dingin. Setiap sudut seolah menyimpan gema pertengkaran mereka, bisikan pengkhianatan yang tak termaafkan. Sarapan pagi yang dulu selalu dihidangkan dengan rapi oleh Maya, kini terasa hamb
seperti kerikil, kopi ya
an tampak kabur, presentasi di hadapan klien terasa seperti gumaman tak berarti. Pikirannya terus-menerus kembali pada Bu Tari dan anak-anaknya, lalu beralih
yi-bayinya atau mengobrol ringan dengan Bu Tari. Kini, sofa itu kosong, mainan-mainan bayi teronggok di sudut, seolah mengejek kesendiriannya
on maaf, menjelaskan bahwa ia "khilaf" dan berjanji akan "memperbaiki semuanya." Namun, balasan yang ia dapatkan hanyalah keheningan. Terkadang, ia mencoba menelepon orang
ri perbuatanmu. Putriku terluka parah
, mulai terkikis. Bisikan-bisikan tentang "masalah keluarga" di kalangan rekan bisnisnya semakin santer terdengar. Beberapa proyek penting tiba-tiba tertunda, dan ada beber
itahu Bu Tari. Maya, yang masih syok dan ketakutan, hanya bisa meminta maaf berulang kali, mengatakan bahwa ia "tidak sengaja" dan "terlalu
setiap bulan untuk kebutuhan mereka, bahkan menambah jumlahnya sedikit untuk biaya perawat dan pengobatan kondisi khusus bayi itu. Sesekali, dengan menyamar dan
an, nama yang diberikan Maya untuk putranya. Rian adalah nama yang sederhana, mungkin nama yang dipilih Maya sendiri, jauh dari nama-nama mewah yang ia siapka
akan teringat kata-kata pedas Bu Tari: "Anak yang cacat!" Ia membenci kata-kata itu, namun ia tidak
ara dengannya. "Pak Hadit... saya tahu saya salah. Saya tahu saya su
bayi sendirian. Ada kerutan di sudut matanya, bekas tangisan yang tak terhitung jumlahnya. Peso
tanya Pak
ngakuan," Maya berbisik, suaranya tercekat. "Saya tahu in
depan publik, di depan keluarganya, di depan dunia bisnisnya. Itu berarti kehancuran total bagi reput
Hadit tegas. "Aku tidak bisa. Ja
i, P
dah memberikan kalian tempat tinggal. Apa lagi yang ka
ab dengan suara lemah. "Dia membutuh
kan mengurus pendidikan dan kehidupannya. Tapi bukan sebagai
li mengalir. "Jadi... kami ak
Ia tidak bisa kehilangan segalanya. Atau setidaknya, ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa Bu
aran kata-katanya. "Jika semua ini terungkap, hidup kalian juga tidak akan tenang. Aku akan dicemooh, dan kalian... ka
Hadit merasa jijik pada dirinya sendiri. Ia adalah seorang pengecut. Ia telah berbuat dosa, dan k
langkah drastis. Ia mencoba menelepon Bu Tari lagi. Kali in
ng tuanya. Aku akan datang ke rumah orang tuamu besok. Kita harus bicara. Jika kau tidak mau bi
atas anak-anaknya secara hukum, meskipun ia tahu ia berada di posisi yang sangat lemah.
a, melainkan dengan pesan singkat: "Datanglah. Aku a
elegaan. Setidaknya, ada cela
as rapi, mencoba menampilkan citra pria yang menyesal namun masih berwibawa. Namun, saat ia melangkah ma
enyiratkan kesedihan. Dan Bu Tari, ia duduk di ruang tamu, dengan Bu Tari di sampingnya. Ia tampak kurus, ma
pengasuh di ruangan terpisah. Pak Hadit bisa mendengar gu
it," kata Bu Tar
nmu, Tari," jawab Pak H
ngapa kau membohongiku? Mengapa kau menghasilkan anak dari
aku khilaf. Aku tidak tahu apa yang merasukiku
akan mengembalikan harga diriku, Hadit. Tidak akan menghapus
semua kemarahanmu," kata Pak Hadit. "Tapi... bisakah kita memi
ya, seolah mencari kekuatan. Ayahnya menganggu
ku tidak bisa hidup tanpamu. Aku tahu anak-anak butuh ayah. Tapi aku
a secercah harapan di matanya. "Sy
Tidak ada lagi kontak, tidak ada lagi pertemuan, tidak ada
a itu. Bagaimana dengan Rian? Ia tidak bisa begitu saja memutuskan hubung
anmu kepadaku. Semua detailnya. Aku ingin tahu segalanya. Dari awal sampai
emua detail yang memuakkan itu adalah siksaan. Tapi ia tahu, ji
Hadit. "Aku akan c
tetap ada. Jadi, kau harus hidup dengan rasa bersalahmu. Kau harus menebusnya seumur hidupmu. Dan kau ha
"Aku bersumpah, Tari. Aku akan lakukan sem
jenak, menatap Pak Hadit dengan tatapan y
ar kencang. Ini dia. Ini
saha keras untuk tetap tegas. "Aku tidak ingin dia menjadi bagian dari keluarga ini. Dia a
amun ia mengerti. Bagaimana mungkin Bu Tari bisa menerima
an dia, Tari?" tanya Pa
u tidak peduli. Selama dia tidak muncul di hadapanku, dan tidak men
rna bersama Bu Tari dan anak-anaknya, namun dengan syarat harus menyingkirkan Rian, anaknya sendiri. Atau tetap mempertahank
Lalu ia membayangkan wajah Rian, bayi tak berdosa yang lahir ke dunia karena kesalaha
adalah pondasi hidupnya, ibu dari anak-anaknya yang
rat dalam hidupnya. Ia tidak punya pilihan. Untuk mendapatkan
namun ia mengatakannya dengan tegas. "Aku akan pas
i kebohongan di matanya. Namun, ia tidak menem
Tapi ingat, Hadit, satu kesalahan lagi, satu kebohongan lagi, dan se
yinya kembali memenuhi setiap sudut. Bu Tari tampak lelah, namun ia berusaha untuk kuat. Mereka mulai menjalani keh
bagaimana mungkin ia bisa menelantarkan darah dagingnya sendiri? Bayangan wajah Rian, matanya yang sedikit juling, tanda lahir di pipinya, terus menghantuinya. Apakah ia a
elah kembali, perjuangan Pak Hadit untuk menemukan kedamaian sejati belumlah berakhir. Ke