img Pemuas Menantu dan Besan  /  Bab 5 Mayor Bagas - 5 | 55.56%
Unduh aplikasi
Riwayat Membaca

Bab 5 Mayor Bagas - 5

Jumlah Kata:1557    |    Dirilis Pada: 12/05/2025

baru saja naik, cahayanya menerobos sela-sela dedaunan, menciptakan ki

selepas jogging. Keringatnya belum sepenuhnya mengering, beberapa tetes masih mengalir di pelipisnya. Ia

n alisnya lan

tampak kontras dengan blus hijau pastel yang dipakainya. Jemarinya saling mer

lihat. Sementara itu, Bu Soraya tampak semakin ragu. Matanya menunduk s

ikap santai. Ia meletakkan selang air ke tanah, lalu menyeka p

as," jawab Bu Soraya pelan dan gugup. S

Bu Soraya tetap diam. Mungkin masih mer

basahi tanah dan suara dedaunan yang tertiup angin. Pak Bagas menyadari, ini perta

k Bagas akhirnya, menunjuk bangku

n ke arah Pak Bagas-lebih tepatnya ke celana pendek dan singlet yang dikenakannya

justru tersenyum kecil, setengah menggoda. "Saya nggak nyangka bakal kedatangan b

as senyum itu dipaksakan. Ia akhirn

sap lehernya lagi. "Jadi, ada yang bisa saya bantu, Bu Hajah?" tanyan

uk. Menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Jemarinya kembali meremas

at, dua hari lalu?" akhirny

enak, lalu tersenyum sam

sana pagi yang tadinya tenang, kini teras

tup, tetapi bukan berarti tak bisa dilihat orang lain. Tetangga bisa saja melintas, atau seseorang dari kejauh

as pelan, sambil berdiri dan mengibas-ngibaskan

ukup bagus dan mewah namun sepi. Pintu belakangnya terbuka, mengarah

cil, lalu menenangkan, "Istri saya lagi di rumah m

tinya tidak terlalu kenal dengan Bu Siska, karena istrinya Pak Bagas itu hanya akrab dengan

tu dapur. Aroma khas rumah tangga langsung menyambut-bau kopi yang masih tersisa dari p

fa, sementara Bu Soraya masih berdiri canggung di ambang

" kata Pak Bagas, meskipun ia tahu, ucapan it

ngannya saling menggenggam erat di atas pangkuannya. Ia masih tampa

coba bersikap santai, meskipun ia ju

a bicarakan?" tanyanya, suara

sebelum akhirnya berbisik, "Saya... say

u-buru. "Dari yang paling sederha

menggigit bibirnya, seolah menahan sesua

cerita ke siapa-siapa?"

akhirnya menggeleng. "Belum. Dan s

njang. Ada kelegaan dalam ekspresinya, tapi

," lanjut Pak Bagas pela

Bagas dengan sorot yang rumit-campuran rasa m

u besar untuk dijawab

pegangan. Tatapannya masih ragu-ragu, tetapi ada sesua

perti bisikan. "Saya juga nggak t

. Ia hanya diam, memberi ruang agar

-jarinya mencengkeram uj

ik, hidup berkecukupan, tapi..." ia menarik napas dalam, suaranya sedik

membiarkan kata-kata i

ami saya baik. Bahkan terlalu baik. Dia nggak pernah marah, nggak pernah membentak. Se

mpak lelah. "Pernah nggak, Pak, Bapak merasa seperti bayangan di rumah sendir

ya berbicara yang membuatnya tersentuh, meskipun

Aya memilih... lelaki

ihan atau hanya pelarian. Dia nggak kaya, nggak punya masa

, tetap saja sulit menerima kenyataan bahwa wanita ini lebih memilih seora

a?" tanya Pak Bagas, men

nduk. "Dia... dia sepe

nyit. "Tahu pers

in sejak kapan dia sadar. Tapi dari caranya ber

makin ta

beliau diam sa

rnya berkata dengan suara nyaris tak terdeng

gin. Pak Bagas menatap wanita di depannya,

n dan kaget. Tubuh Bu Soraya bergetar dalam pelukannya, isakannya tertahan,

is tenggelam dalam tangis. "Saya cuma ingin hidup normal, i

tapi perlahan ia membalas pelukan itu, mencoba menenangk

"Tapi apa salah kalau saya ingin dicintai seperti wanita lain? Apa salah kalau saya ingin diperlak

rsiksa dalam pernikahannya, tidak mendapatkan kasih sayang yang seharusnya, sementara suaminya diam

i dia nggak mau. Dia bilang kalau saya pergi, saya nggak akan dapat apa-apa. Saya nggak pu

ukan itu, menatap wajah arab Bu Soraya yang berlinang a

ang yang pantas menilai hidup orang lain. Tapi kalau mem

. "Saya capek, Pak Mayor.

a mereka. Hanya suara napas yang masih

*

Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY