penuh cahaya alami dari jendela besar, suara keyboard dan tawa ring
atanya kosong. Di depannya terbuka laporan kinerja kuartal ini-berle
terus muncul di benaknya sejak beberapa minggu terakhir. Bukan karena kecant
n, anaknya. Ia bisa merasakannya setiap kali Zahra menunduk atau menjawab sek
di kepala. Pak Arya merasa seperti sedang menonton adegan yang membuat hatinya tak tenang. Ia mulai curiga, mung
g membuatnya merasa jijik pada dirinya sendiri. "Apa aku benar-benar sempat berp
apu pelan rambutnya yang mulai memutih. Ia sadar-pikiran itu harus dihentikan. Ia bukan orang seperti itu.
l yang selama ini disembunyik
enelpon Fadlan, m
pun. Fadlan, anak keduanya, memang tidak pernah semulus yang terlihat di luar. Di balik wajah tampan dan tenangnya, masa lalu Fadlan penuh luka dan pember
ahra-gadis sederhana, cerdas, dan berhati hangat-adalah salah satu orang ya
rnya-dengan keberanian yang baru tumbuh kembali-Zahra mengangguk tanpa banyak syarat. Tak ada keraguan dari bibirnya yang te
ni, kebahagiaan itu terasa rapuh
Fadlan muncul dengan kemeja sedikit kusut dan mata yang gelisah. Langkahnya ragu-
tenang, meski suaranya menga
t, sementara yang kanan mengusap pelan jari-jarinya sen
napa tiba-t
t-lekat. Matanya tidak marah,
mencondongkan tubuh sedikit. "Apa yang
ya tertunduk makin dalam.
tahu harus mulai da
tap diam, m
uami yang baik... padahal sebenarnya ak
h cuma pengin tahu, Fad. Sebenarnya, apa
i seolah mencari jawaban di antara pola ubin. "Ngg
la. Ia tahu, saat seperti ini, anaknya bu
ya, aku bilang semuanya lancar. Padah
apa?" tanya P
jawab Fadlan lirih
kit mengernyi
n. Dari kecil, aku harus selalu jadi anak laki-laki yang sempurna. Nggak boleh g
nya suara AC dan detak jam dinding yang
a, Yah. Tapi aku." Fadlan menegakkan pung
asalah. Produksinya rendah, kualitasnya juga jel
ng anaknya dengan tatapan yang dalam, lalu men
erapi biar kondisinya bisa balik. Tapi butuh waktu. Butuh kesaba
cerita in
ama, aku bisa lihat dia berubah. Lebih dingin. Lebih jauh. Dan aku ngerti, Yah. Dia pasti kecewa. Dia
cat, Fad," ujar Pak Arya, sua
kenyataa
banyak badai dalam hidup. "Justru karena kenyataannya itu, kamu jadi tahu siapa yang benar-ben
Makanya aku ngerasa bersalah tiap
soal Mama, kamu nggak perlu takut. Ayah yang akan bicara
menunduk, menyeka ujung ma
cuma pengin didengar. Selama
ya, lalu mendekat dan menepu
ai sekarang, kamu nggak perlu
Fadlan merasa sedikit lebih ringan. Beban yan
r itu hening, hanya denting jarum jam di dinding yang terus berjalan, mengingatka
banyak simpati. Sebagai seorang ayah, ia tahu betul seperti apa rasanya membawa beban dalam di
ar hadir untuk anaknya dalam hal-hal paling pribadi. Salah karena mem
yang lebih jernih-bukan sekadar menantu, tapi perempu
nya di atas meja, mencoba m
tuk memperbaiki keadaan itu, Fad?" t
minum obat dari dokter, jaga pola makan. Tapi sejauh ini belum
saha menyembunyikannya kali ini. Mungkin karena un
ada, tapi rasanya seperti tinggal tempurung. Datar. Hambar. Kemarin... Mama malah nyuruh
sesuatu di dalam dirinya. Ia sudah menduga soal tekanan
icara dengan Zahra. Tapi kamu juga harus terus berusaha.
menyelipkan amplop ke tangannya. Gerakan
butuh sesuatu. Jangan lupa, ya,"
i kali ini ada cahaya di sana. "Makasih, Yah. Aku
hanya m
ali duduk, menatap ke arah jendela. Pikirannya kembali mel
h. Ada simpati yang terlalu dalam, perhatian yang tidak biasa. Tapi ia segera menyadarkannya: bukan karena pes
uk soal kondisi Fadlan, semuanya mengarah padanya. Padahal, Pak Arya tahu betul: Zahra bukan perempuan
seseorang yang memihaknya. Bukan untuk menjustifikasi apa
enarik nap
ya menjadi pelindung, bukan penonton. Hubungan Fadlan dan Zahra masih bisa diselamatkan, itu yang
i waktu dan tempat yang tepat untu
*