bersama istri pertamanya, terasa lebih ramai dari biasanya. Truk-truk besar silih bergan
oko. Dari dalamnya keluar Pak Bagas, dengan pakaian santai namun teta
sambil melangkah masuk, senyumnya lebar, menyapa be
nghitung nota, wajahnya yang teduh langsung b
-siang main ke toko? Biasanya kalau ada keperluan, paling pa
k memantau laporan penjualan, langs
ih. Duduk, duduk. Mau kopi apa teh? Atau langsung menik
g anak-anak, tentang cucu ketiga mereka dari Zaki dan Niken yang makin lucu, tent
tertawa kecil mendengar guyonan khas Pak Baga
uhan dan percakapan rahasianya dengan Bu Soraya beberapa jam yang lalu. Pengakuan itu masih menggelayut di kepalanya, m
kali menatap Pak Fuadi dengan pandangan yang sulit d
ri, ia tetap saja dengan senyum tulusnya, sesekali m
biar sekalian lihat-lihat granit buat bikin rumah kontrakan, siapa
hanya ters
h pencerahan hati dari sahabat lama..." jawabnya setengah berc
da. Ia menatap Bu Linda sesaat lebih lama... Dalam hati ia bertanya, anda
Pak Fuadi yang memang tipe pekerja keras langsung sigap mengawasi pro
nda dan Pak Bagas asyik berbincang di ruang kecil dekat
ngan, ditemani teh panas dan sepiring kue bolu Arab buatan Bu Linda. Namun e
tanya Bapak walau sudah pensiun, tapi masih tetap... ya itu... semangat. Bukan cuma sema
eh hampir saja tersedak. Ia tert
ng mulutnya tajam. Gak usah lah cerita b
ak Fuadi tuh... ah, walau punya dua istri, tapi... yah... udah lama lah... ka
sedikit lebih lirih, lebih... pribadi. Tatapan matan
esep rahasia, atau apalah itu... Biar gak malu-maluin sebagai laki Arab. M
ya, senyum malu-malu mas
rannya udah berat ke bisnis, ke istri pertama, istri kedua, cucu, cucu lagi... yaa... gitu deh. Badan iku
an badannya penasara
u rahasianya... ya istri yang bisa nyulut gairah laki-
, sebelum akhirnya terta
sa aja Bapak. Mau saya pr
yimpan dilema, karena diam-diam ia tahu, rahasia besar yang disimpan Bu Linda
gema, marah-marah ke sopir seme
berujar lirih, "Kalau saya jujur ya, Pak... kadang iri sama Bu Siska. Masih
a, kalimat itu terasa seperti
ya Pak Fuadi masuk ke ruangan, wajahnya sedikit
brol ya?" katanya sambil menep
ini, ngobrol ngalor ngidul. Kangen-kan
mumpung masih sempat. Saya malah baru
an mewah berwarna emas, lengkap
acara customer gathering di Jakarta, dua minggu lagi. Katanya sih, sek
k kecil. "Bangk
ak kerjaan. Awalnya Abi pikir, ya udah, Zaki aja yang ngan
n? Gak mungkin lah. Tapi kalau gak datang... ya sayang. Kar
imak sambil me
saya titip Bu Linda, sekalian nemenin. Toh acara gathering gitu kan gak f
an Bu Linda sama-sama saling melirik, seper
.. ya kalau waktunya cocok sih, insya Allah. Tapi y
anda, "Pak Bagas... wah nanti saya jadi beban Bapak d
ng tua. Sama-sama besan. Saya percaya lah sama Pak Bagas. Lagian,
tak gatal, menyembunyikan rasa
Pak Haji. Kalau re
entah kenapa merasa deg-degan. Semacam ra
dirinya berdua dengan Pak Bagas, di hotel
langsung ditepi
lagi," ucap Bu Linda p
, tapi dalam hatinya... mulai te
urunkan paralon berbagai ukuran. Suara teriakan buruh, dentingan
mendekatkan diri ke arah Pak Bagas, suar
pnya pelan tapi na
Bu H
omong ke Bu Siska, ya. Saya... saya gak enak. Gak perlu juga
mencoba mencari arti tersembunyi di balik permintaan itu.
Bu Hajah?" tanya Pak
Takut nanti malah jadi bahan gunjingan. Kan orang suka salah paham
ski di dalam dadanya muncul tanda
ngerti, Bu Hajah. I
gan pikiran yang masih berantakan. Di dalam mobil, tangannya
kan? Bukankah ini urusan formal? Atau... mem
coba menghapus bayangan aneh ya
, mencoba menenangkan dirinya sendiri sambil melajukan
p di dadanya. Mungkinkah setelah menikmati
*