an yang sudah lama tidak ia rasakan. Tidak ada air mata. Air mata adalah untuk kesedihan atau kehilangan. Apa yang ia rasakan saat
saat pintu otomatis hotel bergeser terbuka. Kontras yang tajam dengan dinginnya pendingin udara dan atmosfer beku di ballroom. Aveline menghirupnya dalam-da
akan pintu taksi untuk
mat yang sudah bertahun-tahun tidak ia kunjungi, sebuah al
butkan nama arsitek di balik sebagian besar gedung itu. Menara Blackwood, dengan desainnya yang agresif dan tajam, tampak mendominasi cakrawala, sebuah monumen arogansi suaminya. Tidak jauh dari situ, Menara d
tersembunyi di balik pagar besi tinggi dan rimbunnya pohon-pohon tua. Ini bukan rumah, melainkan sebuah studio. Studio pribadi almarhum kakeknya, Adiwangsa de la Fontaine. Tempa
sah dan sejarah. Ia membuka gerbang yang berderit pelan dan berjalan di jalan setapak batu. Kuncinya masi
dar, dan sisa-sisa aroma tinta cina. Di dalam, cahaya bulan yang masuk melalui jendela-jendela besar menerangi siluet-siluet yang familiar: meja-meja gam
lindungannya. Ini ada
Dengan hanya mengenakan pakaian dalamnya, ia berjalan ke sebuah lemari tua di sudut ruangan. Di dalamnya, tergantung beberapa kemeja kerja kakeknya yang sudah usang. Ia mengambil satu, kemeja katun putih yan
ukan Nyonya Blackwood. Bukan pewa
erak dengan cepat dan pasti. Panggilan pertama
-malam begini?" suara serak P
nya tenang dan datar. "Saya ingin Anda menyiapkan surat gugatan c
bayangkan pengacara tua itu duduk tegak di tempat ti
a begitu klinis dan tidak memadai untuk menggambarkan jurang di antara mereka. "Tolong pastikan semua aset a
apkan drafnya besok pagi," jawab Pak Binsar
ata Aveline, lalu
i atasnya, terbentang sebuah sketsa lama milik kakeknya-sebuah jembatan. Goresan pensilnya begitu kuat dan penuh percaya diri. Kakeknya pernah berkata, "Seorang a
embangun
nya semakin dekat, lalu berhenti tepat di depan gerbang. Lampu depannya yang ta
h menduganya. Damian tidak akan
edoran keras di pintu. Bukan ketukan, mel
intu ini! Aku ta
Ia tidak merasa takut. Untuk pertama kalinya dalam tiga tahun,
cahaya teras. Jasnya sedikit kusut, dasinya sedikit miring-pemandang
engan pandangan jijik, lalu berhenti pada penampilan Aveline-kemeja kebesaran yang ia kenakan. "Apa yang kau laku
tidak mempermalukanmu, Damian. Aku hany
orang melihatmu pergi. Semua orang
ja. "Tidak ada 'kita', Damian. Yang ada hanya kau dan citramu. Dan malam ini
sedang bernegosiasi dalam sebuah rapat. "Dengar, aku tidak tahu kenapa kau begitu sentimentil soal pidato itu.
ing, dan tanpa kegembiraan. Tawa seseorang yang b
mengambil ide-ideku, kerja kerasku, malam-malam tanpa tidurku, lalu kau membangun monumen dari itu semua dan mendedikasikannya untuk hantu dari masa l
ah memintamu bekerja sekeras itu. Itu
linya. "Kau menempatkanku di perusahaanmu, di bawah namamu, di mana setiap prestasi
petisi saat kuliah. "Aku adalah seorang arsitek, Damian. Sama sepertimu. Sama seperti kakekku. Tapi kau tidak p
ak dapat memproses data emosional ini. "Ini tidak rasional, Aveline. Pikirkan bisnisnya
is. Aliansi. Bukan perasaan. Bukan pengkhia
gan tenang. "Dan aku sudah menelepon Pak Bi
ejut, kemudian menyipit karena
ke arah pintu. "Pernikahan kita sudah selesai, Damian. Sam
at di lidahnya. Sebuah penegasan kepemilik
ah fondasi kokoh yang tidak bisa ia goyahkan. Arogansinya tidak lagi memiliki kekuatan di sini, di dalam benteng warisan
antara hantu-hantu masa lalu yang baik, dan merasak
a yang berdebu, menyingkap kayu jati tua yang indah. Ia menemukan gulungan kertas kalkir yang masih baru di dal
baru menyelinap masuk melalui jendela, mengusir bayangan malam. Aveline mengambil sebuah p
an kuat. Bukan de la Fontaine, bukan Bla
ne Cre
ik garis pertamanya. Garis yang lurus, tegas, dan penu