Elías berjuang maju, lengannya penuh goresan, otot-ototnya menegang, dadanya terbakar setiap kali bernapas. Dia telah berlari selama berjam-jam. Atau mungkin berhari-hari. Waktu di hutan
ia tidak akan pernah membukanya lagi. Jari-jarinya mengaduk kerikil seolah-olah mencari sesuatu yang terkubur di sana. Sesuatu yang telah lama hilang. Mesin truk pikap menderu di kejauhan. Sosok itu mendekat di sepanjang jalan
egas berdi
aranya serak, nyaris seperti
idak stabil. Elías tiba tepat pada waktunya untuk membuka pintu pengemudi, menarik pria itu keluar, dan bergul
eni
ya suara sung
an mengaburka
a
ebuah tangan mendoro
lihat ke
akah dia melihat seorang anak laki-laki... atau hantu. "Siapa namamu?" Elías tetap diam. Bukan karena tidak percaya. Tetapi karena pertanyaan itu menusuknya. Seolah-olah menyebut namanya akan mengkhianati sesuatu yang belum sepenuhnya dia ingat. "Kau tidak perlu mengatakannya," pria itu menambahkan, suaranya lebih lem
egitu ik
bodi yang penyok. Elías berada di kursi belakang, terbungkus selimut yang ditemukan pria itu di antara perkakas. Di l
an pandangan dari jalan. "Hanya sedikit orang y
eolah-olah selimut itu membuatnya tetap terhubung dengan
ato. Renato
rarti apa-apa bag
ya dalam-dalam se
esempatan... aku bisa memberimu satu." Elías mendongak. Ia memperhat
nap
mperlambat langkahnya saat mendekati sebuah tikungan
idak Anda kenal... karena Anda tidak bisa
yah terlarang. Kamar yang diberikan kepadanya sederhana, tetapi bersih. Tempat tidur yang sudah dirapikan. Handuk. Roti yang
an ia perlahan-lahan melepaskan bajunya. Di punggungnya, bekas luka menyebar seperti peta dari apa
esuatu pada wajah wanita itu yang tampak asing baginya. Seolah-olah
tau hati nuraninya, muncul suara lembut, ham
an siap
enanggapi. Namun di dalam dirinya, ada ses