a. Keinginannya untuk tak membiarkan rasa kantuk menguasai kini berubah menjadi penyesala
well yang terbangun oleh gerakannya. Meskipun Clara berusaha melepaskan diri, pem
di nakas sampingnya, lalu berkata, "Jam tujuh pagi, dan m
akan? Lepaskan tang
sa lari ke mana? Apa ingin melompat dari gedung in
dan bisa melakukan apa saja, tapi ada satu hal yang takkan pernah kau kuasai,
an yang mendalam di antara mereka. Tuan Blackwell tak pernah meni
kan pikiranmu rupanya," sergah
ckwell bangkit, lalu menarik Clara hingga tubuh mereka saling bertubrukan. Cengkeraman kekuasaan sem
dulu melayangkan tangannya, hendak menampar pria kurang ajar yang berniat menyentuh tubuhnya. Namun, tamparan itu tak berhasil karena Tuan B
ik dalam diri Clara. Sentuhan Tuan Blackwell melebihi batasan fisik, psikologinya seperti dipermainkan
sa hangat." Tuan Blackwell tersenyum dengan pandangan merayu, kemud
at dominasinya. Di sisi lain, Clara tak memunculkan reaksi karena pandangannya perlahan mere
a. "Nona Whitmore," panggilnya, tapi Clara tak memberi respons, cukup untuk membuat kerag
erkata kembali, "Richard, putrimu selain ke
tiran serta suara berbincang di telepon memenuhi kamar tersebut. Dokter
*
aannya. Dia menyimpan stetoskop, lalu berjalan keluar ruangan tanpa mengucapkan sepatah ka
luar. Dia menunggu Tuan Blackwell dengan penuh kesabaran, saat te
akan meresepkan obat untuknya agar suhu tubuhnya turun. Pastikan wanitamu tak dehi
u memahaminya," jawabnya, suar
h untuk membuka percakapan lain, "Apa Nona Whitmore pingsan
ang berniat bercinta dengannya, sebelum dia akhirnya pingsan
n tawa, tapi dia kesulitan
n Blackwell tampak tak
basah. Dengan senyum jenaka, dia berkomentar ringan, "Tak kus
i karena kejadian semalam, dia berpikir untuk meloncat dari gedung ini karena tak ingin men
ikap yang baik, Dae. Tapi aku menyetujuinya jika kau melakukan itu untuk menghentikan percobaan bunuh diri. Kau tahu,
adi keheranan saat menambahkan, "Tapi
gan gerakan terampil. Dia memangku kaki dan bersandar, matanya me
ai saat ini bersembunyi di mana. Aku m
rius, jadi dia ikut pula duduk. "Kekejamanmu sungguh men
buskan asap rokoknya.
rustrasi seseorang saat berada dalam posisi tanpa harapan? Wanita itu bisa saja menj
gkhawati
terduga. Kedua, karena kekayaanmu adalah fondasi bagi rumah sakit tempat di mana aku bekerja. Dan yang ketiga, kar
nnya tak s
edua bahunya. Dengan terpaksa, dia berkata, "Baiklah,
ia mematikan api rokoknya dan dengan tenang meletakkan
ukan apa saja untuk keluar dari masalahnya. Kau harus memperhatikan hal itu, Dae,
gga. "Dia memilih kematian daripada menjadi gundikku, itu sudah cukup membuktikan kelemahan dan k