a terdampar di tengah kota Jakarta yang kejam, tanpa arah dan tanpa harapan. Air mata sudah kering di pipinya, digantikan oleh kekosongan yang me
ap wawancara berakhir dengan penolakan halus, tatapan iba, atau bahkan tatapan curiga yang seolah menuduhnya. Scarlett mencoba melamar di berbagai tempat, dari staf administrasi hingga
san, nyaris tidak cukup untuk menyambung hidup, apalagi untuk biaya persalinan yang semakin mendekat. Tangan Scarlett melepuh, punggungnya pegal, dan kakinya me
kup untuk membeli satu set perlengkapan bayi yang paling sederhana. Panik mulai merayapi hatinya. Waktu terus berjalan, dan perutn
mpitnya yang pengap. Ia berbaring di atas kasur tipis, membelai perutnya yang kini terlihat jelas di bawah dast
a membutuhkan uang, cepat, dan banyak. Matanya menyusuri layar, berpindah dari satu iklan ke iklan lain, hingga akhirnya, seb
di tenggorokannya. Ia, Scarlett Chen, mantan sekretaris Daniel Lee, seorang wanita terhormat, kini dihadapkan pada pilihan mengerikan ini. Harga dirinya menjerit, berontak. Namun, wajah p
ab, ramah namun terdengar dingin. Setelah beberapa pertanyaan singkat dan detail yang membuat Scarlett merasa sh kemewahan yang kontras dengan keadaannya saat ini. Ia disambut oleh seorang pria bertubuh kekar dengan setelan rapi, yang
?" tanya wanita itu
mengang
Anda akan melayani hasrat seksual klien kami, seorang CEO. Privasi sangat kami utamakan. Anda harus siap kapan pun klien mem
mau..." Itu adalah perjanjian untuk menjual tubuhnya, martabatnya. Namun, nominal angka yang tertera di bagian kompensasi membuat matanya terbelalak. Cukup.
dan menandatangani kontrak. Sebuah bar yang gelap. Pria bertubuh kekar tadi mengantarnya, lalu mendorongnya
menusuk hidungnya. Jantung Scarlett berdebar tak keruan, ingatan akan malam di hotel yang mengerikan itu kembali menghantamnya.
engan kegelapan. Di tengah ruangan, sebuah ranjang besar
, membuat Scarlett tersentak. Suara yang asing, namun entah mengapa, t
awab. Ia hanya berditu. "Dan lepaskan pakaianmu
bergetar, ia mulai melepaskan satu per satu pakaiannya. Gaun sederhana, lalu pakaian dalamnya. Setiap helai kain yang terlepas, seol
rintah pria itu lagi, suaranya ki
a asing itu. Ia memejamkan mata, mencoba membayangkan wajah bayinya, mencoba mencari kekuatan dari sana. Ia naik, me
ya sedikit ragu, disentuhnya perut Scarlett yang sedikit menonjol. Sentuhan itu m
jur atau berbohong? Jika ia mengaku hamil, mungkinkah p
ong, suaranya serak. "Mungkin
elan. "Tidak apa-apa dengan bayimu jika kau sedang hamil?
a bersalah. Ia harus tetap berbo
raih pinggul Scarlett, menariknya lebih de
a itu. Ia melayani setiap sentuhan, setiap desahan, setiap perintah, seolah tubuhnya bukan miliknya sendiri. Pikiran Scarlett melayang jauh, berusaha melepa
at..." desah pria itu, suaranya pa
a lebih cepat, lebih dalam, seperti robot yang diprogram. Setiap desahan pria itu adala
emaksa penisnya masuk ke dalam mulut Scarlett. "Sekar
idak bisa melawan. Ia harus melakukannya. Demi bayinya. Ia menghisap, mengulum, mengikuti setiap instruksi pria itu, membiarka
njang, "Ohhh... ya..
ng panjang, dan cairan hangat memenuhi mulutnya. Ia menelan, m
, suaranya kini terdengar puas. Ia menarik diri, lalu berbaring lagi di ranj
di samping pria itu, terisak pelan tanpa s
tadinya gelap gulita. Scarlett terbangun, merasakan pegal di sekujur tubuhnya. Ia membuka mata perlahan, m
mar, lalu tangannya meraba-raba nakas di samping ranjang, mencari saklar lampu tidur
beres. Suara itu... tidak mungkin. Ia su
ancarkan cahaya kuning lembut
ranjang yang sama, telanjan
erja. Jantungnya mencelos, berdetak dengan irama tak
ampu ke sampingnya, lalu membeku saat melihat Scarlett. Mata Daniel membelalak. Wajahnya yang se
penuh keterkejutan dan kema
, ingin menjelaskan, namun suaranya tercekat di tenggorok
ekerjaanmu? Menjadi wanita jalang? Aku tidak percaya! Jadi benar semua tuduhanku kemarin! Kau memang wanit
tt. Ia tidak bisa menahan lagi. Semua rasa sakit, keputusa
i aku! Aku tidak peduli! Kau tidak tahu apa-apa! Kau tidak tahu betapa sulitnya aku harus bertahan hidup se
! Tapi itu semua karena kau! Karena kau mencampakkanku, karena kau tidak percaya padaku! Karena kau membuangku da
Scarlett. Matanya menatap perut Scarlett, lal
a tangisan. "Aku jijik pada diriku sendiri! Aku membenci setiap detik yang aku la
lihat air mata di mata Scarlett, kesedihan yang tulus, dan perut yang memang terlihat
bakar. "Bohong! Kau selalu berbohong! Kau pikir aku akan percaya