n Zia telah menjadi rahasia terbuka bagi keluarga mereka. Bu Santi, yang masih berduka atas kepergian suaminya, tampak terguncang hebat dengan kenyataan pahit tentang putra semata wayangnya. Ia
membawakan makanan bergizi dan memastikan Kirana istirahat cukup. Perhatian Bu Santi, meskipun dil
acuh tak acuhnya. Ia menjadi lebih pendiam, lebih hati-hati, dan jauh lebih perhatian. Setiap pagi, ia akan memastikan Kirana sudah sarapan. Setiap malam, ia akan menawarkan di
suatu sore, saat melihat Kirana kesulitan ba
amun, perlahan, ada celah kecil yang mulai terbentuk. Ia melihat ketulusan dalam setiap tindakan Arya. Bu
anya pelan. Ia masih menjaga jarak, meski
han bayi. Tidak ada lagi tawa lepas atau candaan ringan seperti yang dulu pernah ada sebelum badai
bayi. "Kirana... aku tahu ini mungkin belum waktunya," Arya memulai, suar
afkan itu proses, Arya. Tidak semudah membalik telapak tangan. Kamu sudah
Aku akan melakukan apa pun yang kamu mau. Ak
berkata pelan. "Dengan tinda
an menolak beberapa tawaran perjalanan bisnis ke luar kota. Ia menghabiskan lebih banyak waktu di rumah, membantu Bu
t perubahan pada diri Arya, dan perlahan, ia mulai merasa lega. "Kurasa Arya serius, Ran,"
. "Mungkin. Tapi aku tidak
Arya dan Bu Santi, kondisi Kirana sedikit membaik. Ia mendapatkan istirahat yang cukup, asupan gizi
njaga tekanan darah. "Ibu Kirana, tensi Anda masih sering naik turun. Kita ha
ing. Ia tahu risikonya. Ia tahu bahwa ia h
8 minggu. Pada salah satu kontrol rutin, dr. Citra
ampsia berat," kata dr. Citra, nadanya serius. "Kita tidak bisa menunda lagi.
nan? Sekarang? Belum lagi waktunya. Namu
?" Kirana bertanya,
tangani. Dan untuk bayi, ada risiko prematuritas atau gangguan pertumb
egera menenangkan. "Kita percaya Dokter
rana meneleponnya. "Aku akan segera k
. Wajahnya pucat pasi, matanya penuh kecemasan. Ia melihat Kiran
saja?" Arya meraih tangan
a berbisik, ada air mata di matany
etakutan di matanya, tapi juga tekad yang kuat. "
a. Mereka semua panik dan khawatir. Namun, dengan kehadiran
an Arya erat-erat, meremasnya setiap kali rasa sakit itu menyerang. Arya tidak mengeluh. Ia terus memijat punggung Kirana, membisik
irana. Kamu kuat,"
asa semakin kuat, tapi pembukaannya tidak juga bertambah signifikan. Ia sudah t
t lagi," Kirana berb
darah Anda kembali melonjak, Bu Kirana. Kita tidak bisa memaksakan persali
g Kirana berdegup kencang. Ia takut, tapi
rkata, napasnya tersengal. "Ya
as. "Dokter, apakah Kira
aik, Pak Arya," dr. Citra menc
a penuh kekhawatiran. Mata mereka bertemu. Arya mencoba tersenyum, sebuah senyuman yang
rasakan tim medis bergerak di sekelilingnya. Ia memejamk
g paling indah yang pernah ia dengar sepanjang hidupnya. Matanya terbuka. S
Cantik sekali!
mengulurkan tangan, tapi tubuhnya masih lemas. Perawat mendekatkan bayi itu ke wa
buah nama langsung terlintas
antuk yang tak tertahank
Tubuhnya terasa sakit, tapi ia merasa lega. Arya duduk di s
rkata, matanya berkaca-kaca. "Kamu heb
?" Kirana bertany
ehat," Arya tersenyum lebar.
r di bibir Kirana.
ggendong putrinya untuk pertama kalinya. Ara sangat mungil, dengan rambut hitam
an jari telunjuknya, dan Ara menggenggamnya erat. Senyum tulus teru
Kirana," Arya berbisik
sesuatu dalam hati Kirana yang melunak. Kerusakan itu masih ada, nam
butuhan pasca-operasi, menggendong Ara, dan belajar cara mengganti popok. Ia terlihat sangat menikmati peran barunya
ni mungkin tidak akan pernah cukup. Tapi aku sungguh ingin menebus semua kesalahanku. Aku ingin
enang, seolah tidak terpengaruh oleh badai yang telah merek
kata pelan. "Luka ini masih ada. Tapi... demi Ara, aku
matanya. "Terima kasih, Kirana. Aku tidak
n ayahnya dan kelahiran Ara telah mengubah Arya secara fu
menghadapi masa depan yang tidak pasti bersama Arya. Ia tahu, perjalanan ini akan panjang dan berliku. Ada banyak hal yang perlu mereka perbaiki. Nam
yang harmonis? Dan bagaimana nasib Zia, kekasih Arya di masa lalu, setelah Arya memutuskan hubungan dengannya? Akankah ia muncul kembali dan mengganggu kedamaian y