mereka.
edua anaknya dengan penuh kasih sayang. "Wah, bagu
mana, itu sepedanya
i, ini mama lagi mau bu
jah yang sudah kembali tenang, seolah-olah tidak ada kejadian
dah pulang, ya? Main ap
sambil berlari mendekati kakeknya. Aldi ikut mendeka
eka menceritakan keseruan hari mereka di rumah nenek. Erni sesekali Melirik dari dapur, Meliha
a dengan kasih sayang seperti biasa, sementara Erni berusaha mengatur k
kan untuk menikmati hidangan sederhana yang sudah disiapkan. Suasana makan sore t
h riang. Erni duduk di ujung meja, ikut tersenyum dan tertawa, meski
um kepada Erni. "Ayah pulang dulu, ya. Sudah sore juga,
ingga ke depan pintu. "Terima kasih, Y
sulit diartikan, sebuah pandangan yang mengingatkan keduanya akan apa ya
t, ya. Kalau butuh apa-a
ima kasih," ja
terparkir di depan rumah. Erni berdiri di depan pintu, menata
si, dia merasa lega momen itu sudah berlalu, tetapi di sisi lain,
ya. Sudah tak tahan ingin segera masuk ke kamar mandinya, bukan kare
m mematung di bawahnya. Butiran air menetes dari rambutnya yang sudah mulai memutih,
napas panjang. Sebelah tangannya memegangi batang kontolnya yang sejak tadi tak pernah mau tidur kembali. Kebiasaan yang susa
seolah tak mau lepas dari benaknya. Ekspresi gugupnya, napas tersengal saat tubuh
emakin kencang maju mundur mengocok batang kontolnya saat kembali membayan
ini siapa sebenarn
amu mencari pelampiasan
di sisi lain, ia juga ayah dari Yudis, lelaki yang saat ini sedang berjuang di negeri orang demi masa depan yang lebih baik. Anak yang
ara itu tajam seperti pisau. Namun tangannya tetap tak bisa berhenti
s dari mulutnya bersamaan dengan meluncurnya sperma
uh seperti jamur di dadanya. Tapi sia-sia. Rasa itu justru semakin mengendap, bercampur deng
rot mata ragu, setiap tarikan napas yang berat, setiap lirih suara Erni saat mereka bicara sendirian-semuanya terasa sepert
nghantam pelan dinding
h sayang? Pelarian? Atau sekadar pembuktian
yang kian menyesakkan. Ia tak bisa mengabaikan bahwa dirinya telah menodai garis yang tak seharusnya disentuh.
juga menginginkan ayah kan?" bisiknya pelan, entah
cukup deras untuk membawa pe
n. Tapi ia tahu, ketika ia keluar dari kamar mandi nanti, dunia akan tetap sama. Dan Erni..
ulas, tubuh kecil mereka meringkuk nyaman di balik selimut bergambar tokoh kartun kesayangan. Lampu tidur berwarna kunin
k mampu menjamah ketenangan kecil itu. Dengan tangan gemetar, ia menyeka air mata yang sejak tadi mengalir diam-diam di
seperti doa yang tak ingin didengar siapa
an hanya karena ciuman itu, bukan juga karena pelukan ayah mertuanya, bukan hanya karena sentuhan yang tak s
itu-yang datang tiba-tiba, di sela sunyinya rumah dan sepinya komunikasi dari Jepang-peras
am boneka kecilnya dengan tenang. Seandainya anak-anak ini tahu... seandainya mereka t
adalah keinginan untuk mengulanginya. Untuk meras
. Ia lalu mencium kening Gita dan Aldi satu per satu, berb
terasa hampa di
annya yang sejak tadi terasa terus berdenyut-denyut. Dia bahkan sudah mengganti celana dalamnya, karena saat bercumbu
ar-benar terkontaminasi racun birahi. Bukan hanya oleh Erni, namun juga Bu Soraya, yang seola
*