Dengan langkah riang, Scarlett melangkah ke lobi hotel yang megah, aroma melati dan sandalwood menyambutnya, memanjakan indera penciumannya. Lift berdenting pelan, membawanya ke lantai yang tertera di pesan. Pintu kamar 207, begitu katanya. Scarlett merapikan gaun sutra selututnya, memejamkan mata sesaat, membayangkan pelukan hangat Daniel, bisikan mesra yang selalu berhasil meluluhkan hatinya. Sebuah ketukan pelan. Pintu terbuka.
Namun, bukan Daniel yang berdiri di ambang pintu.
Seorang pria asing, tinggi menjulang dengan seringai licik terpampang di wajahnya, menghalangi pandangan. Mata Scarlett membelalak, napasnya tertahan. "Maaf, Anda siapa?" tanyanya, suaranya tercekat.
Pria itu tidak menjawab, melainkan meraih pergelangan tangan Scarlett dengan cengkeraman kuat, menyeretnya masuk ke dalam kamar yang remang-remang. Jantung Scarlett mencelos. Ini jebakan! Ia berusaha melepaskan diri, meronta sekuat tenaga, namun tenaga pria itu terlalu besar. "Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan?!" teriak Scarlett, ketakutan mulai merayapi setiap sendi tubuhnya.
Pria itu mendorongnya dengan kasar ke atas ranjang king-size. Tubuh Scarlett terhempas, pegas kasur memantul, seolah menertawakan ketidakberdayaannya. Ia mencoba bangkit, namun tangan kekar itu menekan bahunya, kembali menjatuhkannya. Mata pria itu berkilat nafsu, menelanjangi Scarlett dengan pandangannya yang menjijikkan.
"Kau pikir kau bisa lolos, manis?" desisnya, suaranya serak dan berat, membuat bulu kuduk Scarlett berdiri.
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Scarlett. Ketakutan yang mencekik membuat paru-parunya sesak. Ia meronta, menendang, mencoba berteriak, namun suaranya hanya menjadi bisikan pilu. Dengan satu gerakan cepat, pria itu merobek gaun sutra Scarlett, kainnya bergesekan kasar, meninggalkan bekas merah di kulitnya. Kain-kain itu berserakan di lantai, menjadi saksi bisu kekejaman yang akan terjadi.
"Tidak! Jangan sentuh aku!" Scarlett berteriak, suaranya serak, tenggorokannya sakit. Ia mencoba menutupi tubuhnya dengan tangan, namun percuma. Pria itu menyeringai, matanya penuh hasrat gelap. Ia pun membuka pakaiannya sendiri, memperlihatkan tubuhnya yang kekar dan mengerikan.
Pangan Scarlett membelalak saat pria itu menaiki tubuhnya, bobotnya yang berat menindihnya, membuat napasnya sesak. Kengerian mencengkeramnya. "Tolong! Siapapun!" teriak Scarlett, berharap ada keajaiban, seseorang akan datang menyelamatkannya dari neraka ini.
Pria itu mencondongkan wajahnya, mencium bibir Scarlett dengan paksa. Bibir yang selama ini hanya disentuh oleh Daniel, kini dinodai oleh sentuhan menjijikkan ini. Scarlett memalingkan wajah, berusaha menghindar, namun cengkeraman tangan pria itu terlalu kuat. Lidahnya memaksa masuk, menjajah setiap inci rongga mulut Scarlett, membuatnya mual.
Tangan pria itu turun, meremas payudara Scarlett dengan kasar. "Mhhhh...kau sangat cantik, sayang," desahnya, suaranya seperti geraman binatang buas. "Sangat... manis..."
Scarlett menggeliat, air mata membanjiri pipinya. Ia merasa jijik, tubuhnya gemetar tak terkendali. Pria itu terus meremas, jemarinya semakin turun, menyusup ke selangkangan Scarlett, lalu memaksa masuk ke dalam vaginanya.
"Ahhh... kau begitu sempit... nikmat sekali..." desah pria itu, kepalanya mendongak, matanya terpejam dalam kenikmatan yang menjijikkan.
Scarlett menjerit, "Tidak! Jangan!" Ia menendang, menggerakkan pinggulnya, berusaha melepaskan diri dari sentuhan kotor itu. Namun, pria itu hanya tertawa, tawa yang penuh kemenangan dan kekejaman. Ia menarik tangannya keluar, lalu dengan brutal, memaksa penisnya yang tegang masuk ke dalam mulut Scarlett.
"Telan! Telan semuanya!" perintahnya, suaranya serak. Ia menekan kepala Scarlett, memaksa penisnya masuk lebih dalam. Scarlett terbatuk, tersedak, air mata dan air liur bercampur, membasahi pipinya. Rasa pahit dan jijik memenuhi mulutnya. Ia tidak bisa bernapas. Ia merasa akan mati.
"Ghhhh... ahhh... lebih dalam... telan... lagi..." desah pria itu, napasnya memburu.
Scarlett memberontak, namun cengkeraman pria itu terlalu kuat. Pria itu menggerakkan pinggulnya, dan Scarlett merasakan cairan kental, menjijikkan, memenuhi mulutnya. Ia ingin memuntahkannya, namun pria itu menekan kepalanya, memaksa Scarlett untuk menelan. Scarlett terisak, merasakan cairan itu mengalir di tenggorokannya, membakar, menghancurkan segalanya.
"Bagus... kau gadis penurut..." desah pria itu, menarik penisnya keluar sebentar, lalu kembali memaksa masuk. Scarlett sudah tidak punya tenaga lagi untuk melawan. Ia hanya bisa pasrah, memejamkan mata, membiarkan tubuhnya dinodai, jiwanya hancur berkeping-keping. Pria itu mengulanginya berkali-kali, desahan-desahan liarnya memenuhi ruangan, setiap desahan adalah tusukan belati bagi jiwa Scarlett.
"Ohhh... ya... ini... ini sangat... ahhh... nikmat..." desahnya, suaranya parau.
Scarlett hanya bisa terisak, air mata membanjiri bantal, menenggelamkan rasa sakitnya. Ia ingin mati saja. Ia ingin semua ini berakhir.
Daniel Lee, dengan napas memburu dan langkah lebar, melesat menuju kamar 207. Hatinya dipenuhi amarah yang membakar. Sebuah pesan anonim baru saja masuk ke ponselnya, sebuah foto yang membuat darahnya mendidih: Scarlett, kekasihnya, di kamar hotel ini, bersama pria lain. Foto itu buram, namun jelas terlihat Scarlett terbaring tak berdaya di bawah tubuh seorang pria. Kecemburuan dan kemarahan menguasai Daniel, mengikis habis setiap rasionalitas. Ia tidak percaya. Scarlett tidak mungkin mengkhianatinya. Tapi foto itu...
Ia mendobrak pintu kamar 207 tanpa peduli etika. Pemandangan di hadapannya menghantamnya seperti palu godam. Pakaian Scarlett robek berserakan di lantai. Dan di atas ranjang, pria asing itu masih menindih tubuh Scarlett, penisnya masih berada di mulut kekasihnya.
Dunia Daniel runtuh.
Amarah yang selama ini tertahan, meledak dengan dahsyat. Otaknya blank, hanya ada satu dorongan: menghancurkan pria di atas Scarlett. Dengan geraman yang lebih mirip raungan binatang buas, Daniel melompat, menarik pria itu dari atas Scarlett, lalu menghantamkan tinjunya ke wajahnya berkali-kali. Pria itu terhuyung, darah membasahi wajahnya, namun Daniel tak peduli. Ia terus memukul, melampiaskan semua rasa sakit dan pengkhianatan yang ia rasakan.
"Brengsek! Berani-beraninya kau menyentuh kekasihku!" raung Daniel, suaranya bergetar karena emosi yang meluap-luap.
Pria itu mencoba melawan, namun tinju Daniel terlalu kuat. Ia terkapar di lantai, tak berdaya. Daniel meludahinya, lalu beralih menatap Scarlett. Wajah Scarlett pucat pasi, air mata membanjiri pipinya, tatapannya kosong. Tubuhnya gemetar tak terkendali.
"Scarlett?" Suara Daniel bergetar, namun bukan karena simpati, melainkan karena kemarahan yang membakar. Ia melihat tubuh Scarlett yang telanjang, bekas merah di kulitnya, rambutnya acak-acakan. Pemandangan itu bagai racun yang menyebar di nadinya. "Apa-apaan ini?" desisnya, suaranya dingin, mematikan.
Scarlett mencoba meraih tangan Daniel, air matanya semakin deras. "Daniel... bukan... bukan begitu..."
Namun Daniel menepis tangannya. "Jangan sentuh aku!" bentaknya. Ia merasa jijik, dikhianati. Selama ini ia percaya Scarlett sepenuhnya, mencintainya tanpa batas. Tapi apa yang ia lihat? Pemandangan menjijikkan ini menghancurkan semua kepercayaannya. "Aku tidak menyangka kau akan serendah ini, Scarlett."
Air mata Scarlett semakin deras. "Tidak, Daniel, dengarkan aku! Aku dijebak! Aku tidak tahu ini akan terjadi!"
"Jebakan?" Daniel tertawa sinis, tawa yang menusuk hati Scarlett. "Kau pikir aku bodoh? Kau pikir aku akan percaya omong kosong itu? Pakaianmu robek, kau telanjang, dan bajingan ini masih di atasmu! Apa lagi yang harus aku lihat, Scarlett?"
"Dia... dia memaksaku..."
"Cukup!" Daniel memejamkan mata, menahan rasa sakit yang menusuk. "Aku tidak ingin mendengar apapun lagi darimu. Semuanya sudah jelas. Kita berakhir, Scarlett. Sekarang juga."
Kata-kata itu bagai bilah pedang yang mengiris jantung Scarlett. Berakhir? Tidak. Tidak mungkin. Ia mencintai Daniel lebih dari apapun. "Daniel, kumohon... beri aku kesempatan menjelaskan..."
Namun Daniel sudah berbalik, memunggunginya. "Keluar dari sini. Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi." Suaranya dingin, menusuk hingga ke tulang.
Malam itu adalah neraka bagi Scarlett. Ia menghabiskan sisa malam dalam tangisan dan ketidakpercayaan. Bagaimana bisa Daniel begitu mudah percaya pada kebohongan itu? Bagaimana bisa ia menuduhnya berkhianat setelah semua yang mereka lalui?
Keesokan paginya, dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki, Scarlett berangkat kerja ke kantor. Ia harus berbicara dengan Daniel, harus menjelaskan semuanya. Kakinya melangkah berat menyusuri koridor, setiap langkah terasa seperti timah. Jantungnya berdebar kencang saat ia berdiri di depan pintu ruangan Daniel.
Ia mengetuk pelan, menunggu izin masuk. "Masuk," suara Daniel terdengar dingin dari dalam.
Scarlett mendorong pintu perlahan, melangkah masuk ke ruangan yang familiar, tempat ia dan Daniel berbagi tawa, impian, dan cinta. Namun kini, ruangan itu terasa asing, dingin, dan penuh aura permusuhan. Daniel duduk di balik mejanya yang besar, matanya menatap tajam ke arah Scarlett, tanpa sedikit pun kehangatan.
"Ada apa?" tanyanya, suaranya datar.
Scarlett menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberaniannya. "Daniel... aku datang untuk menjelaskan semuanya. Kumohon, dengarkan aku."
"Tidak ada yang perlu dijelaskan," jawab Daniel, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputernya.
"Ini semua salah paham. Aku dijebak, Daniel. Pesan itu... aku pikir itu darimu. Aku tidak tahu kalau ada orang lain yang menungguku di sana. Dia... dia memaksaku, Daniel. Aku bersumpah, aku tidak melakukan apapun dengannya. Saat kau datang, dia panik dan langsung kabur. Kumohon, percayalah padaku." Suara Scarlett bergetar, air mata kembali menggenang di pelupuk matanya.
Daniel mendongak, menatap Scarlett dengan tatapan mencemooh. "Kau pikir aku bodoh? Jadi, kau ingin aku percaya kalau bajingan itu melakukan semua itu padamu, lalu saat aku datang, dia kabur begitu saja? Dan kau, setelah semua itu, kau tidak berusaha menghubungi polisi? Atau setidaknya, menghubungiku?"
"Aku... aku sangat syok, Daniel. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya ingin bertemu denganmu dan menjelaskan semuanya." Scarlett merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah amplop putih. "Dan... dan ini." Ia menyerahkan amplop itu kepada Daniel. "Aku... aku hamil, Daniel. Ini anak kita."
Daniel menatap amplop itu, lalu menatap Scarlett dengan mata menyipit. Senyum sinis tersungging di bibirnya. Ia meraih amplop itu, merobeknya dengan kasar tanpa membukanya, lalu melemparkannya ke tempat sampah.
"Kau pikir aku akan percaya omong kosong ini?" desis Daniel, suaranya penuh kemarahan. "Kau berani-beraninya datang kepadaku dengan kebohongan ini setelah semua yang aku lihat kemarin? Anak itu? Anak siapa? Anak dari bajingan itu? Kau pikir aku sebodoh itu, Scarlett?"
Scarlett tersentak. Hatinya hancur berkeping-keping. "Tidak! Ini anakmu, Daniel! Aku tidak pernah bersama siapapun selain dirimu! Kumohon, percayalah!"
"Cukup!" Daniel membentak, berdiri dari kursinya. Aura dominasi dan kemarahan memancar kuat darinya. "Aku tidak ingin mendengar apapun lagi darimu. Aku sudah muak dengan semua kebohonganmu. Kau sudah berkhianat, Scarlett. Kau menodai kepercayaan dan cintaku."
"Tapi Daniel, aku dijebak! Aku tidak pernah mengkhianatimu!" Scarlett memohon, air mata mengalir deras di pipinya. "Aku tidak pernah melakukan hubungan dengan lelaki itu saat kau pergi. Setelah kau memukulnya, dia langsung pergi dari kamar hotel."
Daniel tertawa sinis. "Jebakan? Omong kosong! Kau pikir aku tidak tahu trik-trik seperti itu? Kau pikir aku tidak tahu bagaimana wanita licik seperti kalian beraksi? Hidup dengan kekerasan, desing peluru, dan hitamnya dunia mafia sejak kecil telah mengajariku untuk tidak memiliki belas kasih terhadap apa yang aku anggap sebagai kebohongan dan pengkhianatan. Aku tidak akan pernah percaya padamu lagi."
Ia berjalan mendekat, menunjuk pintu dengan jari telunjuknya. "Keluar dari sini, Scarlett. Sekarang juga. Aku tidak ingin melihatmu lagi di kantorku, di hidupku. Kau dipecat. Dan jangan pernah berani-beraninya kau menghubungiku lagi."
Kata-kata itu menghantam Scarlett bagai palu godam. Dipecat? Diusir? Daniel benar-benar mengusirnya, dalam kondisi ia berbadan dua dengan anak Daniel. CEO tampan dan bengis yang sangat ditakuti musuh itu tidak percaya bahwa anak di dalam rahimnya adalah buah cinta mereka. Ia menuduh sang sekretaris telah berkhianat dan berhubungan dengan lelaki lain.
Scarlett berdiri terpaku, memandangi Daniel, kekasih yang dulu begitu mencintainya, kini menatapnya dengan pandangan penuh kebencian dan jijik. Rasa sakit itu tak tertahankan, menusuk hingga ke inti jiwanya. Ia hanya bisa menangis pasrah, memeluk dirinya sendiri, merasakan denyutan perih di perutnya. Anak ini, anak mereka, tidak diinginkan oleh ayahnya.
Dengan langkah gontai, tubuh yang terasa begitu berat, Scarlett berbalik, melangkah keluar dari ruangan itu, meninggalkan serpihan hatinya yang hancur di belakangnya. Dunia terasa gelap, hancur. Ia tidak tahu harus pergi ke mana, bagaimana ia akan bertahan hidup, atau bagaimana ia akan membesarkan anak ini sendirian. Yang ia tahu hanyalah satu hal: ia tidak akan pernah melupakan hari ini, hari di mana cinta dan kepercayaannya dikhianati, hari di mana ia diusir, hancur lebur tanpa sisa.
Namun, di balik kehancuran itu, ada percikan api yang mulai menyala di dalam diri Scarlett. Api dendam. Daniel Lee telah menghancurkan hidupnya. Dan suatu hari nanti, ia akan memastikan bahwa Daniel Lee akan membayar mahal untuk semua rasa sakit yang telah ia timbulkan.