agaimana bisa ini terjadi..." gumamnya
dingin dan senyumnya yang samar semalam masih terekam jelas di ingatan Zeya
daknya cukup untuk bisa berpikir jernih. "Tenang, Zeya... jangan panik... kamu pasti bisa," b
eluruh tunggakan kuliahnya. Tapi kini uang itu sudah dikembalikannya. Harga dirinya menolak dibeli, tapi logikanya mul
luar. Namun langkahnya terhenti ketika sosok Larin muncul di ha
uat masalah lagi,"
mpan duri. "Kenapa buru-buru, Kak? Ada yang te
a langsung penuh oleh spekulasi buruk. Dan Larin? Ia hanya menundukk
enti di sini. Kau tak akan
ih melangkah pergi. Diamnya lebih menyakitk
p Larin heran. "Kau dan dia bisa dibilang seperti saudara kembar... tapi t
ta, seolah terganggu
bisa bayar kuliahnya," tambah Linea dengan nada tenang namun
uk pelan, menyembunyikan kepuas
, keringat dingin mengalir di pelipisnya meski AC di lorong menyala cukup din
aya?" tanyanya dengan suara ggan ekspresi datar seperti biasa. Tanpa berkata sepatah
-dan langsung terbelalak. Matanya beralih pada Bu Went, penuh kebingungan. "T-tunggu, B
ya dan menyodorkannya juga kepada Zeya. Kartu ujian. "Ada seseorang yang mensponsori atas pres
at di tangannya. Jantungnya berdetak keras. Sponsor? Siapa? pikirnya
" lanjut Bu Went datar, seolah kalimat i
akannya cepat dan efisien. Namun Zeya tak bisa diam. Ia mela
akah saya boleh tahu
tapi tak keras. "Beliau tidak mau diekspos," jawabnya pelan, tapi padat. "Sudahlah. Ka
rtu ujiannya, hatinya campur aduk antara lega da
Di satu sisi ia ingin bersyukur karena bisa ikut ujian. Tapi di sisi lain
rlintas di benaknya, dan tu
rat yang selama ini menggantung di pundaknya perlahan terangkat. Meski wa
semua uang kuliahnya? Siapa orang yang diam-diam menjadi sponsornya? Hatinya tak bisa tenang begitu saja.
ya seperti gema yang menolak pergi. Tapi ia menggeleng pelan, menolak untuk menebak lebih jauh.
egitu nyata dan hangat. Senyum tipis muncul di wajahnya tanpa ia sadari. Matanya menatap kartu ujian di tang
nya yang selama ini terasa seperti bintang jauh di langit: pergi ke London, dan menjadi seorang desainer. Kota impian itu kembali
ngkin penuh kejutan. Tapi ia tahu satu hal:
Kali ini, tidak dengan keraguan-tapi dengan keyak