baru saja naik, cahayanya menerobos sela-sela dedaunan, menciptakan ki
selepas jogging. Keringatnya belum sepenuhnya mengering, beberapa tetes masih mengalir di pelipisnya. Ia
n alisnya lan
tampak kontras dengan blus hijau pastel yang dipakainya. Jemarinya saling mer
lihat. Sementara itu, Bu Soraya tampak semakin ragu. Matanya menunduk s
ikap santai. Ia meletakkan selang air ke tanah, lalu menyeka p
as," jawab Bu Soraya pelan dan gugup. S
Bu Soraya tetap diam. Mungkin masih mer
basahi tanah dan suara dedaunan yang tertiup angin. Pak Bagas menyadari, ini perta
k Bagas akhirnya, menunjuk bangku
n ke arah Pak Bagas-lebih tepatnya ke celana pendek dan singlet yang dikenakannya
justru tersenyum kecil, setengah menggoda. "Saya nggak nyangka bakal kedatangan b
as senyum itu dipaksakan. Ia akhirn
sap lehernya lagi. "Jadi, ada yang bisa saya bantu, Bu Hajah?" tanyan
uk. Menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Jemarinya kembali meremas
at, dua hari lalu?" akhirny
enak, lalu tersenyum sam
sana pagi yang tadinya tenang, kini teras
tup, tetapi bukan berarti tak bisa dilihat orang lain. Tetangga bisa saja melintas, atau seseorang dari kejauh
as pelan, sambil berdiri dan mengibas-ngibaskan
ukup bagus dan mewah namun sepi. Pintu belakangnya terbuka, mengarah
cil, lalu menenangkan, "Istri saya lagi di rumah m
tinya tidak terlalu kenal dengan Bu Siska, karena istrinya Pak Bagas itu hanya akrab dengan
tu dapur. Aroma khas rumah tangga langsung menyambut-bau kopi yang masih tersisa dari p
fa, sementara Bu Soraya masih berdiri canggung di ambang
" kata Pak Bagas, meskipun ia tahu, ucapan it
ngannya saling menggenggam erat di atas pangkuannya. Ia masih tampa
coba bersikap santai, meskipun ia ju
a bicarakan?" tanyanya, suara
sebelum akhirnya berbisik, "Saya... say
u-buru. "Dari yang paling sederha
menggigit bibirnya, seolah menahan sesua
cerita ke siapa-siapa?"
akhirnya menggeleng. "Belum. Dan s
njang. Ada kelegaan dalam ekspresinya, tapi
," lanjut Pak Bagas pela
Bagas dengan sorot yang rumit-campuran rasa m
u besar untuk dijawab
pegangan. Tatapannya masih ragu-ragu, tetapi ada sesua
perti bisikan. "Saya juga nggak t
. Ia hanya diam, memberi ruang agar
-jarinya mencengkeram uj
ik, hidup berkecukupan, tapi..." ia menarik napas dalam, suaranya sedik
membiarkan kata-kata i
ami saya baik. Bahkan terlalu baik. Dia nggak pernah marah, nggak pernah membentak. Se
mpak lelah. "Pernah nggak, Pak, Bapak merasa seperti bayangan di rumah sendir
ya berbicara yang membuatnya tersentuh, meskipun
Aya memilih... lelaki
ihan atau hanya pelarian. Dia nggak kaya, nggak punya masa
, tetap saja sulit menerima kenyataan bahwa wanita ini lebih memilih seora
a?" tanya Pak Bagas, men
nduk. "Dia... dia sepe
nyit. "Tahu pers
in sejak kapan dia sadar. Tapi dari caranya ber
makin ta
beliau diam sa
rnya berkata dengan suara nyaris tak terdeng
gin. Pak Bagas menatap wanita di depannya,
n dan kaget. Tubuh Bu Soraya bergetar dalam pelukannya, isakannya tertahan,
is tenggelam dalam tangis. "Saya cuma ingin hidup normal, i
tapi perlahan ia membalas pelukan itu, mencoba menenangk
"Tapi apa salah kalau saya ingin dicintai seperti wanita lain? Apa salah kalau saya ingin diperlak
rsiksa dalam pernikahannya, tidak mendapatkan kasih sayang yang seharusnya, sementara suaminya diam
i dia nggak mau. Dia bilang kalau saya pergi, saya nggak akan dapat apa-apa. Saya nggak pu
ukan itu, menatap wajah arab Bu Soraya yang berlinang a
ang yang pantas menilai hidup orang lain. Tapi kalau mem
. "Saya capek, Pak Mayor.
a mereka. Hanya suara napas yang masih
*