i telinganya, "Gugurkan... ini satu-satunya solusi." Setiap suku kata terasa seperti pecahan beling yang menusuk-nusuk. Bagaimana bisa seseorang yang pernah mencintainya begitu dalam, yang pernah
enuruti Reza. Lagipula, apa yang bisa ia lakukan sendiri? Ia seorang yatim piatu, tanpa keluarga, tanpa dukungan finansial yang stabil. Gaji sebagai asisten butik nyaris tak cukup untuk dirinya sendiri, apalagi untuk menghidupi
gkit dari dasar jiwanya. Bagaimana ia bisa mengakhiri kehidupan yang baru saja dimulai ini? Bukankah ini bagian dari dirinya, bagian dari Reza, sebuah bukti cinta yang pernah ada, betapapun pahit akhirnya? Lae teringat pada kedua orang
Lae menjer
urunan Lae, sebuah keajaiban kecil yang muncul di tengah kehancuran. Lae tahu, ini akan menjadi perjuangan yang terjal, penuh luka dan air mata, namun ia tidak bisa membayangkan dir
onya, bagaimana pun sulitnya nanti. Ia akan berjuang sendiri, dengan segala kekuatan yang tersisa dalam dirinya. Ini adalah pilihan yang
kaligus lebih kuat. Ia berusaha keras untuk bersikap normal, menata busana, melayani pelanggan, seolah tidak ada badai yang bar
, menatap Lae dengan sorot tajam yang penuh kecurigaan, seolah bisa membaca rahasia yang Lae sembunyikan. Lae tahu, kehadirannya di butik ini
dan parah. Beberapa rekan kerja mulai memperhatikan perubahan pada dirinya. Bisik-bisik mulai terdengar, dan t
ggil Lae ke ruang kantornya. Wajah wanit
berapa hal dari karyawan lain. Dan saya juga melihat perubaha
. Ia menunduk, tidak sanggup menatap
Amara meninggi. "Apakah kamu hami
a dengan mata berkaca-kaca. "Iya, Bu. Saya
arahan. "Tidakkah kamu malu? Kamu sengaja ingin menjebak putra saya, kan
ti itu!" Lae menyangkal, suaranya bergetar. "I
eza untuk menjauhimu. Dan kamu, kamu malah memanfaatkan kebaikan putra saya!" Ia bangkit dari kursinya, berjalan mendekati Lae. "Kamu haru
-injak. Ia menatap Nyonya Amara dengan tatapan berani, tatapan yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya. "Saya tidak akan meng
a. "Baik! Kalau itu maumu! Saya tidak akan membiarkan kamu merusak nama baik keluarga saya. Kamu dipe
engucapkan sepatah kata pun. Ia berjalan melewati koridor butik, mengabaikan tatapan-tatapan aneh dari beberapa karyawan yang mendengar keributan.
penghasilan. Namun, ia juga merasa bebas. Bebas dari tatapan menghakimi, bebas dari beban berpura-pura baik-baik saja di hadapan orang-orang yang
arus berbuat apa. Kamar kosnya sudah terlalu kecil dan pengap. Ia butuh tempat yang lebih layak,
erimanya. Setiap lamaran ditolak, setiap pintu tertutup di depannya. Uang tabungannya semakin menipis. Ia mulai merasa lapar, dan yang lebih penting, ia merasakan janin di da
yang baik hati dan selalu memperlakukannya seperti anak sendiri. Bibi Lena pernah berkata, "Jika kamu butuh apa-apa, jangan sungkan datang ke rumah Bib
Lena dan menceritakan sebagian kecil dari masalahnya-bahwa ia dipecat dan membutuhkan tempat tingga
bungi Bibi? Tentu saja, Bibi punya satu kamar kosong di rumah kontrakan Bibi. Kecil mema
n sekitar 3x3 meter, dengan satu ranjang kecil, lemari tua, dan jendela yang menghadap ke gang sempit. Namun, bagi Lae, itu adalah sebuah ista
emosi yang selama ini ia pendam. Ia menangis hingga tertidur, bangun dengan mata bengkak,
hari semakin intens. Bibi Lena, dengan naluri keibuannya, akhirnya menyadari kondisi Lae. Suatu sore,
ggung Lae. "Bibi tahu ada sesuatu yang kamu sem
kembali menggenang. "Iya, Bi," bisiknya, suaranya te
minta maaf, Nak? Ini anugerah, bukan dosa.
an tentang permintaan kejam Reza untuk menggugurkan kandungannya. Ia menceritakan bagaimana ia dipecat, dan bagaimana ia kini sendir
at kuat. Kamu sudah membuat keputusan yang benar. Anak ini tidak bersalah. Jangan k
lama hilang, sentuhan kasih sayang yang sangat ia rindukan. Bibi Lena tidak menghaki
uat kerajinan tangan kecil. Ia mengajari Lae cara berhemat, cara memasak makanan bergizi dengan anggaran terbatas, dan cara mempersiapkan diri untuk menjad
n nasi dengan lauk seadanya. Rasa lelah, mual, dan nyeri punggung menjadi teman sehari-hari. Namun, setiap kali ia merasakan tendangan kecil di perutnya,
an dukungan moral dari wanita-wanita lain yang mengalami nasib serupa. Ia belajar banyak dari mereka, tentang hak-haknya sebagai ibu, tentang cara mendapatkan bantuan dari lembaga sos
tau tanggung jawab yang muncul di hati pemuda itu, namun panggilan-panggilan itu tak pernah dijawab. Ia mendengar kabar dari Bibi Lena (yang sesekali mendengar dari tetangga) bahwa Reza telah dijodohkan denga
merasakan gerakan-gerakan kecil di perutnya, setiap tendangan adalah pengingat akan keajaiban yang sedang tumbuh di dalamnya. Ia serin
. Namun, Lae tidak lagi takut. Ia telah kehilangan orang tuanya, ia telah kehilangan cinta, dan ia telah dipec
yah biologisnya? Akankah ia menemukan kembali kebahagiaan setelah semua kepedihan ini? Pertanyaan-pertanyaan itu tetap menggantung, namun kini, Lae